JAKARTA, KOMPAS.com – Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan Indonesia mengalami surplus beras 2,85 juta ton selama 2018. Surplus tersebar di beberapa sektor, seperti di 14,1 juta rumah tangga produsen dan sekitar 47 persen stok ada di pinggilingan, pedagang, dan beberapa sektor lain.
Data mengenai surplus beras selama 2018 ini diperoleh berdasarkan perhitungan menggunakan metode kerangka sampel area (KSA). Metode ini digunakan untuk menghitung luas panen gabah kering giling (GKG) dan kemudian dikonversi menjadi proyeksi produksi beras secara nasional.
Metode perhitungan tersebut merupakan inovasi yang dilakuka Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
"Kami menggunakan sebuah metode yang namanya kerangka sampel area. Ini merupakan inovasi yang dilakukan BPPT dan sudah mendapat penghargaan dari LIPI," jelas Kepala BPS Suhariyanto, Selasa (23/10/2018).
Menurut dia, selama ini BPS telah melakukan perbaikan metode penghitungan proyeksi produksi beras dan bekerja sama dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR), Badan Informasi Geospasial (BIG), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan).
Selain itu, Suhariyanto juga menjelaskan bahwa terdapat pembaruan informasi terkait luas lahan bahan baku sawah pada 2018. Data terbaru menunjukan luas bahan baku sawah saat ini mencapai 7,1 juta hektar. Angka tersebut mengalami penurunan sekitar 635 ribu hektar.
"Ini akan menjadi dasar penghitungan untuk mengestimasi angka produksi. Luas bahan baku sawah 7,1 juta hektar yang dihitung menggunakan metode KSA, maka luas panen padi pada 2018 diperkirakan 10,9 juta hektar," ucap Suhariyanto.
Dari hasil panen tersebut, lanjut dia, produksi padi dalam bentuk GKG diperkirakan sebanyak 56,54 juta ton atau setara dengan 32,42 juta ton beras. Sementara angka konsumsi beras rata-rata per provinsi pada 2017 sebesar 117,58 kg per kapita per tahun atau setara total konsumsi 29,50 juta ton secara nasional.
"Jadi, dari perhitungan tersebut Indonesia mengalami surplus beras 2,85 juta ton selama 2018," jelas Suhariyanto.
Menanggapi hal itu, pengamat politik Universitas Paramadina, Hendri Satrio mengatakan bahwa hasil paparan BPS tersebut merupakan sebuah prestasi.
"Ini prestasi pemerintahan Jokowi, khususnya prestasi Kementerian Pertanian di bawah komando Menteri Amran dan prestasi para petani," ujar Hendri.
Hendri menambahkan, apa yang telah diupayakan oleh Kementan dengan terus menggenjot produksi ini menimbulkan kenyamanan.
"Walau dari beberapa survei ekonomi, negara kita mengalami kesulitan, namun dengan surplus beras ini, rakyat tidak lagi takut akan kekurangan beras," imbuhnya.
Menurut Hendri, yang menjadi tantangan saat ini adalah distribusi surplus beras benar-benar bisa dinikmati oleh rakyat.
"Dengan data kuat seperti ini harusnya sisi lain sektor pemerintah di bidang perdagangan segera berkoordinasi dengan Kementan sehingga tak ada lagi polemik tentang harus atau tidaknya mengimpor beras," kata Hendri.
Surplus beras tersebut, lanjut Hendri, bisa menjadi rujukan kuat karena metodenya telah disempurnakan oleh BPS. Untuk itulah, sudah seharusnya pemerintah tak perlu lagi melakukan impor beras.
Senada Hendri, pengamat politik dan kebijakan publik Muh Saifullah menilai bahwa informasi disampaikan BPS terkait produksi beras nasional akan mengakhiri polemik yang selama ini terus terjadi.
"Apa yang diproyeksikan Kementerian Pertanian bahwa kita memang sedang mengalami surplus beras itu memang benar. Data dari BPS seharusnya menjadi acuan bersama semua institusi terkait untuk mengeluarkan kebijakan," ucap Saifullah.
Saifullah juga menilai surplus beras ini menjadi salah satu prestasi terbesar pemerintah dan Menteri Amran dalam kurun waktu 4 tahun pemerintanan Jokowi.
"Ini layak diapresiasiasi bahwa segala upaya dan kerja keras Kementerian Pertanian akhirnya membuahkan hasil cukup besar. Ini kado istimewa 4 tahun pemerintahan Jokowi," ujarnya.