KOMPAS.com - Ada beragam upaya dan pendekatan yang dapat dilakukan untuk membenahi kualitas pendidikan yang bertujuan meningkatkan kualitas pembelajaran anak.
Guru Sekolah Dasar Negeri (SDN) 1 Kuta, di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, Febri Nirmala, misalnya, yang menjadikan ruang kelas sebagai rumah kedua demi mendorong kemampuan belajar para siswanya.
Hal tersebut dilakukan Febri karena ingin menghadirkan rasa nyaman, aman, dan menyenangkan, sehingga sekolah terasa bagai rumah kedua bagi anak-anak.
Ia menjelaskan bahwa sekolah sebagai rumah kedua merupakan upaya untuk membantu anak-anak yang tidak tinggal dengan orangtua atau kurang mendapat perhatian dari keluarga. Pasalnya, kondisi tersebut dapat menghambat perkembangan proses belajar siswa di sekolah.
"Kasih sayang bagi anak-anak memang sangat penting. Kurangnya kasih sayang bagi anak tak jarang membuat anak enggan masuk sekolah, suka murung dalam kelas, dan jarang bicara dengan temannya," ujarnya
"Akhirnya, saya sebagai guru harus bisa menggantikan sosok keluarga atau menjadikan ruang kelas sebagai rumah ternyamannya,” tutur Febri, dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Senin (28/11/2022).
Baca juga: Bentuk Tim Pengembang Mutu untuk Menjaga Kualitas Belajar dari Rumah
Febri melakukan pendekatan satu-persatu kepada anak-anak, sebuah upaya yang memerlukan kesabaran dan perjuangan panjang.
Dari pendekatan tersebut, ia dapat menggali masalah yang anak-anak hadapi dan bagaimana karakter mereka.
"Alhamdulillah ada perubahan. Anaknya jadi rajin. Saya merasa mereka seperti anak sendiri. Saat mereka masuk SMP, saya merasa bagaimana (kehilangan-red.), tapi alhamdulillah anak-anak tetap tanya kabar," kisah Febri.
Di daerah lain, Guru SDN Lawinu Tanarara, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, Siti Saudah, memiliki upaya dan pendekatan yang tak kalah gigih.
Demi memajukan pendidikan Indonesia, ia rela meninggalkan karirnya di Pati, Jawa Tengah, lalu mengabdi untuk anak-anak di timur Indonesia.
Guru lulusan Universitas Negeri Semarang (Unnes) ini tergerak hatinya dan mengikuti program pengabdian di daerah tertinggal, terdepan, terluar (3T) yang ditawarkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) pada 2015.
“Di kota pasti banyak yang mau mengisi posisi saya, tapi kalau saya tidak mau datang ke sana (daerah pedalaman), ya pasti tidak ada yang mau,” ungkap Siti.
Sekolah tempat Siti mengajar belum memiliki fasilitas yang memadai dan lokasinya pun berada di atas bukit.
Kondisi tersebut membuat anak-anak perlu berjalan selama satu jam atau lebih, mendaki bukit-bukit tandus dari kampung mereka dengan bertelanjang kaki. Namun, Siti terlanjur mencintai pekerjaan dan anak-anak di tempatnya mengabdi.
“Saya langsung jatuh hati melihat mereka. Saya hanya ingin bersyukur dengan keberuntunganku melalui pengabdian buat anak-anak ini,” cerita Siti dengan suara bergetar.
Selain mengajar, Siti tertarik dengan kondisi pelaporan keuangan di sekolahnya yang masih perlu mendapatkan perhatian dalam proses penyusunannya.
Baca juga: Kisah Guru Asal Sumut, Menulis Banyak Buku hingga Jadi Idola Murid
Siti menyadari bahwa pelaporan keuangan yang baik menjadi poin penting dalam operasional sekolah, agar manajemen sekolah dapat berjalan dengan baik dan sesuai aturan.
Ia juga tergerak untuk membuka wawasan guru-guru agar memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dalam pembelajaran.
Pasalnya, kata dia, selain kepala sekolah dan dirinya, para guru masih enggan menyentuh laptop karena takut rusak dan belum menguasai pengoperasian perangkat tersebut.
Kisah perjuangan para guru tersebut merupakan gambaran nyata di lapangan tentang masih perlunya perhatian pemerintah lewat intervensi yang tepat. Hal ini dibutuhkan untuk dapat membenahi kualitas pendidikan secara menyeluruh di pelosok Indonesia.
Berdasarkan Data Pokok Pendidikan (Dapodik) 2022, terdapat lebih dari 52 juta siswa dalam sistem pendidikan Indonesia. Artinya, ada lebih dari 10 kali lipat populasi warga Singapura yang perlu pemerintah Indonesia layani.
Selain siswa, ada lebih dari 3 juta guru yang memerlukan perhatian pemerintah. Hal tersebut ditambah fakta bahwa Indonesia terbagi dalam tiga daerah waktu dan wilayah, yakni Indonesia barat, tengah, dan timur.
Dengan besar dan masifnya sistem pendidikan Indonesia, negeri ini memerlukan suatu instrumen yang dapat memetakan tantangan, kendala, dan mutu seluruh satuan pendidikan.
Oleh karena itu, Kemendikbudristek menyelenggarakan survei nasional melalui Asesmen Nasional (AN).
Baca juga: Mengenal Rapor Pendidikan, Platform Terbaru Rilisan Kemendikbud Ristek
Data hasil AN tersebut kemudian diintegrasikan dengan Data Pokok Pendidikan (Dapodik), data Pendidikan dari Kementerian Agama (EMIS), platform digital guru dan kepala sekolah (tracer study SMK), data Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK), data akreditasi sekolah, dan Badan Pusat Statistik (BPS), serta berbagai sumber data pokok lain terkait pendidikan ke dalam sebuah platform digital, yakni Rapor Pendidikan.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim menyampaikan, platform Rapor Pendidikan dirancang untuk memudahkan kepala satuan pendidikan dan dinas pendidikan dalam memetakan kondisi pendidikan di satuan atau daerahnya.
"Dengan memanfaatkan Rapor Pendidikan, dinas pendidikan dan satuan pendidikan dapat mengidentifikasi kondisi daerah dan satuan pendidikannya secara riil," kata Nadiem saat peluncuran Merdeka Belajar Episode Ke-19: Rapor Pendidikan Indonesia, pada Jumat (1/4/2022)
Menurut Nadiem, data tersebut bukan hanya sebagai ‘pemberitahuan’ kepada daerah dan satuan pendidikan, melainkan sebagai titik mula untuk merefleksikan dan membenahi kualitas pendidikan secara menyeluruh.
Melalui pemanfaatan Rapor Pendidikan, kata Nadiem, pemerintah pusat dan pemerintah daerah (pemda) dapat memetakan dan memberikan bantuan serta intervensi yang sesuai dengan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masing-masing daerah.
Untuk mengoptimalisasi pemanfaatan Platform Rapor Pendidikan, Kemendikbudristek telah berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan kementerian lembaga lainnya sejak Oktober 2021.
Koordinasi tersebut lalu melahirkan kesepakatan untuk menggunakan data Rapor Pendidikan dalam mengukur pemenuhan Standar Pelayanan Minimum (SPM).
“Data Rapor Pendidikan digunakan sebagai indikator kinerja pemda di bidang pendidikan, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 59 tahun 2021 tentang SPM,” ujar Nadiem.
Setiap dinas dan satuan pendidikan dapat mengakses laman raporpendidikan.kemdikbud.go.id untuk mengetahui hasil asesmen dan survei nasionalnya.
Tidk hanya itu, publik pun secara umum dapat mengakses data yang sifatnya terbuka bagi publik mengenai hasil Asesmen Nasional melalui pusmendik.kemdikbud.go.id/profil_pendidikan.