KOMPAS.com - Data baru Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai produksi beras terus menjadi perhatian banyak pihak. Salah satunya dari Asosiasi Pedagang dan Tani Tanaman Pangan dan Hortikultura Indonesia (APT2PHI).
Ketua Umum APT2PHI Rahman Sabon Nama memiliki sejumlah catatan terhadap data pangan baru BPS. Catatan ini dia buat usai pertemuan yang membahas penyempurnaan data pangan tersebut, Senin (22/10/2018) di Kantor Wakil Presiden, Jakarta.
Rahman mengingatkan agar Pemerintah ekstra hati-hati dalam penyajian data. Agar terhindar dari kesan atau opini publik bahwa Pemerintah telah membohongi rakyat dengan penyajian data produksi padi yang rendah, dan luas lahan menyusut.
"Jangan semata-mata hanya untuk membenarkan alasan Pemerintah melakukan impor beras pada awal 2019 nanti", ungkap Rahman.
Ia melanjutkan bahwa rapat yang tidak dihadiri Menteri Pertanian Andi Amran dan Ketua Bulog Budi Waseso itu jangan sampai keliru dalam membuat kebijakan terkait anggaran dan impor beras.
BACA JUGA: Sekjen Kementan: Soal Data Beras, Kami Dukung BPS
Jangan sampai, dengan alasan produksi yang rendah dan lahan sawah semakin berkurang, pemerintah kemudian menambah anggaran untuk tambahan impor beras.
“Apabila hal ini dilakukan, maka akan semakin merugikan petani dan rakyat," tegas Rahman.
Oleh karenanya, Rahman yang juga Dewan Pakar Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) menambahkan, pemerintah harus akurat dalam hal merilis data terkait Neraca Produksi dan Kebutuhan Padi dan Beras Nasional.
Sebagai perbandingan, data Food and Agriculture Organization (FAO) Rice Market (monitoring beras Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia) pada April 2018, memperlihatkan dalam tabel produksi padi di Asia bahwa produksi padi Indonesia tahun 2018 lebih tinggi dari tahun 2017 sekitar 72 juta ton gabah kering giling (GKG).
Data produksi beras yang dipublikasikan FAO pada 6 bulan lalu ini, jauh lebih tinggi dibanding data BPS, yang menyatakan bahwa produksi padi Indonesia tahun 2018 hanya 56 juta ton GKG.