Di Tengah Fase Kontraksi, Pelaku Industri Manufaktur RI Masih Percaya Diri Tambah Tenaga Kerja

Kompas.com - 03/06/2025, 09:54 WIB
Dwi NH

Penulis

Juru Bicara Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Febri Hendri Antoni AriefDOK. Kemenperin Juru Bicara Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Febri Hendri Antoni Arief

KOMPAS.com - Industri manufaktur dalam negeri masih mengalami tekanan akibat dinamika ekonomi global dan membanjirnya impor produk jadi di pasar domestik.

Hal tersebut tercermin dari capaian Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur Indonesia pada Mei 2025 yang masih berada dalam fase kontraksi di level 47,4. Meski begitu, angka ini meningkat dibandingkan April 2025 yang tercatat di level 46,7.

Selain Indonesia, sejumlah negara juga mengalami kontraksi pada Mei 2025.

PMI manufaktur Vietnam berada di level 49,8, Prancis 49,5, Jepang 49,0, Jerman 48,8, Taiwan 48,6, Korea Selatan 47,7, Myanmar 47,6, dan Inggris 45,1.

Juru Bicara Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Febri Hendri Antoni Arief mengatakan, hasil survei menunjukkan adanya penurunan pesanan baru pada Mei.

Baca juga: Survei: 73 Persen Konsumen Asia Tenggara Pilih AI untuk Dukung, Bukan Gantikan Layanan Manusia

“Penurunan ini terkait dengan lesunya permintaan pasar, termasuk dari pelaku usaha yang menargetkan pasar ekspor. Khususnya ke Amerika Serikat (AS) karena dampak tarif Presiden Trump,” ujarnya melalui siaran pers, Selasa (3/6/2025).

Febri menambahkan, ekspor juga terhambat oleh sulitnya memperoleh kapal angkut logistik dan faktor cuaca buruk.

Perlambatan kinerja industri manufaktur juga disebabkan turunnya volume produksi, salah satunya akibat kenaikan harga bahan baku.

“Ini membuat industri kita kalah saing dengan kompetitor. Sebab, harga jual produk mereka tidak naik, sehingga mereka bisa lebih efisien,” jelas Febri.

Meski demikian, laporan S&P Global menunjukkan pelaku industri masih percaya diri menghadapi situasi sulit ini. Mereka optimistis kondisi ini akan segera berlalu dan kinerja industri akan kembali membaik.

Baca juga: Industri Penerbangan Global Diprediksi Positif di Tengah Perang Dagang

Kepercayaan tersebut tercermin dari komitmen pelaku industri yang tetap menambah jumlah tenaga kerja.

Bahkan, penambahan jumlah tenaga kerja telah berlangsung selama enam bulan terakhir sebagai antisipasi pemulihan permintaan.

Serap 97.898 tenaga kerja

Senada dengan itu, Febri menyampaikan bahwa hingga triwulan I-2025, terdapat 359 perusahaan yang melaporkan sedang membangun fasilitas produksi.

Dari jumlah tersebut, terserap tenaga kerja sebanyak 97.898 orang.

Angka serapan tenaga kerja itu lebih tinggi dibandingkan jumlah pemutusan hubungan kerja ( PHK) di seluruh sektor, termasuk industri manufaktur, yang dilaporkan oleh pihak lain ke publik.

Baca juga: Aktivitas Manufaktur China Melemah, Terseret Tarif AS dan Lesunya Ekspor

Pembangunan fasilitas produksi ini menjadi bukti bahwa optimisme terhadap penyerapan tenaga kerja masih tinggi.

“Tolong dipahami, kami sangat berempati kepada perusahaan yang tutup dan para pekerja yang terdampak PHK,” tegas Febri.

Ia mengungkapkan, penyampaian data serapan tenaga kerja ini bukan berarti Kemenperin menutup mata terhadap kondisi tersebut, melainkan bentuk optimisme instansinya terhadap prospek industri manufaktur nasional ke depan.

Febri juga menuturkan bahwa Kemenperin bersama kementerian dan lembaga lain memiliki sejumlah program yang dapat dimanfaatkan oleh pekerja terdampak PHK.

Program tersebut, di antaranya peningkatan kompetensi (reskilling), pelatihan kewirausahaan industri baru, hingga fasilitasi perpindahan kerja ke perusahaan lain yang dekat dengan lokasi sebelumnya.

Baca juga: Daftar Perusahaan Peserta Job Fair Jakarta Barat 3–4 Juni 2025

Pemerintah siapkan kebijakan insentif upah 

Ia menambahkan, pemerintah saat ini juga menyiapkan kebijakan insentif upah berupa pemotongan PPh 21 sebesar tiga persen untuk pekerja di industri padat karya.

Febri berharap insentif tersebut segera diterapkan agar bisa menopang produktivitas para pekerja industri.

“Banyak pelaku industri mengapresiasi kebijakan baru yang proindustri, yaitu Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 46 Tahun 2025 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah,” ujarnya.

Kebijakan itu, lanjut Febri, disebut oleh Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita sebagai kebijakan afirmatif dan progresif.

Salah satu isi kebijakan tersebut mewajibkan belanja pemerintah memprioritaskan produk manufaktur dalam negeri.

Baca juga: Pergerakan Rupiah Terpengaruh Ancaman Tarif Impor Baja Trump

“Belanja pemerintah untuk produk jadi impor berada di urutan prioritas kelima, di bawah produk dalam negeri,” imbuh Febri.

Lebih lanjut, Febri mengatakan bahwa Kemenperin juga sedang mereformasi kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri ( TKDN).

Reformasi tersebut mencakup penyederhanaan tata cara perhitungan, percepatan waktu proses, dan penurunan biaya.

“Tujuannya agar semakin banyak produk dalam negeri yang memiliki sertifikat TKDN dan dapat dibeli oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN, maupun BUMD,” imbuh Febri.

Saat ini, tercatat sebanyak 14.030 perusahaan industri memproduksi barang ber-TKDN yang dibeli melalui belanja pemerintah dan BUMN/BUMD.

Baca juga: 6 Kampus BUMN Buka Pendaftaran Beasiswa 2025, Kuliah Gratis sampai Lulus

Penyerapan tenaga kerja dari perusahaan-perusahaan tersebut diperkirakan mencapai 1,7 juta orang.

“Dengan diterbitkannya Perpres Nomor 46 Tahun 2025, permintaan terhadap produk industri meningkat. Hal ini membantu mencegah penurunan utilisasi, penutupan pabrik, dan PHK massal,” ujar Febri.

Kemenperin dorong sinergi industri

Dalam momentum Hari Lahir Pancasila, Febri mengajak seluruh pemangku kepentingan industri manufaktur agar memiliki visi yang sama dalam memahami dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila.

Utamanya dalam upaya membangun sektor industri sebagai tulang punggung perekonomian nasional.

“Jangan lagi menonjolkan ego sektoral dalam memajukan ekonomi nasional, khususnya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Mari utamakan semangat gotong royong dalam membangun seluruh sektor ekonomi Indonesia,” kata Febri.

Baca juga: Tak Masuk Stimulus Ekonomi, ke Mana Perginya Diskon Listrik Juni-Juli 2025?

Ia menyatakan bahwa industri manufaktur siap bergotong royong bersama sektor lain untuk mewujudkan target pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen pada 2029, sebagaimana yang ditetapkan Presiden Prabowo.

Menanggapi capaian PMI manufaktur Indonesia pada Mei 2025, Ekonom S&P Global Market Intelligence, Usamah Bhatti, menyebut penurunan kinerja industri disebabkan oleh melemahnya permintaan baru dalam hampir empat tahun terakhir.

Kondisi tersebut menyebabkan penurunan volume produksi secara signifikan.

Baca juga: Produksi Turun, BPS Catat Harga Beras Naik pada Mei 2025

“Ekspor juga terus menurun. Sementara itu, perusahaan berusaha menyesuaikan tingkat persediaan dan pembelian untuk merespons lemahnya permintaan. Namun, perusahaan tetap yakin masa penurunan ini akan segera berakhir,” jelas Usamah.

Keyakinan perusahaan itu tercermin dari meningkatnya perekrutan tenaga kerja dan keyakinan terhadap prospek output dalam 12 bulan mendatang.

Bagikan artikel ini melalui
Oke