KOMPAS.com - Kekerasan seksual adalah tindakan fisik maupun nonfisik yang merendahkan, melecehkan, atau menyerang seksualitas tubuh dan fungsi reproduksi orang lain secara paksa.
Catatan tahunan Komisi Nasional (Komnas) Perempuan 2020 menyebutkan, jumlah aduan kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO) 2019 meningkat 300 persen dari tahun sebelumnya.
Sementara itu, survei Koalisi Ruang Publik Aman pada 2009, menempatkan sekolah dan kampus pada posisi ketiga ruang publik tempat terjadinya kekerasan seksual, setelah jalanan umum dan transportasi publik.
Lebih lanjut, riset Nama Baik Kampus pada 2019 mencatat, terdapat 174 kasus kekerasan seksual di kampus. Sementara itu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan, terdapat 123 anak korban kekerasan di sekolah.
Baca juga: Hambatan Pencegahan Kekerasan Seksual di Lembaga Pendidikan: Pelaku Lebih Dilindungi
Untuk mencari jalan keluar dari masalah tersebut, Kepala Pusat Penguatan Karakter (Puspeka) Hendarman mengatakan, pihaknya menggelar webinar Anti Kekerasan Gender yang mengundang beberapa pembicara ahli.
“Untuk mengatasi masalah kekerasan, kita tidak bisa hanya berdiam diri. Kegiatan ini merupakan salah satu mandat yang diberi kepada Puspeka,” kata Hendarman, saat membuka webinar, Sabtu (21/11/2020).
Komisioner Komnas Perempuan Maria Ulfah Anshor yang menjadi pembicara pada acara tersebut menjelaskan, bentuk kekerasan pada perempuan terbagi menjadi empat, yaitu kekerasan fisik, psikis, seksual, dan sosial.
Keempat bentuk kekerasan tersebut dapat terjadi karena adanya relasi kuasa yang menciptakan ketimpangan hubungan kekuasan antara perempuan dan laki-laki, serta ideologi patriarki yang membesar-besarkan perbedaan biologis.
Baca juga: Patriarki Sebabkan Wanita Sulit Dapatkan Pelayanan Kesehatan
Maria mengatakan, tak jarang perempuan korban kekerasan mendapat stigma negatif dan mengalami trauma berkepanjangan, bahkan hingga seumur hidup.
“Padahal mereka korban kekerasan seksual, bukan pelaku. Jika tidak dipulihkan secara optimal, bisa dipastikan korban perempuan tidak berperan aktif dalam pembangunan nasional. Maka dari itu, saya ingin mengajak para hadirin turut serta mengadvokasi,” kata Maria.
Tak hanya perempuan, Psikolog Anak dari Yayasan Pulih Gisella Tani Pratiwi menjelaskan, anak juga rentan menjadi korban kekerasan seksual.
Hal tersebut karena pola pikir dan kondisi perkembangan anak masih sangat sederhana, serta banyak anggapan bahwa anak adalah objek atau hak milik sehingga suara, kepentingan, kebutuhan, dan perkembangannya terabaikan.
Baca juga: Marak Kekerasan Anak, KPAI Minta Sekolah Buka Posko Pengaduan
Hal lain yang juga mempengaruhi adalah ketimpangan gender antara laki-laki dan perempuan, serta adanya sikap permisif dan kurangnya pemahaman terhadap konsep kekerasan pada anak.
Adapun jenis kekerasan pada anak terbagi menjadi empat yaitu fisik, psikis, seksual, dan penelantaran.
“Penelantaran adalah kondisi yang membuat kebutuhan anak seperti pendidikan, tidak terpenuhi,” kata Gisella.
Publik figur sekaligus ayah dari empat anak Indra Brasco pun membagikan beberapa tips yang dia lakukan guna menghindarkan anak dari kekerasan.
Baca juga: Cegah Kasus Kekerasan Anak, Keluarga dan Lingkungan Harus Lebih Berperan
Cara dimaksud antara lain menginformasikan bahwa anaknya merupakan hadiah dari Tuhan sehingga diri dan tubuhnya sangat berharga.
Lalu mengingatkan bagian-bagian tubuh yang harus dijaga dan tidak boleh disentuh oleh orang lain, serta sedini mungkin mengajarkan siapa saja yang boleh membuka baju saat anak akan mandi.
Bahkan ia membiasakan meminta izin untuk membuka baju kepada anaknya saat akan memandikan.