KOMPAS.com - Kinerja industri manufaktur Indonesia kembali menguat seiring naiknya angka Indeks Kepercayaan Industri (IKI).
Perkembangan itu mencerminkan semangat optimisme serta kemampuan adaptif sektor industri Indonesia dalam menjaga keberlanjutan produksi, meskipun dibayangi sejumlah tantangan global maupun domestik.
Pada Agustus 2025, angka IKI mencapai angka 53,55, meningkat 0,66 poin dibandingkan Juli 2025 sebesar 52,89. Capaian ini juga lebih tinggi 1,15 poin dibandingkan Agustus pada 2024 sebesar 52,40.
Juru Bicara Kementerian Perindustrian (Kementerian) Febri Hendri Antoni Arief mengatakan, penguatan IKI pada Agustus didukung peningkatan dua dari tiga variabel pembentuknya.
Baca juga: Industri Manufaktur 2025 Tumbuh Positif, Kemenperin Fokus Perkuat Hilirisasi dan Teknologi
“Variabel ini, yaitu indeks pesanan naik 2,98 poin ke 57,38, persediaan produk meningkat 2,05 poin ke 57,04 serta indeks produksi yang tercatat 44,84, turun 4,15 poin dibandingkan Juli 2025 sebesar 48,9," katanya dalam keterangan yang diterima Kompas.com, Kamis (28/8).
Febri menyebutkan, penurunan variabel produksi itu dipengaruhi sikap sejumlah perusahaan di beberapa subsektor industri yang menahan proses produksi (wait and see).
“Perusahaan menunda pembelian bahan baku impor atau dalam negeri dan menggunakan stok bahan baku yang dibeli pada bulan-bulan sebelumnya,” ujarnya.
Febri mengatakan, pembatasan pasokan gas bagi industri pada Agustus 2025 juga menjadi salah satu faktor pertimbangan bagi pelaku industri.
Dia menekankan, salah satu isu krusial yang sempat memengaruhi kinerja industri pada Agustus 2025 adalah permasalahan pasokan gas industri yang tergolong harga gas bumi tertentu ( HGBT).
Menurutnya, harga gas terbukti menjadi salah satu instrumen vital untuk menjaga daya saing industri nasional.
Kepastian HGBT yang kompetitif tidak hanya memengaruhi biaya produksi, tetapi juga keputusan investasi jangka panjang di sektor padat energi seperti pupuk, petrokimia, baja, dan kaca.
“Pada industri oleokimia yang kami kunjungi pekan lalu, terungkap bahwa setoran pajak mereka meningkat enam kali lipat setelah mereka mendapatkan pasokan gas HGBT,” jelasnya.
Oleh karena itu, Febri mengapresiasi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang telah merespons cepat keluhan para pelaku industri yang terdampak oleh pembatasan suplai gas.
Baca juga: Pertanyakan Kebijakan Produsen Gas yang Batasi HGBT, Kemenperin: Katanya Pasokan Sudah Stabil...
Dalam hal ini, Kementerian ESDM dapat memastikan jaminan stabilitas pasokan gas, terutama gas HGBT untuk industri.
Febri menyebutkan, pihaknya juga telah mendapat laporan dari pelaku industri bahwa pasokan gas kini stabil dan harga sesuai dengan regulasi yang ada.
“Kami berharap, dengan terpenuhinya kebutuhan energi tersebut, produktivitas sektor industri dapat segera pulih sehingga produksi terus meningkat dan daya saing industri nasional tetap terjaga,” katanya.
Salah satu rapat Kementerian Perindustrian.Kemenperin mencatat, dari 23 subsektor industri pengolahan yang dianalisis, 21 di antaranya menunjukkan ekspansi dengan kontribusi 95,6 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) Industri Pengolahan Nonmigas pada triwulan II-2025.
Baca juga: Gas Murah Dibatasi, Produsen Olekimia Curhat ke Kemenperin: Produksi Turun Lebih 30 Persen
Dua subsektor dengan nilai IKI tertinggi, yaitu Industri Alat Angkutan Lainnya dan Industri Pencetakan dan Reproduksi Media Rekaman (KBLI 18). Kenaikan ini didorong pesanan ekspor dan permintaan domestik.
Sementara itu, dua subsektor yang mengalami kontraksi adalah Industri Barang Logam, Bukan Mesin dan Peralatannya (KBLI 25) serta Reparasi dan Pemasangan Mesin dan Peralatan (KBLI 33).
Sekretaris Direktorat Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil Kemenperin, Sri Bimo Pratomo menyampaikan, pada Industri Barang Logam, Bukan Mesin dan Peralatannya, variabel produksi dan persediaan mengalami kontraksi dikarenakan masih adanya stok persediaan produk.
Dengan demikian, para pelaku industri mengurangi kapasitas produksi, meskipun pesanan meningkat.
Baca juga: Kemenperin: 134.797 Pekerja Berpotensi PHK jika Pembatasan Gas Murah Berlanjut
Adapun subsektor Reparasi dan Pemasangan Mesin dan Peralatan mengalami kontraksi karena aktivitas usahanya sangat bergantung pada periode pemeliharaan mesin dari industri-industri utama, yang pada Agustus 2925 cenderung menurun. Hal ini tercermin dari variabel pesanan yang mengalami kontraksi.
Dari sisi pasar, IKI berorientasi ekspor pada Agustus 2025 mencapai 54,11, naik 0,76 poin dari Juli 2025 sebesar 53,35. Hal ini didukung oleh kenaikan ekspor nonmigas sebesar 12,56 persen year on year (yoy) pada Triwulan – II 2025.
Kenaikan itu menunjukkan daya saing produk manufaktur Indonesia di pasar global tetap terjaga, di tengah perluasan tarif resiprokal AS ke beberapa negara.
Sementara itu, IKI domestik naik 0,48 poin menjadi 52,64. Kondisi ini mencerminkan permintaan dalam negeri yang kuat, sejalan dengan inflasi terkendali di 2,37 persen (yoy).
Baca juga: Kemenperin Soroti Pengetatan HGBT, Puluhan Ribu Pekerja Industri Terancam PHK
Peningkatan IKI pada Agustus 2025 juga didukung Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang naik pada Juli 2025 menjadi 118,1.
Kemudian, penjualan eceran diperkirakan naik menjadi 159,3 pada Agustus 2025, lebih tinggi dibandingkan periode sebelumnya sebesar 145,8.
Kenaikan itu sejalan dengan pengakuan sebanyak 79,8 persen pelaku usaha yang menyatakan kondisi usahanya meningkat dan stabil.
Dari jumlah itu, sebesar 32,9 persen di antaranya pelaku industri melaporkan kondisi usaha membaik (naik dari 31,2 persen pada Juli 2025) dan 46,9 persen menyatakan stabil (meningkat dari 45,9 persen pada Juli 2025).
Tingkat optimisme pelaku usaha untuk enam bulan ke depan juga meningkat dari 67,6 persen pada Juli 2025 menjadi 68,1 persen pada Agustus 2025, sedangkan tingkat pesimisme menurun dari 7,1 persen menjadi 5,6 persen.
Baca juga: Kemenperin Ungkap 2 Juta Buruh Manufaktur Kena PHK Akibat Terdampak Relaksasi Impor
Secara keseluruhan, Febri memandang optimisme pelaku usaha relatif terjaga untuk enam bulan kedepan. Hal ini didukung permintaan domestik yang kuat dan kebijakan pro-industri.
Selain itu, dia juga menekankan pentingnya membaca kinerja sektor manufaktur melalui indikator yang akurat.
Selama ini, publik sering membandingkan IKI dengan Purchasing Manager Index (PMI) manufaktur Indonesia. Padahal keduanya berbeda.
Untuk, IKI memiliki koresponden jauh lebih banyak, yakni sekitar 2.500–3.000 perusahaan industri dari 23 subsektor manufaktur sehingga mampu merepresentasikan kondisi riil industri nasional secara lebih komprehensif.
Sementara itu, PMI hanya mengambil sampel sekitar 500 perusahaan sehingga cenderung kurang luas cakupannya.
Baca juga: Kemenperin Tagih BYD dkk Terapkan TKDN 40 Persen untuk Produksi Mobil
“Hasil IKI pun terbukti sejalan dengan data pertumbuhan industri yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) sehingga dapat menjadi acuan valid dalam menilai kondisi aktual sektor manufaktur nasional,” katanya.