JAKARTA, KOMPAS.com – Wilayah-wilayah di Indonesia saat ini sudah mulai memasuki musim kemarau. Menurut data Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), puncak musim kemarau diprediksi terjadi Juli-Agustus 2019.
Kementerian Pertanian ( Kementan) mencatat, hingga saat ini wilayah Jawa, Bali dan Nusa Tenggara telah mengalami kekeringan.
Dirjen Prasanan dan Sarana Kementan Sarwo Edhy menjelaskan, terdapat kurang lebih 100 kabupaten dan kota dengan total luas lahan 102.654 hektar di tiga pulau itu mulai mengalami kekeringan. Sementara itu, 9.940 ha lainnya mengalami puso.
Baca juga: Antisipasi Kemarau, Kementan Dorong Petani Manfaatkan Program Asuransi
“Sesuai dengan peta monitoring hari tanpa hujan, sebagian besar wilayah Jawa, Bali dan Nusa Tenggara sudah tidak mengalami hujan lebih dari 30 hari,” ujar Edhy dalam Rapat Koordinasi Mitigasi dan Adaptasi Kekeringan, di auditorium kantor Kementan, Jakarta, Senin (8/7/2019).
Hal tersebut tentunya menjadi ancaman pagi para petani. Mereka menghadapi resiko kekeringan hingga puso atau gagal panen.
Untuk mengurangi dampak musim kemarau tahun ini, menurut Sarwo Edhy, akan dilakukan pemanfaatan sumber-sumber air dan embung pertanian. Saat ini, Kementan sudah memiliki 11.654 unit embung pertanian.
Embung pertanian itu dapat dimanfaatkan sebagai bank air, yang menampung air hujan atau air dari sumber-sumber air terdekat untuk disalurkan melalui pipanisasi.
“Kemudian kami manfaatkan nanti untuk sawah-sawah tadah hujan yang memang sulit mendapatkan sumber air di musim kemarau,” terang Edhy.
Baca juga: Musim Kemarau, Petani Bali Tetap Produktif Berkat Embung
Untuk itu, dia berpesan kepada daerah-daerah dengan potensi kekeringan di tahun ini agar segera mengusulkan untuk dibuatkan embung pertanian.
Selain embung pertanian, Edhy juga meminta agar alat mesin pertanian ( alsintan) berupa pompa air, yang sudah dibagikan pada periode 2015-2018, untuk dimanfaatkan dengan baik.
Selama periode itu, Kementan telah menyalurkan 93.860 unit pompa. Sementara itu, khusus untuk daerah terdampak kekeringan, sudah tersedia kurang lebih 20.000 pompa air.
Selain mitigasi, Kementan melakukan upaya adaptasi kekeringan dengan memanfaatkan daerah rawa. Jadi, di daerah rawa yang airnya justru surut diadaptasi untuk membuat luas tambah tanam (LTT).
“Jadi kami ingin membalik paradigma. Kalau kekeringan luas tanahnya menurun, kami mau justru meningkat karena ada potensi rawa yang bisa kita gunakan,” terang Direktur Jenderal Tanaman Pangan Sumardjo Gatot Irianto.
Kementan sudah memiliki beberapa varietas padi yang dapat ditanah di lahan rawa, yakni varietas padi inpara (inbrida padi rawa).
Baca juga: Upaya Kementan Tingkatkan Produktivitas Lahan Rawa di Sumsel
“Ini sudah berkembang di beberapa lokasi di Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan dan beberapa lokasi lain yang terendam,” terang Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) Fadjry Djufry.
Sementara itu, Kementan juga sudah memetakan wilayah-wilayah lahan kering yang dapat ditanami padi gogo, termasuk daerah-daerah yang ketersediaan airnya cukup dan dapat dioptimalkan.
“Kami punya inpago, inbrida padi gogo untuk lahan-lahan padi gogo. Semua lahan-lahan kering dalam 2 minggu padi bisa adaptasi,” ujar Fadjry.