KOMPAS.com - Badan Pusat Statistik ( BPS) menyampaikan Indonesia mengalami surplus beras 2,85 juta ton selama 2018. Meski demikian, Kepala BPS Suhariyanto mengungkapkan Indonesia masih tetap impor beras sebesar 2 juta ton.
Hal itu terkait ketersediaan beras yang menyebar di masyarakat sulit dikelola langsung oleh pemerintah.
"Pengelolaan beras yang bisa dilakukan pemerintah hanya yang berada di Bulog," kata Suhariyanto di Jakarta, beberapa hari lalu, Rabu (24/10/2018).
Pengamat ekonomi Suropati Syndicate, Muhammad Ardiansyah Laitte mengkritisi niatan BPS tersebut.
Dalam keterangan tertulis yang Kompas.com terima, Jumat (26/10/2018), alumnus magister Universitas Indonesia ini mengatakan, apa yang disampaikan BPS sangat kontradiktif.
Ini karena data BPS sendiri menunjukkan negeri ini surplus beras, tetapi membenarkan masih tetap impor beras sebanyak 2 juta pada 2018.
"Saya apresiasi telah dirilis data beras terbaru. Ini akan mengakhiri polemik tentang beras. Tentunya masih banyak pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan BPS,” ujar pria yang biasa disapa Alle di Jakarta, Jumat (26/10).
Dia menekankan, data beras terbaru hasil metode kerangka sampel area (KSA) sesungguhnya baru pada tahap rilis secara nasional. Data tersebut belum menghitung angka per kecamatan dan kabupaten.
BACA JUGA: Beras Surplus 2,85 Juta Ton, Kepala BPS Sebut Masih Perlu Hati-hati
“Publik menunggu data detail untuk dasar, kami memantau fakta lapang. Berikutnya perlu segera dihitung angka mundur hingga 10 atau 20 tahun terakhir dan disebarkan ke publik serta lembaga dunia,” terang Alle.
Alle menambahkan beberapa hal menjadi catatan luas panen. Contohnya apabila menggunakan data luas baku sawah 7,1 juta hektar (ha), lantas bagaimana nasib petani ayng menanam padi di luar luas baku sawah sehingga tidak dihitung.
Menurut dia, ada banyak padi ladang, padi gogo, dan rawa yang ditanam di kebun, ladang, belukar, rawa, areal hutan, dan areal sementara tidak diusahakan masuk dalam perhitungan tesebut.
“Apakah diabaikan, padahal luasnya sangat signifikan,” imbuhnya.
Meski demikian, Alle menegaskan bahwa data surplus beras ini layak diapresiasi karena menunjukkan ada dampak dari program-program pertanian. Surplus beras 2,85 juta ton menandakan produksi berlebih dan melimpah dibandingkan konsumsi.
“Jelas jelas mubadzir atau sia-sia itu impor beras 2 juta ton. Sekarang ini publik bertanya-tanya mengkaitkan antara rilis data dengan impor ini. BPS ikut-ikutan bicara impor, ada apa ini? BPS ya agar fokus pada data saja,” ungkapnya.
BACA JUGA: Beda dengan BPS, Kementan Sanggah Data Produksi Berasnya Palsu
Bahkan impor, kata dia, bertentangan dengan upaya pemerintah yang terus mendorong ekspor di tengah situasi sulit menghadapi perang dagang (trade war) yang terjadi saat ini.
"Waktu lalu ada yang bilang, bila tidak impor akan tewas kita. Ya jangan begitulah. Ini data sudah surplus, jadi tidak bakalan tewas. Justru sebaliknya, bila tidak impor akan tewas para pehobi impor itu,” tuturnya.
Lebih lanjut Alle menjelaskan, agar fair mendapat data yang diinginkan untuk menyelesaikan masalah. Metode KSA harus dikombinasikan dengan sensus beras. Cukup sekali Sensus bisa dijadikan pijakan data yang kredibel dan valid.
“Metode KSA bisa dianggap sebagai menyelesaikan masalah dengan menyisakan masalah pula jika tidak dilengkapi dengan sensus, maupun pendataan terbaru sebaran stok beras di petani, penggilingan, gudang, toko dan pedagang, di konsumen, warung hotel seta restoran,” jelasnya.
“Saya setuju dengan Kepala BPS bahwa stok sebagian besar ada di rumah tangga yang sulit dikendalikan bila dibutuhkan pemerintah. Tapi Kepala BPS tidak menyajikan angka stoknya Survei Kajian Cadangan Beras (red.SKCB) 2015 itu sehingga seolah tidak gamblang,” pintanya.
Alle mengungkapkan hasil survei SKCB BPS 2015 itu di 31 Maret 2015 ada stock beras 7,97 juta ton, lalu 31 Juni stock 10,02 juta ton dan 30 September 2015 stock 8,85 juta ton. Dengan begitu, stock sangat tinggi berkisar 7,9 hingga 10 juta ton. Bahkan beberapa kali Sucofindo survei sejak 2007 hingga 2012, stock beras berkisar 6 hingga 9 juta ton beras
BACA JUGA: Jangan Sampai Data Baru BPS Jadi Alasan Impor Pangan 2019
“Artinya survei BPS 2015 ini menjadi kontradiktif dengan angka surplus metode KSA sebesar 2,85 juta ton. Kelihatan janggal dan berbeda jauh untuk dicermati,” ungkap Alle.
Namun demikian, Alle menegaskan jika mengacu data stock beras hasil SKCB BPS maupun data surplus hasil KSA, bukan berarti neraca beras defisit. Pasalnya, program pembangunan pertanian sudah menuju modern sehingga mampu menyediakan pangan ke depannya.
“Jadi jangan percaya bila ada yang bilang neraca beras tidak aman. Saya optimis neraca beras sangat aman hingga tahun depan dan tahun-tahun selanjutnya mengingat infrastruktur pertanian yang dibangun selama ini semakin kuat. Pondasi pertanian sudah mantap untuk akselerasi,” pungkasnya.