JAKARTA, KOMPAS.com - Lahan rawa lebak yang dikelola secara tepat dapat menjadi salah satu sumber daya yang berpotensi besar meningkatkan produksi pangan dan pendapatan petani.
Dari total 25 juta hektar luas lahan rawa lebak di Indonesia, baru sebagian kecil yang dimanfaatkan secara intensif untuk pertanian.
Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menyebutnya sebagai raksasa tidur. Lahan rawa lebak yang diolah dengan baik bisa menjadi lahan pertanian produktif yang menambah pasokan pangan nasional.
Lahan rawa lebak yang sedang digencarkan oleh Kementerian Pertanian diantaranya ada di Sumatera Selatan dan Kalimantan Selatan.
Baca juga: Ini Strategi Kementan untuk Dongkrak Produksi Pangan di Musim Kemarau
Dengan bantuan ekskavator dan pompa gratis, lahan tersebut bisa menjadi lahan produktif, bahkan indeks pertanamannya bisa mencapai tiga kali dalam setahun.
Peneliti dari Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (Balittra) Yanti Rina mengatakan, hasil kajiannya pada lahan rawa lebak di tiga desa Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU) Kalimantan Selatan menunjukkan bahwa petani di lahan rawa lebak umumnya memiliki beberapa pola usaha tani yang menguntungkan.
“Pola usaha tani yang dilakukan di rawa lebak tidak hanya produksi padi sawah, tetapi juga semakin menguntungkan dengan memelihara ikan dan beternak itik,” ujar Rina dalam pernyataan tertulis, Rabu (22/8/2018).
Rina mengatakan, pelaksanaan tiga usaha tani itu diyakini bepotensi memberikan keuntungan yang cukup besar bagi petani.
Baca juga: Kementan Bahas Pangan dan Gizi Bersama FAO dan WFP
Dari usaha tani ternak itik dan pemeliharaan ikan saja misalnya, petani mampu mengantongi keuntungan antara Rp 2 juta hingga Rp 6 juta setiap bulannya.
Itik yang diternak biasanya jenis alabio yang merupakan itik lokal dengan keunggulan sebagai itik petelur.
Tantangan rawa lebak
Namun demikian, Rina menjelaskan bahwa masalah utama dalam pemanfaatan lahan rawa lebak adalah tata air dan kesuburan lahan.
Oleh karena itu, fokus Kementan pada kegiatan agronomi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produktivitas lahan, yakni pengendalian tata air, pola tanam, dan penggunaan varietas unggul yang adaptif.
“Verietas Mekongga dan Ciherang apabila diikuti dengan ketepatan waktu tanam mampu akan menghasilkan Gabah Kering Giling (GKG) antara 4,9 ton sampai 5,5 ton per hektar dengan nilai keuntungan mencapai Rp 14 juta per hektar,“ ujar Rina.
Inovasi pertanian
Memaksimalkan rawa lebak butuh strategi dan penerapan teknologi yang tepat guna. Konsep mini polder diyakini dapat mengatasi kendala utama pengembangan usaha tani lahan rawa lebak, seperti banjir pada musim hujan di mana fluktuasi air sangat sulit diperkirakan.
Kepala Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian Dedi Nursyamsi mengatakan, konsep mini polder terbukti meningkatkan indeks pertanaman lahan sawah di rawa lebak dari sekali menjadi dua kali dalam setahun.
Konsep mini polder merupakan pembagian polder besar (lebih luas dari 1000 hektar) menjadi polder yang lebih kecil (50-100 hektar). Pembagian itu memudahkan pengelolaan air dan menekan biaya perawatan.
“Kendala kelebihan air di musim hujan yang biasanya menggenangi lahan sawah bisa dipompa keluar sehingga lahan bisa ditanami,” kata Dedi saat melakukan temu lapang dengan kelompok tani Desa Habuku Raya, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kamis (9/8/2018) lalu.
Ancaman penyakit
Selain fluktuasi tinggi muka air, peneliti dari Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi) Indrastuti A. Rumanti menyebutkan, kendala lainnya adalah ancaman penyakit blast.
“Varietas unggul padi yang toleran terhadap genangan, serta toleran terhadap penyakit blast dapat menjadi salah satu komponen teknologi penting dan murah untuk mengatasi permasalahan di lahan rawa,” ujar Indras.
Indras menjelaskan, ada beberapa varietas unggul baru yang dapat mengatasi penyakit blast dan tahan terhadap genangan.
Varietas yang adaptif terhadap genangan memiliki produktivitas 6 ton hingga 9,5 ton per hektar. Bahkan, ia melanjutkan, ada petani di Cilacap yang produktivitasnya mencapai 10 ton/ha di lahan lebakan.
Baca juga: Mentan Luncurkan Benih Padi Unggul dan Tahan Serangan Hama
Varietas tersebut, ujar dia, toleran terhadap rendaman selama 6-14 hari pada fase vegetatif. Bahkan, varietas itu mampu bertahan hidup dalam kondisi tenggelam hingga 14 hari berturut-turut.
Inpara 3 dan Inpara 8 Agritan misalnya memiliki sifat istimewa, yakni mampu memanjangkan tinggi tanamannya mengikuti tinggi muka air. Dengan demikian, varietas ini dapat bertahan pada kondisi genangan (stagnant flooding) antara 60-80 sentimeter hingga fase generatif.
Indras mengaku telah memperkenalkan berbagai varietas diatas melalui demontration plot (demplot) yang bertujuan untuk mengetahui preferensi petani, pedagang benih/beras dan pengusaha penggilingan. Demplot juga berfungsi sebagai upaya seleksi varietas.
“Melalui demplot, pemulia padi akan mendapatkan umpan balik guna memperbaiki kekurangan varietas yang dikenalkan, varietas yang terpilih diharapkan dapat diterima dan diadopsi oleh petani lebak, sekaligus dapat mengatasi permasalahan-permasalahan yang ada di lahan lebak,” kata Indras.