KOMPAS.com – Anggota Ombusdman Rerpublik Indonesia (RI) Yeka Hendra Fatika mengatakan, pihaknya menduga adanya potensi maladministrasi dalam penetapan Surat Edaran (SE) Badan Pangan Nasional (Bapanas) No.47/TS.03.03/K/02/20230.
Dugaan tersebut didasarkan atas format SE yang mengatur tentang harga batas atas gabah (ceiling price) petani tersebut tidak lazim.
Yeka menjelaskan, SE merupakan produk hukum yang isinya secara materil mengikat umum, tetapi bukan peraturan perundang-undangan.
Mengingat SE bukan peraturan perundang-undangan, maka SE merupakan sebuah instrumen administratif yang bersifat internal.
“Surat edaran itu kan lazimnya untuk internal, tetapi diberlakukan untuk eksternal. Kedua, kalau pun yang dimaksudkan tujuannya baik, tetapi momentumnya kurang pas, yaitu di saat panen raya,” jelasnya.
Baca juga: Kementan Gandeng Ombudsman Optimalkan Pengawasan Distribusi Pupuk Bersubsidi
Hal tersebut dikatakan Yeka dalam Rapat Koordinasi Pengelolaan dan Pengawalan Pupuk Bersubsidi pada Rabu malam di Bogor, Rabu (1/3/23).
Oleh karenanya, Yeka pun berharap Bapanas segera meninjau ulang SE yang ditetapkan pada 20 Februari 2023 tersebut.
“Dugaan maladministrasinya kuat sekali. Dugaan, ya. Artinya, kami Ombudsman sedang mengumpulkan berbagai macam informasi dan pendalaman terkait kebijakan ini,” katanya dalam siaran pers, Kamis (2/3/2023).
Untuk diketahui, SE tersebut menetapkan harga batas atas untuk gabah kering panen (GKP) di tingkat petani sebesar Rp 4.550 per kilogram (kg), GKP di penggilingan Rp 4.650 per kg, dan gabah kering giling (GKG) di penggilingan Rp 5.700 per kg.
Sementara itu, harga beras medium yang ada di gudang Badan Urusan Logistik (Bulog) ditetapkan sebesar Rp 9.000 per kg.
Baca juga: Petani Menjerit Dengar Penetapan Harga Gabah Cuma Rp 4.550 Per Kg
“Harga atas dipatok pada level tertentu di bawah harga rata-rata keekonomian dari keseimbangan pasar. Dalam SE, misalnya, harga atas Rp 4.550. Artinya, petani tidak boleh menjual harga Rp 5.500,” jelasnya.
Padahal, kata Yeka, harga Rp 5.500 sampai Rp 6.000 adalah harga yang sah dalam keseimbangan pasar dan tidak patut untuk mengatur petani.
Yeka berharap, Bapanas dapat segera mencabut SE No.47/TS.03.03/K/02/20230 dan bertugas sesuai tugas pokok dan fungsi (tupoksi) serta wewenang yang seharusnya.
Dalam tata kelola kebijakan pangan, Bapanas melaksanakan kewenangan yang besar, salah satunya dalam hal penetapan harga pokok penjualan (HPP).
“Kalau mengatur untuk pemerintah, Bulog boleh melalui instrument HPP. Nah, HPP-nya saja yang dikoreksi, karena HPP itu instrumen yang digunakan pemerintah untuk membeli petani. Nah itu boleh diatur,” katanya.
Akan tetapi, lanjut Yeka, pihaknya merasa tidak tepat jika Bapanas mengatur petani dengan menetapkan harga.
Baca juga: Jaga Harga Gabah, Kementan Ingin Petani Nikmati Keuntungan Produksi
“Ombudsman merasa ini tidak fair bagi petani, apalagi diberlakukan pada musim hujan seperti ini,” tuturnya.