KOMPAS.com - Petani banyak dirugikan dengan semakin banyaknya peredaraan pestisida palus dan pestisida ilegal. Kedua pestisida ini bahkan tidak diketahui mutu dan asalnya.
Sebagai pengguna, petani merugi karena harganya sama dengan produk asli tetapi kualitasnya rendah.
Direktur Pupuk dan Pestisida Direktorat Jenderal (Ditjen) Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementerian Pertanian ( Kementan) Muhrizal Sarwani mengatakan, produsen pestisida juga ikut dirugikan.
Pasalnya, ini terkait hak kekayaan intelektual termasuk di antaranya paten, hak cipta, hak desain industri, merek dagang, hak varietas tanaman, dan indikasi geografis.
"Yang tidak kalah penting adalah dapat menghambat ekspor komoditas hasil pertanian karena dinilai terlalu banyak terpapar residu pestisida,” kata Muhrizal saat Seminar Sinergi Lintas Sektoral dalam Pengawasan Produk pestisida Palsu dan Ilegal di Jakarta, Selasa (27/8/2019).
Baca juga: Galakkan Program Serasi, Kementan Buat Road Map Pergiliran Ekskavator
Muhrizal menjelaskan, ada beberapa persoalan yang ditemui, seperti pestisida ilegal atau tidak terdaftar, pestisida palsu, serta mutu di luar batas toleransi.
“Sampai Mei 2019 ini jumlah pestisida yang terdaftar sebanyak 4.646 formulasi, sementara pestisida yang masa berlakunya sudah habis kami tarik dari peredaran di pasar. Hingga kini ada 1.700 formulasi yang sudah kami tarik,” ujarnya.
Guna mencegah peredaran pestisida palsu dan ilegal, pemerintah sudah menerbitkan peraturan perundang-undangan mengenai pengawasan pestisida, baik di pusat maupun daerah.
Bahkan, pemerintah telah membentuk tim penyidik pegawai negeri sipil di pusat dan daerah. Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PNS) tersebut pun telah mendapat pelatihan dari Badan Reserse Kriminal Polri (Bareskrim).
Baca juga: Agar Akurat, Kementan Minta Daerah Gunakan Aplikasi untuk Data Luas Luar Baku Tanaman
“Kami juga banyak membantu terkait dengan pengawasan, meskipun yang dihadapi cukup sulit untuk diselesaikan. Alhamdulillah di Brebes sudah dapat diselesaikan sampai penuntutan dan tuntas,” ujarnya.
Muhrizal menegaskan, Ditjen PSP saat ini terus berupaya mencegah pemalsuan pestisida dengan mengoptimalkan Komisi Pengawasan Pupuk dan Pestisida (KP3) pusat dan daerah.
Kementan juga sudah meminta Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) ikut mendorong Pemerintah Kabupaten/Provinsi dalam kegiatan KP3 daerah, terutama dalam penyediaan anggaran.
“Sekarang ini ada yang menyediakan, ada juga yang tidak. Tapi sebagian besar memang tidak menyediakan anggaran khusus untuk KP3,” ujarnya.
Selain itu, lanjut Muhrizal, juga dilakukan sosialisasikan dan pembinaan kios penjualan pestisida serta koordinasi dengan Satgas Pangan dari Bareskrim Polri.
“Untuk pengawasan di tingkat produsen, secara rutin pemerintah melakukan pemerikasaan label hingga pengawasan peradaran pestisida,” katanya.
Sementara itu, Chairman Croplife Indonesia Kukuh Ambar Waluyo menilai pemalsuan pestisida merupakan masalah serius.
Bahkan, hasil survei Insight Asia, sekitar 26 persen petani Indonesia pernah membeli pestisida palsu.
“Jika total petani Indonesia sebanyak 40 juta orang, maka diperkirakan 10 juta petani pernah membeli pestisda palsu,” katanya.
Dengan membeli pestisida palsu, menurut Kukuh, petani yang sebelumnya berharap bisa mendapatkan hasil panen bagus, justru mengalami kerugian dan pada akhirnya tanaman menjadi tidak panen.
Anggota Croflife Indonesia, Mayang Marchiany mengatakan dengan nilai profit pestisida yang mencapai 6,5 miliar dollar Amerika merupakan profit yang sangat besar untuk produk palsu dan ilegal.
"Mereka bisa berjualan dan mendapatkan keuntungan bersih," katanya.
Namun di balik itu, menurut Mayang, akibatnya bagi petani dan lingkungan. Bagi petani, akan mengalami gagal panen, lingkungan menjadi rusak, musuh alami pada hama juga akan mati.
Baca juga: Agar Akurat, Kementan Minta Daerah Gunakan Aplikasi untuk Data Luas Luar Baku Tanaman
"Kami juga tidak bisa memonitor penyebabnya, karena bahan aktif tidak bisa ketahui," katanya.
Dengan adanya produk ilegal dan palsu, lanjut Mayang, akan membuat masalah kesehatan pada manusia. Berbeda dengan pestisida yang legal, karena sudah melalui berbagai uji, baik toxicologi, biologi, dan uji lainnya.
"Yang perlu dipertimbangkan lagi adalah potensi hilangnya pajak yang akan didapatkan pemerintah karena produk ilegal dan palsu," tegasnya.