KOMPAS.com - Sistem zonasi dalam penerimaan peserta didik baru ( PPDB) kembali menimbulkan polemik. Sebagian masyarakat masih menilai kualitas pendidikan tidak merata sehingga fenomena berebut sekolah favorit kembali terjadi.
Fenomena itu menjadi pemicu berbagai kecurangan, seperti suap, pungutan liar (pungli), pemalsuan dokumen kependudukan, dan lainnya.
Beberapa contoh kecurangan itu, antara lain praktik menitipkan atau memasukan anak ke Kartu Keluarga (KK) warga yang tinggal di sekitar daerah favorit, hingga oknum yang menjanjikan siswa diterima di sekolah yang dituju.
Menangani berbagai kasus itu, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) merekomendasikan lima solusi untuk pemerintah daerah (pemda).
Pertama, pemda dapat menganalisis calon peserta didik yang akan lulus dari domisili dan ketersediaan daya tampung.
Baca juga: Banyak Kecurangan, Kemendikbud Diminta Kaji Ulang Sistem Zonasi PPDB
Kedua, pemda dapat merangkul inspektorat daerah memberikan tindak tegas atas pemalsuan KK di masyarakat.
Ketiga, pemda dapat melibatkan pimpinan daerah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), maupun tokoh masyarakat lain dalam menyukseskan komitmen masuk sekolah tanpa kecurangan.
Keempat, pemda dapat menetapkan sekaligus menghitung sebaran sekolah, domisili, sekaligus daya tampung.
Kelima, pemda dapat memberikan dukungan biaya pendidikan bagi peserta didik tidak mampu yang berada di sekolah swasta.
Direktur Jenderal (Dirjen) Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah (PAUD Dikdasmen) Kemendikbudristek Iwan Syahril mengatakan, PPDB merupakan upaya bersama antara pemerintah pusat, pemda, dan pemangku kepentingan terkait untuk mewujudkan pemerataan akses pendidikan berkualitas bagi seluruh peserta didik.
Baca juga: Soal PPDB Zonasi, Muhadjir: Sebelum Zonasi Justru Banyak Masalah
“Untuk mewujudkan itu, ada tiga kata kunci, yakni pemerataan, berkeadilan, dan menciptakan ekosistem,” ujarnya dalam siniar Ruang Jernih, Senin (24/7/2023).
Iwan menjelaskan, selain bisa mewujudkan pendidikan yang berprinsip kesetaraan, pemerintah juga menginginkan pendidikan yang lebih berkeadilan untuk melindungi keluarga dari kelompok tidak mampu dan peserta disabilitas.
Pada visi ketiga, yakni menciptakan visi ekosistem, pemerintah berupaya mendekatkan sekolah dengan masyarakat di mana sekolah itu berada, bukan justru mengasingkan sekolah.
“Tentunya, bukan berarti dengan kebijakan PPDB ini semua langsung ada. Ini visi yang harus diperjuangkan bersama-sama,” ujarnya.
Iwan mengatakan, pekerjaan rumah (PR) terbesar saat ini adalah menumbuhkan kesadaran terhadap visi itu. Sebab, jika visi ini diwujudkan, akan ada ide-ide atau solusi terkait masalah-masalah yang dihadapi.
Baca juga: PPDB Zonasi di Inggris: Data Terpusat, Tak Bisa Dimanipulasi
“Ini bisa menjadi kesempatan memperbaiki tata kelola yang tidak terlalu bagus, seperti jika daya tampung sekolah tidak cukup, apakah perlu membangun sekolah, dan lainnya,” jelasnya.
Iwan menambahkan, upaya pemerataan layanan pendidikan berkualitas, terutama untuk menghilangkan stigma sekolah favorit, membutuhkan waktu.
“Ini tidak bisa simsalabim terjadi. Harus diperjuangkan bersama-sama, sehingga sekolah yang ada lama-lama makin bagus kualitasnya,” ujarnya.
Terkait hal itu, dia mencontohkan, terdapat daerah dengan beberapa sekolah yang menumpuk di area berdekatan, tetapi yang favorit hanya satu sekolah saja atau sekolah A.
“Orangtua di sekolah B kalo bisa pengin anaknya pindah ke sekolah A. Apa yang dilakukan kepala daerah di sekolah tersebut? Mengubah sumber daya manusia sekolah B,” ujarnya.
Baca juga: Marak Fenomena Numpang KK Saat PPDB Zonasi, Muhadjir: Pengawasannya Tidak Jalan
Dia menyebutkan, mengganti kepala sekolah adalah intervensi yang lebih cepat untuk melahirkan inovasi-inovasi baru sehingga sekolah lebih maju.
Terlebih, saat ini Kemendikbudristek memiliki program Pendidikan Guru Penggerak, yakni pendidikan kepemimpinan untuk calon kepala sekolah dan pengawas sekolah.
“Pemda tahu perlu membuat sekolah bagus. Lulusan dari program sekolah guru penggerak ditempatkan jadi kepala sekolah di sekolah B. Dalam waktu satu tahun, sekolah B jadi lebih diminati karena kepala sekolah membuat berbagai inovasi,” terangnya.
Iwan menjelaskan, prinsip Kemendikbudristek dalam pengelolaan pendidikan dalam sistem desentralisasi adalah harus berkoordinasi dengan pemda. Dengan demikian pemda dapat menetapkan kebijakan terbaik sesuai kondisi masing-masing.
Baca juga: Persoalan Klasik dan Praktik Kecurangan Jalur Zonasi PPDB 2023...
“Petunjuk teknis pelaksanaan disesuaikan dengan kondisi masing-masing daerah. Kami memberikan fleksibilitas karena Indonesia sangat beragam, kondisi yg ada di kota besar berbeda dengan di pedesaan,” katanya.
Dia memaparkan, PPDB pada awal 2017 hanya ada tiga jalur, yaitu zonasi, prestasi, dan perpindahan kerja orangtua. Namun, sekarang PPDB ditambah dengan jalur afirmasi.
“Dengan banyaknya dinamika, kami melakukan revisi. Kuota jalur zonasi (penerimaan dari daerah terdekat) jenjang SMP dan SMA dari 90 persen jadi 50 persen,” katanya.
Kemudian, kata Iwan, ada pula prinsip lebih berkeadilan, khususnya bagi keluarga-keluarga tidak mampu dan penyandang disabilitas. Kategori afirmasi ini memiliki kuota minimal 15 persen.
"Jalur prestasi yang sebelumnya hanya 5 persen sekarang menjadi 30 persen. Sementara itu, jalur perpindahan masih 5 persen. Jadi banyak ruang yang kami berikan kepada pemda untuk melihat apa yang terbaik bagi daerahnya,” terangnya.
Baca juga: Febrianti Kaget Nama Anaknya Hilang di PPDB Jalur Prestasi, Pilih Lapor ke Inspektorat Banten
Iwan juga mengatakan, pelaksanaan itu harus dilaksanakan dengan tiga prinsip, yakni objektif atau sesuai visi, transparan atau aturan teknis pemda diketahui umum, dan akuntabel atau penegakan tegas dari regulasi.
“Jika ada yang tidak sesuai, petunjuk teknis di pemda tentu perlu dievaluasi atau penerapannya ditinjau ulang supaya bisa menuju visi PPDB tadi,” katanya.
Iwan menambahkan, untuk memastikan penerapan PPDB sesuai aturan, pihaknya membangun dialog dengan pemda serta membuka komunikasi dengan masyarakat melalui unit pelaksana teknis (UPT) di provinsi untuk dijadikan bahan evaluasi.
“Merespons situasi saat ini, kami dan Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sepakat membentuk satuan tugas (satgas) yang bekerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), inspektorat daerah, Ombudsman, Kementerian Sosial (Kemensos) untuk betul-betul melihat kondisi di lapangan dan menerima aduan,” ujarnya.
Selain itu, Kemendikbudristek memiliki rapor untuk satuan pendidikan dalam membantu pemda dan ekosistem melihat sekolah yang membutuhkan bantuan, terutama terkait dengan kemampuan literasi, numerasi, dan pendidikan karakter.
“Untuk menciptakan SDM masa depan, kita harus memiliki fondasi yang solid, yaitu kemampuan untuk terus bisa belajar. Itu adalah literasi, numerasi, dan karakter. Rapor pendidikan dirancang untuk mempermudah pemetaan upaya prioritas perbaikannya,” ujarnya.
Rapor pendidikan juga membantu pemda melihat sekolah yang butuh intervensi, seperti melakukan redistribusi SDM atau pelaksanaan program-program khusus.
“Dengan begitu, perencanaan dan penganggaran, yang mungkin tidak banyak, bisa dilakukan lebih spesifik untuk mengupayakan solusi dari masalah sekolah itu. Ini akan membantu ekosistem untuk tumbuh dan lebih merata,” katanya.