JAKARTA, KOMPAS.com - Bergulirnya bantuan alat dan mesin pertanian ( alsintan) sudah banyak membantu aktivitas petani dalam memperlancar usaha taninya. Bantuan alsintan tahun ini diharapkan akan semakin menyejahterakan petani.
Direktur Alat dan Mesin Pertanian, Direktorat Jenderal Prasaranan dan Sarana Pertanian (PSP), Kementerian Pertanian (Kementan), Andi Nur Alam Syah, menuturkan bahwa program mekanisasi pertanian serta bantuan alsintan semakin dibutuhkan petani karena berpengaruh secara signifikan pada kesejahteraan petani.
"Terutama karena alsintan mampu menekan biaya operasional 35 sampai 48 persen dalam produksi petani. Dulu, tanpa kemajuan mekanisasi ini, petani bisa membajak sawahnya satu hektar berhari-hari, tapi sekarang cukup 2 sampai 3 jam saja," kata Andi, Minggu (10/3/2019).
Andi mencontohkan penggunaan combine harvester yang membuatpanen bisa secara otomatis dalam sekali jalan. Karena dilengkapi alat penebas dan perontok, yang kemudian keluar dari mesin ini sudah berbentuk gabah.
"Petani bisa langsung memasukkan gabah kedalam karung sehingga waktu bisa terpangkas dengan efisien. Di beberapa tempat, luasan panen mencapai 3 hektar bisa hanya dilakukan dalam waktu 3 jam asalkan cuaca bagus dan tanah tidak lembek," ujarnya.
Keuntungan lain penggunaan alsintan juga dapat mengurangi penyusutan hasil panen (losses) sebesar 10 persen dan meningkatkan nilai tambah. Bahkan, penanaman padi yang dulunya hanya satu kali setahun, kini bisa tiga kali.
"Karena proses pengolahan dan panennya yang cepat. Produksi yang dicapai petani lebih tinggi, pendapatan petani juga bisa ikut naik," tambahnya.
Andi juga menuturkan bahwa alsintan menjadi solusi kelangkaan tenaga kerja yang sering terjadi di pedesaan, apalagi jumlah terbanyak tenaga kerja pada sektor tanaman pangan adalah petani yang sudah berusia lebih kurang 60 tahun kemudian disusul usia antara 40-45 tahun.
Masalah yang muncul pada kegiatan tanam dapat ditangani dengan menerapkan mesin tanam pindah bibit padi. Mesin transplanter bisa dijadikan solusi peningkatan kerja kegiatan tanam padi.
Hemat tenaga kerja, mempercepat waktu penyelesaian kerja tanam per satuan luas lahan. Faktor ini yang akhirnya bisa menurunkan biaya produksi budidaya padi," sebutnya.
Dampak nyata penggunaan mesin tanam padi ini, terlihat dari hasil pengamatan di tingkat petani. Pengguna mesin transplanter menunjukkan bahwa rata-rata kinerja satu mesin transplanter dengan satu orang operator dan dua asistennya dapat menggantikan 15-27 hari orang kerja (HOK), sedangkan kemampuan kerja tanam mencapai 1 sampai 1,2 hektar per hari.
Saat ini Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian Kementan sendiri sudah menghasilkan mesin transplanter yang dinamai dengan mesin Transplanter Jarwo 2:1. Secara umum rata-rata biaya tanam padi secara manual sekitar Rp 1,72 juta per hektar, sedangkan dengan mesin transplanter jarwo 2:1 sekitar Rp 1,1 juta per hektar.
Sebagai contoh Gapoktan Madiun Bersatu di Dusun Parit Madiun, Kecamatan Sei Kakap, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Petani di daerah tersebut sudah sangat menggantungkan kegiatan tanamnya pada mesin transplanter Jarwo 2:1.
Biaya tanam padi secara manual dengan metode tanam Jarwo sebesar Rp. 1,8 juta per hektar dan dengan Jarwo Transplanter hanya Rp 1,4 juta per hektar. Produktivitas padi dengan metode tanam Jarwo meningkat rata-rata dari 3,3 ton per hektar menjadi sekitar 4,7 ton per hektar.
"Begitu juga di Kabupaten Subang, ongkos tanam manual sebesar Rp 3,5 juta per hektar dibandingkan untuk Jarwo Transplanter hanya Rp 1,8 juta per hektar. Rata-rata produktivitas padi yang menerapkan metode tanam Jarwo mencapai 7,6 ton per hektar," papar Andi.
Fakta lainnya, sambung Andi, juga dirasakan oleh Kelompok Tani Suka Maju, Dusun Kalikebo, Kecamatan Trucuk, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Dengan menggunakan mesin transplanter, biaya tanam secara manual untuk cara jarwo Rp 2 juta per hektar.
"Sedangkan dengan transplanter sebesar Rp 1,9 juta per hektar dengan rata-rata produktivitas padi memakai metode tanam Jajar Legowo mencapai 7,5 ton per hektar," ucapnya.