KOMPAS.com - Kementerian Ketenagakerjaan ( Kemenaker) menyambut baik aksi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) yang telah menetapkan Rancangan Undang-undang tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak ( RUU KIA) pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan menjadi undang-undang (UU)
Direktorat Jenderal (Dirjen) Pembinaan Hubungan Industrial (PHI) dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsos) Kemenaker Indah Anggoro Putri mengatakan, pengesahan RUU KIA menjadi UU merupakan wujud konkret dari komitmen DPR dan pemerintah untuk menyejahterakan ibu dan anak menuju Indonesia Emas 2045.
“Melalui UU KIA ini, saya harap dapat meningkatkan pelindungan dan kesejahteraan bagi pekerja atau buruh,” ujar Putri melalui siaran persnya, Jumat (7/6/2024).
Putri menyebut, Kemenaker merupakan salah satu bagian dari kementerian yang terlibat dalam pembahasan RUU KIA selain Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Kementerian Sosial (Kemensos), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).
Baca juga: Kemenaker Perkuat Perlindungan Pekerja Migran Indonesia di Kawasan Eropa
Melalui keterlibatannya, kata Putri, Kemenaker memastikan bahwa pengaturan-pengaturan dalam RUU KIA tidak bertentangan dengan aturan-aturan ketenagakerjaan lainnya, baik yang diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) maupun UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
“Kami telah memastikan bahwa apa yang diatur dalam UU KIA tersebut, terutama yang kaitannya dengan ibu yang bekerja yang melahirkan, menyusui, dan keguguran serta pekerja laki-laki yang istrinya melahirkan atau keguguran, tidak bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan maupun UU Cipta Kerja,” ujar Putri.
Secara spesifik, Putri mengungkapkan, beberapa pengaturan dalam UU KIA yang berhubungan dengan ketenagakerjaan, salah satunya cuti melahirkan bagi ibu yang bekerja.
Dalam UU KIA, ia mengatakan bahwa setiap ibu yang bekerja berhak mendapatkan cuti melahirkan paling singkat tiga bulan pertama dan paling lama tiga bulan berikutnya apabila terdapat kondisi khusus yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter.
Baca juga: Kampanyekan Program TKM, Kemenaker Ingin Lahirkan Pelaku Usaha Baru dan Perluas Kesempatan Kerja
“Selama masa cuti tersebut, mereka berhak atas upah yang dibayar penuh untuk tiga bulan pertama dan bulan keempat. Kemudian 75 persen dari upah untuk bulan kelima dan bulan keenam,” ucapnya.
Lebih lanjut, Putri mengatakan, mereka yang mengambil cuti tersebut tidak dapat diberhentikan dari pekerjaannya dan tetap memperoleh haknya sesuai dengan ketentuan aturan-aturan ketenagakerjaan.
“Ketentuan mengenai cuti melahirkan bagi ibu yang bekerja yang diatur dalam UU KIA merupakan bentuk penguatan dari ketentuan yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan, yang mana ketentuan mengenai hal tersebut tidak dilakukan perubahan dalam UU Cipta Kerja,” ujarnya.
Selain ibu yang melahirkan, UU KIA juga mengatur hak suami untuk cuti pendampingan istri pada masa persalinan. Putri menyebut, pihaknya akan memberikan cuti selama dua hari dan dapat diberikan paling lama tiga hari berikutnya atau sesuai dengan kesepakatan.
Baca juga: Di Jenewa, Menaker Ida Sepakati Kerja Sama Ketenagakerjaan Indonesia-Turki
Bentuk pelindungan lainnya, dengan memberikan hak waktu istirahat satu setengah bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter, fasilitas yang layak untuk pelayanan kesehatan dan gizi, melakukan laktasi selama waktu kerja, serta memberikan dokter kebidanan dan kandungan atau bidan jika mengalami keguguran.
Ia menambahkan, selain penguatan pelindungan pekerja atau buruh, UU KIA juga mempertegas aspek kesejahteraan pekerja atau buruh melalui penyediaan fasilitas kesejahteraan pekerja.
“Adapun jenis fasilitas kesejahteraan pekerja tersebut bisa macam-macam, yang penting fasilitas kesejahteraan pekerja tersebut memang dibutuhkan oleh pekerja di perusahaan dan perusahaan mampu untuk menyediakannya,” ujarnya.