BANJARBARU, KOMPAS. com - Optimalisasi lahan rawa menjadi sorotan utama pada peringatan Hari Pangan Sedunia ke-38 di Kalimantan Selatan. Hal ini sejalan dengan potensi besar dari lahan rawa yang dimiliki Indonesia.
Potensi lahan rawa di Indonesia mencapai 34,1 juta hektar (ha) yang tersebar di 18 provinsi dan 300 kabupaten. Di mana 20 juta ha di antaranya potensial untuk dikembangkan menjadi lahan pertanian.
Dari angka tersebut, Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman mencanangkan 10 juta lahan rawa bisa dimanfaatkan sebagai lahan pangan produktif di Indonesia.
Namun, di balik potensi besar yang dimiliki lahan rawa, jumlah lahan yang sudah digarap masih sedikit. Sampai saat ini baru sekitar 2,6 juta ha atau 15 persen lahan rawa yang digarap untuk tanaman pangan, holtikultura, dan perkebunan.
Salah satu penyebabnya adalah sulitnya pengelolaan. Seperti diketahui, lahan rawa memiliki kondisi yang lebih spesifik dibandingkan dengan lahan kering dan lahan sawah. Lahan rawa memiliki kandungan air yang lebih banyak dan asam.
"Selain itu, pada lahan rawa terdapat lapisan pirit. Jika lapisan ini tersingkap dan teroksidasi akan menghasilkan asam sulfat dengan ph 3 - 3,5 yang bisa menyebabkan tanaman mati," jelas Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian Dedi Nursyamsi kepada Kompas.com, Sabtu (20/10/2018).
Menurut Dedi, pengelolaan air yang baik dan benar dapat menjadi solusi. Dengan kelola air yang baik ph air rawa yang asam tersebut bisa perlahan naik mendekati ph netral air.
"Di saat yang sama kalau airnya benar, pirit akan tetap terendam sedikit. Artinya pirit menjadi reduktif atau tidak akan teroksidasi dan tidak akan menghasilkan asam sulfat," terang Dedi.
Perlu teknologi tepat
Di sisi lain, Dedi mengakui pengelolaan air untuk lahan rawa tidak mudah. Diperlukan juga modal awal yang lebih besar dari lahan kering dan lahan sawah.
"Untuk mengelolanya dibutuhkan saluran sekunder, tersier, dan kuarter, bahkan saluran cacing. Perlu juga pintu-pintu air. Nah, itu membutuhkan biaya yang cukup besar," jelas Dedi.
Menurut Dedi, dibutuhkan teknologi spesifik untuk mengelola kondisi lahan rawa yang spesifik. Tekonologi yang biasa dipakai di lahan kering dan lahan sawah tidak bisa diadopsi seratus persen.
"Harus dimodifikasi atau bahkan membuat teknologi baru yang spesifik untuk lahan rawa," ucap Dedi.
Dia menjelaskan, Indonesia sendiri sudah memiliki teknologi yang baik untuk pengelolaan lahan rawa. Teknologinya pun sudah berkembang.
Saat ini, Indonesia sudah memiliki cara pengelolaan air yang baik, penerapan pintu air dengan baik, serta cara penataan lahan, baik lahan sawah maupun lahan surjan.
Lahan surjan adalah salah satu sistem pertanaman campuran yang dicirikan oleh perbedaan tinggi permukaan bidang tanam pada suatu luasan lahan.
Varietas tanaman yang toleran dengan keadaan lahan rawa juga sudah ada. Varietas ini toleran dengan kondisi rawa yang asam, toleran terhadap perendaman, dan keracunan besi.
"Dengan penggunaan teknologi yang tepat, hasil dari lahan rawa tidak akan kalah dengan lahan kering dan sawah. Baik dari segi produktivitas, maupun kualitas," pungkas Dedi.