JAKARTA, KOMPAS.com - Badan Pusat Statistik ( BPS) baru saja mengeluarkan data produksi beras nasional.
Berdasarkan data terbaru BPS, dengan metode kerangka sampel area (KSA), luas baku sawah berkurang dari 7,75 juta hektar (ha) pada 2013 menjadi 7,1 juta ha pada 2018.
Potensi luas panen pada 2018 mencapai 10,9 juta ha, sementara proyeksi Kementerian Pertanian ( Kementan) adalah 15,5 juta ha.
Perbedaan data juga terjadi pada produksi beras. Data BPS menyebut, produksi gabah kering giling (GKG) pada 2018 sebesar 56,54 juta ton atau setara 32,42 juta ton beras, sementara proyeksi Kementan 83,3 juta ton GKG atau setara 48 juta ton beras.
"Kami menggunakan sebuah metode yang namanya kerangka sampel area. Ini merupakan inovasi yang dilakukan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan sudah mendapat penghargaan dari LIPI," jelas Kepala BPS Suhariyanto, Selasa (23/10/2018).
Terkait hal tersebut, Sekretaris Jenderal Kementan Syukur Iwantoro angkat bicara. Menurut dia, pihaknya senang dan mengapresiasi peluncuran data terbaru BPS.
Syukur menyebutkan, BPS merupakan satu-satunya lembaga yang diakui undang-undang sebagai referensi acuan data nasional.
"Kami mendukung perubahan metode penghitungan mengenai beras nasional yang dilakukan BPS. Pada intinya, beras kita masih surplus," ujar Syukur kepada awak media, Rabu (24/10/2018), di Jakarta.
Mengacu perhitungan metode terbaru BPS, didapatkan data bahwa produksi beras nasional pada 2018 dalam kondisi surplus 2,8 juta ton.
Surplus beras itu, lanjut Syukur, krusial mengingat populasi penduduk Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun.
"Kondisi di lapangan, harga pangan termasuk beras relatif stabil. Tidak ada gejolak," katanya.
Ia menambahkan, Kementan tak pernah mengeluarkan data apa pun terkait hasil pangan.
"Data itu selalu mengacu pada perhitungan BPS. Fokus Kementan hanya menanam untuk mencapai kesejahteraan pangan," tutup Syukur.