KOMPAS.com - Direktur Serealia (sereal atau biji-bijian), Kementerian Pertanian ( Kementan), Bambang Sugiharto menegaskan tidak sependapat dengan pandangan ahli dari IPB Andreas Dwi Santosa.
Andreas mengatakan bahwa angka produksi beras yang disampaikan Kementan hanyalah angka-angka palsu, jauh dari kenyataan, dan hanya untuk menepati janji swasembada.
“In fact data yang dirilis Kementan berbasis data dari Badan Pusat Statistik (BPS) juga. Dan gampang saja menguji validitas data produksi beras," ujar Bambang di Jakarta, dalam siaran resmi yang Kompas.com terima, Kamis (25/10/2018).
Lebih lanjut Bambang mencontohkan stok besar di pasar. Sampai saat ini beras masih tersedia melimpah dengan harga kisaran dari Rp 8000 per kilogram dan ini menunjukkan memang terjadi surplus beras.
"Saya itu setiap hari berangkat kerja dari Ciputat melewati empat kios beras, saya lihat stok beras selalu menumpuk,” tegas Bambang.
BACA JUGA: FAO Sebut Produksi Padi Indonesia 2018 Lebih dari 72 Juta Ton
Ia kemudian mencurigai bila sejumlah pendapat ahli yang cenderung mempertanyakan sukses Kementan mewujudkan swasembada dan surplus beras memiliki tendensi non teknis.
“Terlihat ya pengamat pengamat itu saja yang selalu mengatakan data kami tidak valid, tidak benar, nyinyir tanpa solusi dan bukti,” geram Bambang.
Menurut Bambang, konon pengamat tersebut adalah barisan pengamat sakit hati. Mereka sering mengajukan proposal proyek ke Kementan, tapi tidak pernah mendapat anggaran.
Hal ini mungkin terjadi karena usulannya tidak masuk akal dan tidak applicable sehingga tidak feasible mendapat pembiayaan dari Kementan.
Data beras baru BPS
Di sisi lain, Bambang menyatakan Kementan menghargai upaya Wakil Presiden dan BPS untuk melakukan pembenahan terhadap data produksi beras.
Meski begitu, ia menyatakan agar sebaiknya tidak langsung menerima metode baru estimasi penghitungan BPS tersebut sebagai suatu kebenaran mutlak. Pasalnya, validitas metode tersebut tetap harus diuji.
“Kedua kami juga menilai ada hal yang kurang logis dari hasil perhitungan metode baru ini,” ujarnya.
Dengan metode baru ini, pada 2018 diperkirakan Indonesia hanya surplus 2,85 juta ton. Menurut Bambang, angka ini dinilai terlalu under estimate.
“Jika surplus beras dihitung dari cadangan yang dipegang Bulog dan cadangan beras di masyarakat, maka perhitungan surplus ini menjadi kurang masuk akal,” ucapnya.
BACA JUGA: Jangan Sampai Data Baru BPS Jadi Alasan Impor Pangan 2019
Menurut catatan Bulog, sampai bulan Oktober ini pengadaan beras dalam negeri telah mencapai 1,5 juta ton. Dari jumlah ini 700.000-an ton sudah dipakai untuk beras rastra, operasi pasar dan bantuan bencana alam.
Sisa cadangan beras pengadaan dalam negeri sekarang sekitar 800.000 ton. Selain beras tersebut, Bulog juga memegang cadangan beras kelas premium sebesar 150 ribu ton.
Karena itu, Bambang menjelaskan, saat ini dari pengadaan beras dalam negeri Bulog memegang sekitar 950.000 ton. Jika disebutkan angka surplus beras hanya 2,85 juta ton, maka cadangan beras yang berada di masyarakat atau rumah tangga hanya 1,9 juta ton.
Lebih lanjut Bambang menjelaskan, jika diasumsikan jumlah rumah tangga di Indonesia sebesar 100 juta kepala keluarga (KK), maka cadangan surplus beras yang di rumah tangga hanya 19 kg per KK per tahun.
“Ini tidak masuk akal, tahun 2015 kalo tak salah BPS telah melakukan survei surplus beras di rumah tangga mencapai 7,5 kg per bulan atau 90 kg per tahun. Hal ini menunjukkan metode baru tersebut masih tetap perlu diuji validitasnya, logika modelingnya,” tandas Bambang.