KOMPAS.com – Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) mengapresiasi langkah Kementerian Pertanian (Kementan) yang fokus mencetak sawah di lahan rawa. Langkah itu merupakan salah satu solusi untuk petani menghadapi musim kemarau.
Sebagai informasi, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Internasional dan Nasional kompak memprediksi Indonesia akan mengalami siklus kemarau panjang, atau yang biasa disebut EL-Nino dalam 5 sampai 10 tahun mendatang.
Ketua KTNA Winarno Tohir mengatakan, cetak sawah di lokasi rawa merupakan langkah tepat. Ia meyakini, lahan rawa mampu bertahan saat menghadapi kemarau panjang dan tersedia dalam jumlah cukup luas.
" Lahan rawa memiliki cadangan air yang berlebih. Sedangkan, lahan biasa membutuhkan alat bantu seperti infrastruktur air sekunder tersier maupun saluran kecil lainnya," jelas Winarno sesuai dengan rilia yang Kompas.com terima, Selasa (12/2/2019).
Kementerian Pertanian (Kementan) menganggarkan Rp 4,9 triliun untuk mengkonversi lokasi rawa menjadi sawah seluas 500.000 hektar (ha). Selain itu, pemerintah memperluas lahan sawah eksisting 6.000 ha.
"Ini sekaligus untuk pengadaan alsintan (alat mesin pertanian), pengembangan embung, dan irigasi-irigasi lainnya," ujar Direktur Jenderal Prasarana Dan Sarana Pertanian Kementan, Sarwo Edhy.
Optimalisasi lahan rawa menjadi sawah ini akan difokuskan di Kalimantan Selatan seluas 300.000 ha, Sumatera Selatan 200.000 ha, dan sebagian kecil di Jambi.
Sedangkan, perluasan areal sawah akan dilakukan di Riau, Sumatera, dan Sulawesi.
"Area rawa menjadi lokasi pengembangan lahan sawah terkini karena memiliki potensi yang besar," ujar dia.
Potensi lahan rawa
Dalam catatan Kementan, luas rawa di Indonesia mencapai 33,4 juta ha yang terdiri atas lahan pasang surut seluas 23,05 juta ha dan rawa lebak seluas 10,35 juta ha.
Meski memiliki tingkat kesuburan yang cukup baik, lahan rawa dinilai masih memiliki kekurangan, yakni kondisi biofisik lahan seperti kemasaman tanah dan kandungan besi yang tinggi. Lalu, masalah air, seperti kekeringan dan genangan.
"Kondisi inilah yang harus ditangani agar produktivitas tanaman di lahan rawa lebih optimal dan produktif," kata Sarwo Edhy.
Sementara, Ketua KTNA Winarno mengatakan produktivitas lahan rawa tak sebanyak ketika menanam di lahan konvensional.
“Untuk satu petak sawah lahan konvensional mampu menghasilkan 6 ton per ha, sedangkan dari lahan rawa hanya 3 ton per ha,” jelas Winarno.
Sebagai solusinya, baik Kementan dan KTNA sepakat harus ada varietas khusus untuk area rawa.
Kementan sendiri mengaku telah menyiapkan varietas Inpara (Inbrida padi rawa) yang merupakan varietas padi adaptif lahan rawa sebanyak sembilan jenis.
"Beberapa padi juga punya hasil yang khusus, seperti Inpara 2 dan 7 yang punya bentuk tekstur nasi pulen, sementara Inpara 1, 3, 4, 8, dan 9 teksturnya pera, lalu tekstur sedang untuk Inpara 5, dan 6 dengan umur panen 114-135 hari," ujar dia.
Selain itu, Kementan menyiapkan teknologi khusus untuk mengatasi sejumlah tantangan menangani lahan rawa, seperti manajemen pengairan, teknologi olah lahan hingga, penyiapan varietas padi unggul untuk rawa.