KOMPAS.com - Meski kemarau dan debit air sungai kecil, para petani di Desa Girimukti, Cipongkor, Bandung Barat, tampak tetap semangat menanam demi menyambut musim tanam ketiga.
Itulah yang disaksikan oleh para peserta Pelatihan Kapasitas Petugas dan Petani Dalam Adaptasi Perubahan Iklim Tingkat Usaha Tani (API-TUT) 2019 saat mengunjungi dam parit di Desa Girimukti, Cipongkor, Bandung Barat.
Semangat para petani tersebut bukanlah tanpa alasan. Berkat adanya dam parit bantuan pemerintah yang dibangun tahun lalu, sebanyak 50 hektar (ha) sawah dapat terairi. Hasilnya indeks pertanaman (IP) pun meningkat dua kali.
"Sebelumnya, cuma dua kali. Itu juga yang (musim) kedua, (produksi) susah payah. Kalau sekarang bisa dua setengah kali dan tidak susah payah," jelas Ketua Kelompok Tani (Poktan) Trio Aren, Asep Heri.
Baca juga: Antisipasi Musim Kemarau, Kementan Genjot Pembangunan Irigasi Pertanian
Sebelum dibangunnya dam parit tersebut, Asep mengungkapkan warganya sudah membuat bendungan sementara dari bambu dan jerami. Namun sialnya sering jebol.
Permasalahan acap kali timbul ketika menghadapi musim kemarau di Desa Girimukti. Debit air yang seharusnya mengairi sawah di awal pertanaman, justru tidak bisa mengalir karena kecil.
"Sehingga atas desakan masyarakat, Kelompok Tani (Poktan) mengajukan proposal untuk memperoleh bantuan embung. Tapi ternyata setelah disurvei, lebih cocok dibuat dam parit," ujar Asep.
Koordinator Balai Penyuluhan Pertanian Cipongkor Solihin mengungkapkan di Desa Girimukti terdapat sekitar 156 ha sawah.
Dari total luas tersebut, lanjut Solihin, seluas 112 ha merupakan sawah irigasi teknis dan 44 ha lainnya merupakan sawah tadah hujan.
"Produktivitasnya sekitar 6,9 ton per ha saat musim rendeng (tanam)," terang Solihin.
Kepala Subdirektorat (Kasubdit) Iklim Konservasi Air dan Lingkungan Hidup, Direktorat Jenderal (Dirjen) Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP), Kementerian Pertanian ( Kementan) Andi Halu menuturkan, dam parit di Desa Girimukti ini memang dibangun sebagai bentuk antisipasi ketersediaan air selama musim kemarau.
Jadi, meskipun debit air kecil, air masih bisa dialirkan ke sawah-sawah petani.
"Insfrastruktur air ini juga sangat berguna dalam pengelolaan air lahan kering maupun tadah hujan," tambah Andi.
Berbeda dengan embung, dam parit ini dibangun dengan membendung sungai kecil atau parit alami.
Sungai kecil tersebut dapat menampung debit air minimal lima liter per detik dan dapat mengairi minimal 25 ha lahan.
Untuk memperluas cakupan pengairannya, maka dam parit ini dibangun secara bertingkat dari hulu ke hilir dalam satu aliran Daerah Aliran Sungai (DAS) mikro.
Baca juga: Tingkatkan Indeks Pertanaman, Kementan Bangun 2.358 Irigasi Perpompaan
Model pengembangan tersebut sangat ideal untuk dikombinasikan dengan pengelolaan air dan sedimen di waduk atau embung besar.
Sementara itu, untuk pemeliharaannya, Andi memperingatkan sebaiknya perawatan, pemeliharaan dan konservasi harus dilakukan dari hulu ke hilir.
Misalnya dengan pengerukan sedimen sungai yang sebaiknya dilakukan secara rutin sebelum musim hujan datang.
Sedangkan perawatan rutinnya seperti membersihkan sampah yang menghalangi aliran air. Semuanya bisa dilakukan dengan komitmen bersama di desa setempat.
Baca juga: Kunci Sukses Pertanian di Lahan Rawa Adalah Tata Kelola Irigasi
Saran tersebut lantas ditanggapi baik oleh Asep. Dalam pengelolaan, perawatan dan pengaturan air, masyarakat juga dilakukan bersama-sama.
"Kami mengangkat Kepala Sawah yang bertanggung jawab dalam mengatur dan inspeksi air," jelasnya.
Apalagi, imbuhnya, jika ada beberapa bagian sawah yang longsor atau rusak sehingga terjadi kebocoran air irigasi.
"Kalau bocornya hanya sedikit, ya diperbaiki swadaya. Tapi di sini lumayan sering longsor dan itu kami gotong royong." pungkasnya.