KOMPAS.com - Kementerian Pertanian menyiapkan sejumlah solusi untuk mengatasi harga telur ayam yang mengalami kenaikan beberapa waktu belakangan.
Hal itu disampaikan oleh Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan I Ketut Diarmita di Kantor Pusat Kementerian Pertanian.
Sebagai langkah awal, pihaknya akan melakukan penghitungan ulang prognosa kebutuhan telur dan ayam ras. Selanjutnya mereka akan berkoordinasi dengan Kementerian Perdagangan.
“Koordinasi dilakukan untuk mengkaji kembali harga acuan telur dan ayam ras tingkat produsen maupun konsumen,” ujarnya setelah mengadakan pertemuan dengan Perhimpunan Insan Perungasan Rakyat (Pinsar) seperti dalam rilis yang diterima Kompas.com, Selasa (16/7/2018).
Pada kesempatan tersebut, Diarmita menyanggah bahwa pelarangan antibiotic growth promotor (AGP) berdampak pada penurunan populasi ayam ternak.
Peternak disebutnya sudah banyak melakukan substitusi pengganti untuk pemakaian AGP. “Pelarangan AGP memang membuat telur kita menjadi lebih mahal. Itu karena kualitasnya yang meningkat. Saat ini telur kita zero dari residu antibiotik,” ujar Diarmita.
Dijelaskan kembali olehnya bahwa Kementan memang sedang menggiatkan pelarangan AGP agar kualitas produk protein hewani asal Indonesia mendapatkan pengakuan di mata dunia.
AGP dilarang oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) karena dikhawatirkan terjadi resistensi antibiotik. Kewaspadaan WHO itu didasari pada keprihatinan bahwa tidak kurang dari 700 ribu orang meninggal setiap tahun karena resisten terhadap antibiotika.
Selanjutnya ia juga menjelaskan bahwa dari sisi pasokan, produksi telur untuk tahun ini pun masih kondisi surplus.
Dalam data Kementan, produksi telur bulan Januari sampai Mei 2018 sebanyak 733.421 ton. Sementara kebutuhan telur pada periode yang sama sebanyak 722.508 ton.
“Melihat data produksi dan kebutuhan nasional, maka ini artinya ada surplus produksi telur dari Januari hingga Mei 2018 sebanyak 10.913 ton,” sebut dia.
Kondisi surplus juga terjadi pada bulan Juni. Pada bulan tersebut, produksinya mencapai 153.450 ton. Artinya masih melebihi kebutuhan yang berada pada kisaran 151.000 ton.
Berdasarkan kondisi pada bulan Januari hingga Juni, total surplus telur kisaran 13.000 ton di akhir bulan lalu. Seharusnya, dengan kondisi itu tidak ada kekurangan kebutuhan akan telur.
Meski demikian, Diarmita mengakui bahwa memang terjadi lonjakan kebutuhan telur nasional pasca lebaran tahun ini.
Beberapa faktor penyebabnya antara lain adanya program Kementerian Sosial berupa Bantuan Pemerintah Non Tunai (BPNT) dalam bentuk 1 kilogram telur per keluarga miskin.
Selain itu, dalam waktu bersamaan, Pemerintah DKI Jakarta juga memberikan bantuan berupa telur bagi warga DKI yang menggunakan Kartu Jakarta Pintar (KJP).
Akibat kedua program tersebut, salah satu peternak menyebutkan bahwa pasokan telur dari sentra produksi yang semula 1 rit, saat ini bisa sampai 3 atau bahkan 4 rit.
Akan tetapi Diarmita berjanji akan terus berkoordinasi dengan Pinsar untuk mendorong harga telur ayam agar cepat stabil.
“Sesuai dengan kesepakatan rapat hari ini, Pak Singgih—Ketua Pinsar Indonesia—akan mengupayakan harga segera stabil. Kami harapkan minggu ini sudah ada perubahan,” ujarnya.
Pada kesempatan terpisah, Sekretaris Jenderal Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional (GOPAN) Sugeng Wahyudi menyatakan, kenaikan harga daging dan telur ayam hanya sementara.
Panen yang dilakukan pada saat ini merupakan hasil dari budi daya ketika Lebaran. Animo peternak berkurang karena panjangnya masa libur. Oleh karena itu menyebabkan stok di pasaran sekarang berkurang.
“Ini merupakan siklus yang wajar, setiap tahun (pasti) terjadi,” ujar Sugeng.