JAKARTA, KOMPAS.com - Akademisi Sekolah Tinggi Teknologi Pertanian (STTP) diminta untuk memperbanyak penelitian untuk memdorong percepatan swasembada pangan. Untuk itu, Kementerian Pertanian (Kementan) akan meningkatkan dana riset menjadi Rp 6 miliar pada tahun ini.
"STTP harus buat lompatan dengan berpikir out of the box. Saat ini 'kopassus' bidang pertanian masih kecil jumlahnya," kata Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman saat rapat kerja di kantor Kementan, Jumat (7/7/2017).
Kata dia, pakar pertanian perlu disiapkan selama dua tahun ini. Seluruh kampus pertanian akan dilibatkan untuk mewujudkannya, sehingga swasembada pertanian bukan hanya isapan jempol.
Selama ini, setiap penelitian pertanian rata-rata didanai Rp 15 juta. Tahun ini, pemerintah mengalokasikan dana riset pertanian sebesar Rp 3 miliar. Dalam pembahasan APBN perubahan, Kementan akan mengajukan kenaikan anggaran riset sebesar dua kali lipat.
Menurut dia, akademisi bidang pertanian mesti mencontoh akademisi dari negara maju. Para pengajar, kata Amran, lebih banyak bekerja meneliti. Karenanya, perubahan cepat terjadi di negara-negara maju.
"Negara lain bisa menjadi negara besar karena banyak bekerja, sedangkan kita banyak seminar. (Kita) bisa jadi bangsa hebat jika mimpi jadi kenyataan, jangan hanya bermimpi terus," katanya.
Dia juga bilang, para peneliti di Indonesia umumnya miskin secara finansial. Sebab, mereka hanya puas merekonstruksi teori. Padahal, hasil penelitian yang secara nyata membawa perubahan lebih menguntungkan.
Seharusnya, para peneliti bisa mendapat penghasilan dari royalti sebesar dua persen omzet hasil risetnya. Oleh karena itu, pengurusan hak paten mesti dilakukan untuk menjamin hak atas kekayaan intelektual peneliti.
Fokus dalam hal itu, Kementan akan menugaskan para dosen STTP melakukan riset sesuai dengan kebutuhan percepatan swasembada pangan. Misalnya, penelitian untuk mengembangkan bibit unggul jagung dari dua menjadi tiga tongkol.
Akademisi bidang pertanian juga diminta untuk mengembangkan alat pertanian. Dia berharap STTP mampu memproduksi beragam alat pertanian yang sesuai dengan kebutuhan dalam negeri.
Amran berjanji untuk memantau minat penelitian akademisi STTP. Dosen yang tidak berminat meneliti, kata dia, sebaiknya segera hengkang dari kampus dan berkarya di bidang lainnya.
"Bapak Ibu dosen mau berubah enggak? Nanti ada evaluasi tiap bulan, Saya akan pantau terus. Dosen yg sudah merasa capek meneliti, silakan pensiun," ujarnya.
Amran menambahkan bahwa akademisi STTP adalah penentu keberlangsungan pangan Indonesia. Lulusannya diharapkan mampu berperan sebagai wirausahawan muda pertanian dan tenaga ahli bidang pertanian.
Sebeleumnya, Indonesia berada di peringkat 21 dengan skor 50,77 berdasarkan hasil riset EIU dan Barilla Center for Food and Nutrition (BCFN) Foundation tentang Indeks Keberlanjutan Pangan (Food Sustainability Index/FSI).
Peringkat Indonesia bahkan berada di atas Uni Emirat Arab, Mesir, Arab Saudi, dan India. Dengan capaian itu, Indonesia menjadi satu-satunya negara di Asia Tenggara atau ASEAN yang sukses menembus 25 besar.
"Masih banyak yg harus diperbaiki dalam pertanian Indonesia. Target saya, Indonesia masuk dalam 10 besar. Lebih bagus lagi kalau masuk tiga besar," tuturnya.
Lagi-lagi Amran menegaskan kalau STTP adalah ujung tombak keberlangsungan pangan di Indonesia. Dia berharap STTP mampu mengungguli Institut Pertanian Bogor dalam bidang akademik. Untuk itu, studi banding ke negara maju seperti Jepang perlu dilakukan.
Kurikulum STTP perlu dirombak agar sesuai dengan perkembangan zaman. Mahasiswa juga perlu didorong untuk bisa menekuni bidang yang diminati sejak semester awal agar dapat mulai meneliti sesuai bidang yang ditekuni pada masa pertengahan kuliah.
Selain peningkatan kualitas riset, dia meminta STTP lebih banyak menerima anak desa. Proses mendidik anak desa bagi Amran tidak akan terlalu sulit karena mereka berpengalaman mengolah lahan pertanian.
"Anak kampung dan anak dari pegunungan itu perlu diperhatikan karena secara alami hebat. Jangan hanya lihat hasil tes masuk, karena pada umumnya mereka berbahasa Indonesia saja masih sulit. Akan tetapi mereka memiliki daya tahan dan ketangguhan luar biasa," ujarnya.