KOMPAS.com - Inovasi adalah motor penggerak kemajuan kesehatan bangsa. Kolaborasi antara dunia akademis dan industri menjadi kekuatan penting untuk menciptakan solusi yang berdampak nyata bagi masyarakat, termasuk dalam memperkuat kemandirian bangsa.
Oleh karenanya, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi ( Kemendikbud Ristek) menggulirkan program Matching Fund Kedaireka.
Program pendanaan itu dirancang untuk mempertemukan dunia pendidikan tinggi dengan dunia usaha sehingga penelitian-penelitian yang dilakukan di perguruan tinggi dapat bermanfaat bagi masyarakat luas.
Salah satu dukungan itu dilakukan untuk diwujudkan dalam pengembangan alat uji cepat infeksi yang dikembangkan Universitas Padjadjaran (Unpad) bersama PT Pakar Biomedika.
Dengan semangat melahirkan inovasi yang meningkatkan kemandirian Indonesia di bidang kesehatan, kolaborasi keduanya melakukan terobosan penting melalui program teaching factory.
Salah satu produk unggulan yang dikembangkan adalah Nucleopad, alat visual berbasis in vitro imunokromatografi kertas yang dirancang untuk mendeteksi asam deoksiribonukleat (DNA), hasil amplifikasi polymerase chain reaction (PCR).
Baca juga: Kedaireka, Jembatan Perkuat Kolaborasi Perguruan Tinggi dan Industri
Inovator di bidang kesehatan dari Unpad Muhammad Yusuf mengatakan, dengan Nucleopad, proses deteksi yang biasanya memakan waktu dan membutuhkan peralatan canggih kini dapat dilakukan dengan lebih sederhana dan cepat.
“Nucleopad dapat memberikan hasil dalam waktu hanya 15 menit. Teknologi ini tidak membutuhkan peralatan laboratorium yang rumit,” ujarnya dalam siaran pers, Jumat (18/10/2024).
Dalam konteks penanganan penyakit menular, seperti tuberkulosis (TB), demam dengue, dan chikungunya, waktu merupakan faktor penting dalam mendiagnosis dan memberikan penanganan yang tepat.
Sebagai gambaran, Nucleopad mampu mendeteksi penyakit TB dengan hasil visual berupa warna merah yang dapat dilihat dengan mata telanjang, tanpa memerlukan penggunaan gel agarosa seperti pada metode konvensional.
Produk itu pun ramah lingkungan karena mengurangi penggunaan bahan kimia dalam proses visualisasi hasil PCR.
Keunggulan lain dari Nucleopad adalah sensitivitasnya yang mencapai 75 persen dan spesifisitas 95 persen.
Baca juga: Demi Kemandirian Bangsa, Kemendikbud Ristek Melalui Kadeireka Dukung Pengembangan Kendaraan Listrik
Kemampuan identifikasi tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan metode visualisasi elektroforesis yang memiliki sensitivitas hanya 60 persen.
Dengan adanya Nucleopad, biaya pengadaan alat diagnostik diharapkan dapat ditekan sekaligus mempercepat diagnosis dan penanganan penyakit menular.
Nucleopad juga meningkatkan efisiensi tenaga medis dalam mendiagnosis penyakit serta memperluas akses masyarakat terhadap teknologi diagnostik yang lebih terjangkau.
Sebagai produk buatan dalam negeri, Nucleopad berkontribusi terhadap kemandirian bangsa dalam memenuhi kebutuhan alat diagnostik tanpa harus bergantung pada produk impor.
“Kami percaya bahwa inovasi ini dapat mendorong kemandirian kesehatan di Indonesia dan mengurangi ketergantungan pada impor produk diagnostik,” ujar Yusuf.
Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam mencapai kemandirian di sektor kesehatan.
Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes), sekitar 90 persen bahan baku obat di Indonesia masih diimpor pada 2020.
Baca juga: Kemenperin: Ekspor Alat Kesehatan 2023 Capai Rp 3,2 Triliun
Indonesia juga bergantung pada alat kesehatan impor untuk sebagian besar kebutuhan medis.
Hal itu menunjukkan pentingnya inovasi lokal, seperti Nucleopad, dalam mengurangi ketergantungan pada produk luar negeri dan meningkatkan kemampuan produksi dalam negeri.
Lembaga Pengembangan Ekspor Indonesia (LPEI) mencatatkan bahwa nilai impor alat kesehatan Indonesia mencapai 1,1 miliar dollar Amerika Serikat (AS) pada 2021. Jumlah ini terus meningkat dari tahun-tahun sebelumnya.
Dengan mengembangkan produk-produk lokal, Indonesia berpeluang besar untuk menurunkan angka ini dan meningkatkan daya saing industri kesehatan dalam negeri di pasar global.
"Kami percaya bahwa inovasi ini dapat mendorong kemandirian kesehatan di Indonesia dan mengurangi ketergantungan pada impor produk diagnostik," ungkap Yusuf
Dia berharap, kehadiran produk itu dapat menekan biaya pengadaan alat diagnostik sekaligus mempercepat diagnosis dan penanganan penyakit menular.
Baca juga: UI Kembangkan Alat Kesehatan Berteknologi Tinggi dan Murah
Pengembangan teaching factory di Unpad menjadi contoh nyata kolaborasi antara akademisi dan industri dapat menghasilkan inovasi yang berdampak besar bagi kesehatan masyarakat.
Dengan riset berkelanjutan dan pengembangan produk diagnostik, seperti Nucleopad, Indonesia semakin mendekati tujuan untuk mencapai kemandirian di bidang kesehatan.
Kolaborasi itu juga membuka peluang besar untuk memperkuat daya saing Indonesia di pasar internasional.
Yusuf yang juga ketua tim riset dari inovasi Nucleopad menyampaikan peran penting pengembangan teaching factory bagi pengembangan inovasi.
Dia menyebutkan, teaching factory merupakan fasilitas yang dibangun untuk menjembatani dunia pendidikan dan industri, khususnya dalam meningkatkan keterampilan sumber daya manusia (SDM).
Sinergi itu memungkinkan riset dan pengembangan produk lokal untuk memenuhi kebutuhan industri yang mendesak, seperti kebutuhan alat diagnostik yang dapat diproduksi secara mandiri di dalam negeri.
"Melalui teaching factory, kami ingin menciptakan SDM yang tidak hanya kompeten, tetapi juga mampu berinovasi," ujarnya.
Dia mengatakan, kerja sama dengan industri memungkinkan transfer teknologi yang mempercepat proses pengembangan alat diagnostik dengan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) yang lebih tinggi sehingga Indonesia bisa mandiri di sektor kesehatan.
Terkait hal itu, Unpad berkolaborasi dengan PT Pakar Biomedika Indonesia menyediakan fasilitas, peralatan, dan bimbingan industri untuk pengembangan produk diagnostik yang inovatif dalam pendidikan berbasis praktik di teaching factory.
Kolaborasi itu diharapkan dapat memperkuat kemandirian di sektor kesehatan Indonesia, khususnya dalam hal pengadaan alat uji diagnostik.
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Dirjen Dikti Ristek) Kemendikbud Ristek Abdul Haris menekankan pentingnya peran reka cipta atau penemuan perangkat, ide, atau metode baru bagi perkembangan bangsa.
Reka cipta diharapkan berkontribusi dalam menggerakkan roda perekonomian, meningkatkan daya saing, dan mendorong kemandirian.
“Kolaborasi antara perguruan tinggi dan dunia usaha dan dunia industri (DUDI) memiliki potensi yang besar untuk menciptakan reka cipta yang unggul dan solusi yang efektif,” ujarnya.
Baca juga: ITS Bersama Bina Makmur Abadi Ciptakan 7 Alat Kesehatan Lokal
Haris mengatakan, Kedaireka merupakan wujud komitmen Ditjen Dikti Ristek untuk menjadi jembatan antara kepakaran insan perguruan tinggi dan sumber daya mitra strategis DUDI.
Inovasi yang mendorong kemandirian bangsa merupakan langkah penting dalam membangun ekosistem kesehatan yang lebih kuat dan independen.
Selain itu, inovasi menjadi bukti bahwa sinergi antara riset akademis dan industri dapat membawa manfaat nyata bagi kehidupan masyarakat.