JAKARTA, KOMPAS.com – Setidaknya ada tiga tantangan utama yang saat ini tengah dihadapi sektor ketenagakerjaan di Indonesia.
Direktur Jenderal (Dirjen) Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas (Binalattas) Kementerian Ketenagakerjaan ( Kemnaker) Bambang Satrio Lelono mengatakan angkatan kerja, bonus demografi, dan era revolusi industri 4.0 dinilai menjadi tiga tantangan utama.
Hal itu dipaparkan langsung Bambang saat menghadiri acara Diskusi Panel dengan Tema Menyongsong Revolusi Industri 4.0 melalui Pelatihan Vokasi: Perkuat Daya Saing Sumber Daya Manusia (SDM) di Ruang Tripartit Kemnaker, Jakarta, Senin (23/9/2019).
“Saat ini ada 136,18 juta angkatan kerja Indonesia. Sebesar 129,36 juta atau 94.99 persen di antaranya bekerja. Namun, ada 6,82 juta atau 5,01 persen lainnya masih menganggur. Angka penganggur tersebut menurut sebesar 50.000 orang dari tahun sebelumnya,” ujar Bambang.
Baca juga: Kemnaker: Pelatihan Vokasi Diperlukan untuk Hadapi Revolusi Industri 4.0
Meskipun demikian, lanjutnya, Indonesia tidak boleh berpuas diri dengan penurunan angka pengangguran tersebut.
“Masih banyak pekerjaan yang harus dikejar. Salah satunya adalah tantangan kedua ketenagakerjaan Indonesia, yakni bonus demografi di masa mendatang,” ujar Bambang.
Menurutnya, harus ada upaya dari negara untuk melakukan investasi di bidang-bidang tertentu untuk memaksimalkan bonus demografi.
“Pertama, bidang kesehatan untuk mendukung lahirnya anak-anak sehat dan kuat, bidang pendidikan dan keterampilan guna mendorong kualitas anak bangsa, serta bidang ketenagakerjaan,” jelas Bambang.
Baca juga: Jurus Jitu Kemnaker Sambut Bonus Demografi 2020
Iklim ketenagakerjaan haruslah fleksibel. Selain itu bidang ini pun mesti merespons perkembangan tren terkini terkait industri.
“Jangan sampai bonus demografi ini berubah menjadi bencana demografi karena ketidaksiapan negara dalam memanfaatkan momen,” imbuhnya.
Tantangan ketiga, lanjut Bambang, adalah hadirnya era revolusi industri 4.0. Era ini diakuinya memiliki perubahan yang eksponensial yang banyak mengubah karakter bangsa.
Adapun karakter yang dimaksud adalah karakter bermasyarakat, bernegara, dan industri.
Untuk melakukan transformasi pasar kerja yang dinamis, pemerintah harus menyusun rencana transformasi per sektor.
Ambil contoh sektor industri otomotif. Meskipun saat ini Indonesia sudah bisa memproduksi mobil, tapi ke depannya akan tidak relevan secara terus-menerus. Sebab, di masa mendatang mobil konvensional akan tergantikan oleh mobil listrik.
Wakil Kepala Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) Bidang Ketenagakerjaan dan Hubungan Industrial, Antonius J. Supit sependapat dengan ungkapan Bambang.
Industri revolusi 4.0 di satu sisi dinilai bisa meningkatkan valuasi perusahaan, terutama perusahaan startup. Namun, di sisi lainnya bisa menantang pola bisnis tradisional.
“Contohnya adalah department store asal Amerika Serikat, Walmart. Pada 2010 Walmart memiliki 4.263 toko di 15 negara. Pada tahun yang sama, Alibaba melalui Taobao.com pun go international,” ungkap pria yang akrab disapa Anton.
Baca juga: JDIH Kemnaker Raih Penghargaan Tingkat Kementerian
Kendati demikian, tujuh tahun kemudian Alibaba bisa menyalip jumlah toko yang dimiliki Walmart secara drastsis.
Pada 2017 tercatat ada 11.718 toko Walmart di 28 negara. Sangat berbeda jauh dengan Alibaba yang memiiki 9 juta merchants di 220 negara pada tahun yang sama.
“Ini seakan menjadi alarm bagi kita untuk segera mengikuti model bisnis industri 4.0 jika tak ingin tertinggal,” ujar pria yang juga menjabat sebagai Ketua Komite Pelatihan Vokasi Nasional ini.
Oleh karena itu, pelatihan vokasi bisa menjadi salah satu kunci untuk meningkatkan kualitas SDM bangsa. Adapun target utama pelatihan vokasi ini adalah kelas pekerja yang masih memiliki tingkat kompetensi rendah.
Selain itu, masyarakat rentan (pengangguran muda, korban pemutusan hubungan kerja (PHK), janda, yatim, dan kaum difabel) juga menjadi target utama dalam pelatihan vokasi ini.