KOMPAS.com - Kepala Sekolah Dasar Negeri (SDN) Setiling, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB) Maun meyakini bahwa semua anak itu pintar serta memiliki minat dan bakatnya masing-masing.
Oleh karena itu, ia terus berupaya agar setiap anak mendapatkan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhannya. Hal ini penting karena akan menjadi dasar bagi kemampuan belajar mereka pada jenjang yang lebih tinggi.
Bekerja sama dengan Universitas Mataram (Unram), Maun mendorong pendekatan pembelajaran berbasis kemampuan siswa melalui program Semua Anak Cerdas (SAC)-Cakap Literasi dan Numerasi Dasar.
SAC-Cakap Literasi dan Numerasi Dasar merupakan sebuah program dengan implementasi menitikberatkan pada penguatan kemampuan literasi dan numerasi.
Dalam implementasinya, Maun awalnya mengelompokkan para siswa ke dalam tiga klaster, yakni kelompok huruf, kelompok kata, dan kelompok cerita.
Baca juga: Mengetik Tiga Huruf Ini di Safari Bisa Bikin iPhone Hang
Kelompok huruf diperuntukkan bagi siswa yang belum mengenal huruf, sedangkan kelompok kata adalah kelompok siswa yang sudah mengenal huruf, tetapi belum mampu membaca kata dengan baik.
Sementara itu, kelompok cerita adalah kelompok siswa yang sudah mampu membaca kata dan suku kata dengan baik, tetapi belum begitu lancar membaca kalimat atau cerita.
Kelompok cerita kemudian dibagi lagi menjadi dua, yaitu kelompok cerita I dan II. Kelompok cerita I adalah kelompok bagi anak-anak yang lancar membaca kata, tetapi belum lancar membaca kalimat.
Sementara itu, kelompok cerita II adalah kelompok untuk anak-anak yang sudah lancar membaca kalimat, bahkan cerita.
Menariknya, Maun dan guru-guru di sekolahnya memiliki pendekatan unik pada anak-anak di kelompok cerita agar terus mematangkan kemampuan bacanya dan makin memahami cerita. Dalam kelompok ini, anak-anak didorong untuk menampilkan cerita dalam sebuah pertunjukkan.
“Jadi, siswa-siswa yang masuk kelompok cerita, selain terus mematangkan kemampuan membaca kalimatnya, kami arahkan untuk bagaimana membawakan cerita tersebut menjadi sebuah pertunjukan di dalam kelas,” tuturnya dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Rabu (30/11/2022).
Sebisa mungkin, lanjut Maun, cerita yang siswa baca berupa cerita-cerita populer Indonesia dan lokal daerah
Walau menemui tantangan seperti terbatasnya sumber daya manusia (SDM), Maun dan guru-guru di sekolahnya mengungkapkan tidak lelah berjuang.
Bahkan, perjuangan tersebut telah mendapatkan apresiasi dan dukungan dari Dinas Pendidikan Kabupaten Lombok Tengah.
Maun hingga saat ini tetap berpegang teguh pada keyakinannya bahwa tidak ada anak-anak yang bodoh.
Baca juga: Siswa Belum Dapat Bantuan Program Indonesia Pintar? Ini Kata Kemendikbud
“Melalui program SAC, anggapan yang mengatakan ada siswa bodoh dan pintar perlahan terkikis. Pada dasarnya, semua siswa pintar, tinggal bagaimana pola pembelajarannya, disesuaikan dengan kondisi serta kemampuan siswa itu sendiri,” jelasnya.
Jerih payah yang Maun perjuangkan bersama para guru akhirnya mulai menunjukkan hasil.
Siswa yang mengikuti pembelajaran berkelompok mengalami peningkatan kemampuan, baik secara signifikan maupun perlahan-lahan. Dari aspek psikologis, pembelajaran berkelompok juga berdampak positif.
Cara tersebut terbukti meningkatkan kepercayaan diri anak dalam belajar, sebuah satu faktor penting dalam menunjang anak untuk menikmati proses belajar.
Berbicara tentang literasi di Indonesia, berdasarkan penelitian Perpustakaan Nasional (Perpusnas) pada 2021, tingkat kegemaran membaca (TGM) masyarakat Indonesia menduduki nilai 59,52.
Angka tersebut mengindikasikan bahwa literasi masyarakat Indonesia ada dalam kategori sedang.
“Jika kami telisik lebih jauh hasil penelitian Perpusnas, TGM Indonesia sebenarnya terus meningkat. Pada 2017 menunjukkan nilai 36,48 dan pada 2018 meningkat di angka 52,92,” ujar Muan.
Sementara itu, pada 2019 berada di angkat 53,63, dan pada 2020 yaitu 55,74. Hal ini menurutnya adalah sebuah pertanda baik, selama masyarakat Indonesia terus peduli dan mencintai dunia literasi.
Meski demikian, hasil riset Early Grade Reading Assessment (EGRA) yang dilakukan secara nasional oleh Research Triangle Institute (RTI) pada 2014 menunjukkan hanya 60,8 persen siswa SD yang mampu memahami isi teks yang dibacanya.
“Artinya, baru enam dari sepuluh anak yang memahami apa yang dibaca. Oleh karena itu, Indonesia memerlukan pendekatan dan kebijakan yang tepat untuk terus menguatkan literasi,” jelas Muan.
Baca juga: Indeks Literasi Keuangan Masyarakat Jabar Naik Menjadi 56,10 Persen
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) sendiri berupaya untuk terus meningkatkan kualitas perbukuan di Indonesia.
Dengan begitu, anak-anak Indonesia dapat menikmati literatur yang makin menarik dan menyenangkan. Upaya ini juga bagian dari strategi Kemendikbudristek dalam meningkatkan kemampuan literasi, numerasi, dan juga pembangunan karakter menuju Profil Pelajar Pancasila.
Salah satu upaya yang Kemendikbudristek lakukan adalah dengan menyusun regulasi perjenjangan buku.
Peraturan Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Nomor 030/P/2022 tentang Pedoman Perjenjangan Buku meregulasi pengembangan bahan bacaan ramah anak yang sesuai kemampuan pembacanya.
Kepala Pusat Perbukuan BSKAP Kemendikbudristek Supriyatno menjelaskan, upaya tersebut menjadi salah satu komitmen Kemendikbudristek dalam menjalankan amanat Undang-undang (UU) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan.
Baca juga: RUU Perbukuan Diyakini Bakal Tingkatkan Minat Baca Masyarakat
“Dalam menyusun regulasi tersebut, Kemendikbudristek melibatkan para pakar di bidang pendidikan, pegiat literasi, praktisi perbukuan, pemerhati anak, psikolog tumbuh kembang anak, dan pakar terkait lainnya,” jelasnya.
Kemendikbudristek, lanjut Supriyatno, ingin agar bahan bacaan dapat padu padan atau sesuai dengan kemampuan pembacanya dan menjadi acuan dalam memperoleh naskah, serta menerbitkan buku bermutu, sesuai dengan pembaca sasaran.
Selain itu, sebut dia, adanya regulasi dapat membantu orangtua dalam menyaring bacaan yang tepat untuk anaknya serta menunjang guru dalam merancang pembelajaran yang sesuai kebutuhan siswa.
Berdasarkan regulasi perjenjangan buku, buku-buku ramah anak dan ramah cerna dibagi ke dalam lima jenjang utama.
Lima jenjang tersebut, yaitu level Pembaca Dini (A), Pembaca Awal (B), Pembaca Semenjana (C), Pembaca Madya (D), Pembaca Mahir (E). Level Pembaca Awal (B) sendiri dibagi ke dalam tiga subjenjang, yaitu level B-1, B-2, dan B-3.
Supriyanto menegaskan bahwa dalam regulasi, usia hanya merupakan penyetaraan, tetapi bukan acuan utama penjenjangan buku, karena acuan utama tetap pada kemampuan membaca.
“Di sini, kemampuan membaca anak telah dibagi, mulai dari pembaca dini (A) sampai pembaca mahir (E). Karakteristik pembaca pun ada dalam klasifikasi penjenjangan buku ini dan tentunya peran pendamping pun menjadi sangat penting bagi para pembaca dini ini,” jelas Supriyatno.
Publik dapat mempelajari lebih lanjut mengenai perjenjangan buku melalui platform Sistem Informasi Perbukuan Indonesia (SIBI) pada laman buku.kemdikbud.go.id.