KOMPAS.com - Di ruangan kelas yang sederhana, Elisabet Sabu Sogen (33) terlihat sedang menjelaskan materi kepada siswa-siswinya.
Sosok yang akrab disapa Jessie (33) ini adalah guru Sejarah di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Adonara Barat, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Dengan mengenakan baju merah terang, Jessie mengajar penuh semangat. Untuk membuat kegiatan belajar mengajar di kelas menjadi lebih hidup dan tidak monoton, Jessie berinovasi menggunakan media grafis dari sampah sebagai alat bantu belajar mengajar.
Jessie mendorong siswa-siswinya untuk terlibat langsung dalam pembuatan peta timbul dan smart box dari bahan-bahan bekas, seperti kardus dan kertas ujian yang tidak terpakai.
“Misalnya dalam materi tentang kolonialisme dan imperialisme, saya meminta siswa untuk membuat peta timbul menggunakan kertas bekas yang terkumpul. Melalui kegiatan ini, siswa dapat memahami rute kedatangan bangsa Eropa ke Indonesia dan jejak-jejak kolonialisme di Nusantara,” ucap Jessie kepada Kompas.com, Selasa (5/11/2024).
Baca juga: Tantangan Guru Masa Kini: Mengembalikan Makna Belajar
Selain itu, lanjut Jessie, para siswa juga belajar untuk bertanggung jawab dan membuat keputusan yang tepat dalam menggunakan bahan-bahan yang ada di sekitar mereka.
Jessie mengungkapkan bahwa hasil dari inovasi tersebut membuat anak didiknya semakin antusias dalam belajar.
Para murid, kata dia, tidak hanya mengikuti pelajaran, tetapi juga bangga dengan hasil karya mereka yang dipamerkan di media sosial (medsos).
“Ketika mereka memamerkan karya mereka dan berbagi dengan teman-teman, itu adalah kepuasan terbesar bagi saya,” tutur ucap wanita kelahiran Lewotala, Flores Timur, itu.
Baca juga: Kampung Kwau Menang Kompetisi DEWIKU 2024 dengan Inovasi Ekowisata Berbasis Kearifan Lokal
Jessie pun melihat keberhasilan inovasi tersebut sebagai pencapaian luar biasa dalam kariernya sebagai guru. Dalam pembelajaran sejarah, ia berharap siswanya tidak hanya menerima materi dengan baik, tetapi juga dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan mereka.
“Saya ingin mereka bisa mengembangkan keterampilan dan sikap yang positif, seperti berpikir kritis, kreatif, dan bertanggung jawab,” imbuh Jessie.
Dalam setiap akhir pelajaran, ia mengungkapkan bahwa dirinya selalu melakukan refleksi untuk mengukur sejauh mana pemahaman siswanya terhadap materi yang telah diajarkan.
Jessie mengaku sangat puas ketika muridnya mengungkapkan bahwa mereka menikmati proses pembelajaran dan merasa terlibat langsung dalam kegiatan yang ia kembangkan.
Baca juga: Siswa SD Korban Bullying Kakak Kelas di Subang Meninggal Dunia
Pada kesempatan terpisah, salah satu siswa kelas XI-1, Riska Balimula mengaku senang dapat berperan aktif bersama teman-temannya melalui inovasi pembelajaran dengan media grafis.
“Kami membuat peta timbul tentang kedatangan bangsa Eropa ke Indonesia. Saya merasa senang karena mendapatkan pengalaman baru lewat kegiatan ini. Saya juga bisa meningkatkan keterampilan, kreatifitas, dan motivasi belajar saya juga meningkat,” imbuhnya.
Riska berharap setiap pembelajaran dapat menggunakan media grafis dan sejenisnya. Hal ini agar meningkatkan semangat belajar siswa sehingga lebih mudah memahami materi-materi yang telah disampaikan oleh guru.
Senada dengan Riska, Jeri Satria juga mengaku senang dapat meningkatkan kreativitasnya melalui kegiatan tersebut.
Baca juga: Arti Kata “Tea”, Bahasa Gaul yang Sering Digunakan di Media Sosial
“Media grafis yang kami buat ada smart box. Lewat kegiatan ini, kami bisa mengetahui tentang sejarah perjalanan bangsa Eropa ke Indonesia. Saya berharap bisa membuat sesuatu (proyek) seperti ini yang dapat berguna dan bermanfaat,” ucapnya.
Apa yang disampaikan kedua siswa tersebut menguatkan harapan Jessie agar pelajaran sejarah yang ia ajarkan dapat memberikan dampak jangka panjang bagi anak didiknya.
Jessie juga merasa bangga karena beberapa siswanya memilih untuk melanjutkan kuliah di jurusan sejarah, sebagai hasil dari usaha dan dedikasinya dalam mengajar.
"Ada tiga siswa saya yang memilih sejarah di perguruan tinggi karena merasa terinspirasi oleh pembelajaran yang saya lakukan. Itu menjadi pencapaian yang luar biasa bagi saya," ucap Jessie.
Baca juga: Tantangan Situasi Global 2025 dalam Pencapaian Target Lifting Minyak
Dibalik hasil positif dari inovasi tersebut, Jessie mengungkapkan beberapa tantangan yang dihadapi, terutama dalam memotivasi siswa yang sering kali merasa kurang tertarik dengan sejarah.
“Sejarah itu kan pelajaran yang banyak ceritanya, dan sering kali ditempatkan di jam-jam terakhir sekolah, ketika anak-anak mulai merasa bosan dan mengantuk. Hal itu tentu menjadi tantangan bagi saya untuk membuat pelajaran sejarah lebih menarik,” ujarnya.
Minimnya fasilitas dan rendahnya motivasi siswa menjadi kendala besar dalam proses pembelajaran. Alih-alih menyerah, Jessie mengembangkan berbagai metode kreatif dan inovatif untuk membuat sejarah lebih hidup di mata siswa.
Baca juga: RIDO dan Tantangan Jakarta, Menjawab Kritik atas Program Inovatif
“Saya mencoba melibatkan siswa dalam pembelajaran melalui berbagai media pembelajaran dan permainan. Saya percaya bahwa jika siswa terlibat langsung dalam kegiatan pembelajaran, mereka akan lebih termotivasi dan lebih mudah memahami materi,” jelasnya.
Sebelum memulai suatu kegiatan pembelajaran, Jessie mengatakan bahwa dirinya selalu melibatkan siswanya dalam proses perencanaan.
Ia berdiskusi dengan muridnya mengenai media grafis yang ingin dikembangkan. Dengan melibatkan mereka dalam keputusan ini, Jessie berharap siswanya akan lebih antusias dan termotivasi.
Ya, perjuangan Jessie dalam mendongkrak motivasi anak didiknya ternyata sejalan dengan tema peringatan Bulan Guru Nasional, yakni “Guru Hebat, Indonesia Kuat”.
Baca juga: 4 Janji Mendikdasmen Abdul Muti di Hari Guru Nasional 2024
Peringatan tersebut diluncurkan oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah ( Kemendikdasmen) pada November 2024 sebagai wujud apresiasi atas peran guru dalam mendidik generasi penerus bangsa, serta dalam rangka memeriahkan peringatan Hari Guru Nasional (HGN).
Adapun tema Guru Hebat, Indonesia Kuat diambil sebagai bentuk dukungan dan apresiasi terhadap semangat belajar, berbagi, dan berkolaborasi dari guru-guru hebat Indonesia dalam memberikan layanan pendidikan untuk anak bangsa. #PendidikanBermutuUntukSemua
“Menjadi guru memang tidak mudah. Kita harus bisa memahami latar belakang siswa dan mengelola pembelajaran yang berpihak pada mereka. Setiap siswa berbeda, dan tugas kita adalah menciptakan lingkungan belajar yang membuat mereka merasa dihargai dan termotivasi untuk terus belajar,” imbuh Jessie.
Dengan dedikasi dan kreativitasnya, Jessie telah mengubah tantangan menjadi peluang. Ia tidak hanya mengajarkan sejarah, tetapi juga menyampaikan nilai-nilai penting tentang tanggung jawab, kreativitas, dan keberlanjutan kepada generasi muda.
Sebelumnya, Jessie mengungkapkan bahwa dirinya tidak pernah membayangkan akan memilih profesi sebagai pendidik. Namun, kecintaan ia terhadap sejarah membawanya pada perjalanan yang luar biasa.
Meskipun awalnya tidak berniat menjadi guru, anak sulung dari tiga bersaudara ini mengaku bahwa minatnya pada sejarah sudah ada sejak duduk dibangku sekolah dasar (SD). Bahkan, saat dibangku SMA, Jessie hampir setiap hari menghabiskan waktu di perpustakaan untuk membaca buku-buku sejarah.
“(Setelah lulus SMA) saya memilih kuliah di jurusan sejarah karena sejak kecil sangat suka mendengarkan cerita-cerita sejarah, terutama tentang peristiwa lokal yang diceritakan oleh nenek saya. Itu yang membuat saya tertarik untuk terus menggali cerita sejarah,” ucap Jessie mengenang masa kecilnya yang penuh dengan kisah-kisah bersejarah.
Baca juga: Bermain Tamiya, Pembalasan Dendam Masa Kecil
Setelah lulus dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang pada 2013, Jessie sempat mengajar sebagai guru honorer di sekolah menengah pertama (SMP).
Selain bekerja sebagai guru honorer, Jessie juga mencoba peruntungan dengan mengikuti tes calon pegawai negeri sipil (CPNS). Tak lama setelah tes, pengumuman hasil CPNS pun keluar, dan ia diterima sebagai PNS dengan penempatan pertama di SMAN 1 Adonara Barat pada 2014.
Saat awal mengajar, Jessie memutuskan untuk indekos karena jarak rumahnya ke sekolah terlampau cukup jauh. Bahkan, ia harus menempuh perjalanan laut menggunakan perahu motor. Perjalanan ini menurutnya sangat berisiko, terlebih saat musim hujan.
“Awalnya, ketika saya pertama kali ditempatkan di SMAN 1 Adonara Barat, jalanan masih berupa kerikil dan sangat sulit dilalui. Jaringan internet pun tidak ada, bahkan untuk menggunakan telepon, sinyalnya sangat terbatas, sampai-sampai handphone kita tidak bisa dipindahkan karena sinyal yang hilang,” ucapnya.
Baca juga: 23 TPS di Sleman Masuk Daerah Rawan Bencana dan 37 TPS Terkendala Sinyal
Jessie juga menjelaskan bahwa sejak 2015, jalanan dari indekos ke SMAN 1 Adonara Barat sudah diaspal dengan baik, dan koneksi internet pun semakin lancar.
Namun, kata dia, jaringan internet masih terkadang terganggu, terutama saat musim hujan, tergantung pada kondisi pasokan listrik.
“Dulu, untuk mencari sinyal, kami terpaksa harus pergi ke pesisir,” imbuh Jessie.
Bagi Jessie, keterbatasan infrastruktur bukanlah halangan untuk berbagi ilmu kepada murid-muridnya. Terlebih lagi, fasilitas dan prasarana di SMAN 1 Adonara Barat kini telah jauh lebih memadai.
Baca juga: Bos Bank BUMN Keluhkan Likuiditas Ketat, OJK Bilang Masih Memadai
“Sekitar dua atau tiga tahun terakhir, terutama sejak 2019, banyak perkembangan yang terjadi. Fasilitas di sekolah sekarang sudah cukup memadai, baik dari sisi bangunan maupun sarana belajar. Kami juga sudah memiliki laboratorium,” jelas Jessie.