KOMPAS.com - Pemanfaatan lahan sub-optimal merupakan solusi untuk mengatasi terbatasnya cadangan lahan pertanian subur.
Selain itu, pemanfaatan lahan sub-optimal menjadi salah satu upaya mewujudkan Indonesia sebagai lumbung pangan dunia pada 2045.
"Lahan sub-optimal adalah lahan yang secara alamiah mempunyai produktivitas rendah karena faktor internal dan eksternal dimana sebagian diantaranya terdegradasi dan terlantar," ujar Staf Ahli Bidang Infrastruktur Pertanian, Ani Andayani dalam Focus Group Discussion (FGD).
Kementerian Pertanian (Kementan) menggelar diskusi tahap XI terkait tata kelola infrastruktur pertanian di Yogyakarta, Jumat (11/5/2018).
(Baca: Setiap Tahun, 200.000 Hektar Lahan Sawah Menyusut)
Menurut Ani, FGD digelar untuk mengetahui dan menggali potensi serta memahami masalah-masalah penting dalam pemanfaatan lahan sub-optimal untuk ketahanan pangan serta pencapaian lumbung pangan dunia.
Karena itu, FGD ini menekankan pembahasan langkah-langkah strategis dalam upaya pengelolaan irigasi dan drainase untuk mendukung ketahanan pangan nasional.
“Diskusi ini pun bertujuan mempersiapkan petunjuk teknis bagi pendamping lapangan dalam upaya pengelolaan irigasi dan drainase mendukung ketahanan pangan nasional,” kata Ani.
Petunjuk lapangan untuk membekali pendamping lapangan dari Kementerian Desa, Daerah Tertinggal dan Transmigrasi untuk mewujudkan 30.000 unit embung kecil dan bangunan tata air lainnya.
Hal ini sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2018.
“Agar dapat diimplementasikan secara optimal di perdesaan dalam rangka ketahanan pangan nasional,” ujarnya dalam siaran tertulis.
Tambahan lahan
Berdasarkan analisa Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian per 2015, Indonesia membutuhkan tambahan lahan sekira 14,8 juta hektar.
Lahan itu dialokasikan untuk sawah 4,9 juta hektar, lahan kering 8,7 juta hektar, serta lahan rawa 1,2 juta hektar.
"Pada 2045 diprediksi akan dibutuhkan 7,3 juta lahan baru. Untuk sawah dibutuhkan 1,4 juta hektar, kedelai 2 juta hektar, jagung 1,3 juta hektar, tebu dan hortikultura 2,6 juta hektar," katanya.
Rekomendasi
Diskusi tersebut melahirkan sejumlah rekomendasi penting untuk percepatan pencapaian ketahanan pangan, yakni:
1. Pembangunan infrastruktur irigasi dan drainase lahan pertanian sub-optimal.
2. Pengelolaan air berbasis kearifan lokal.
3. Budidaya komoditas alternatif di lahan sub-optimal mendukung ketahanan pangan nasional.
4. Pengembangan sumber daya lingkungan lokal untuk pertanian berkelanjutan.
5. Strategi budi daya tanaman pangan dalam menghadapi dampak perubahan iklim.
Kolaborasi dan sinergi
Diskusi ini diprakarsai oleh Staf Ahli Bidang Infrastruktur Pertanian, Ani Andayani yang berkolaborasi dengan Perhimpunan Agronomi Indonesia (PERAGI) Komda Daerah Istimewa Yogyakarta.
Narasumber pada FGD ini yakni Prof. Didiek Indradewa dari UGM, membahas pengelolaan Air Berbasis Kearifan Lokal. Narasumber lain yakni Dr. Sumarwoto memaparkan tentang komoditas alternatif di lahan suboptimal.
Sedangkan, Dr. Gatot dari Universitas Muhamadiyah Yogyakarta menyajikan makalah terkait pengembangan sumberdaya lokal
Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian DIY memaparkan pengalaman lapangan terkait strategi budidaya tanaman pangan antisipasi dampak lingkungan.
Diskusi diikuti 20 orang mahasiswa STPP Magelang yang merupakan generasi penerus pembangunan pertanian di Indonesia.