KOMPAS.com – Pakar pangan Universitas Andalas, Muhammad Makky, mengingatkan perlunya kehati-hatian dalam memilih istilah terkait polemik beras yang tengah terjadi.
Pandangan tersebut merupakan respons terhadap pernyataan Ombudsman RI yang menyebut istilah “oplosan” kurang tepat dan menggantinya dengan “percampuran”.
Menurut Makky, sebagai lembaga pengawas pelayanan publik berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008, Ombudsman memiliki peran penting dalam melindungi hak masyarakat dan mendorong praktik perdagangan yang adil.
“Pernyataan yang mengubah istilah ‘oplosan’ menjadi ‘percampuran’ berpotensi menimbulkan salah tafsir di masyarakat, bahkan bisa dimanfaatkan pihak yang tidak bertanggung jawab dalam praktik perdagangan beras,” ujarnya dalam rilis pers yang diterima Kompas.com, Minggu (10/8/2025).
Makky menilai, istilah yang digunakan pemerintah, khususnya Menteri Pertanian, sebaiknya dipertahankan untuk memberikan ketegasan bahwa praktik curang tersebut tidak dapat dibenarkan.
“Kita perlu memastikan narasi yang dibangun memperkuat upaya perlindungan terhadap petani dan konsumen, serta mendukung penegakan hukum,” tambahnya.
Ia menegaskan, polemik beras saat ini tidak bisa disederhanakan hanya sebagai “percampuran” antarvarietas, melainkan sudah menjadi praktik kecurangan sistematis yang merugikan petani dan konsumen. Oleh karena itu, diperlukan penegakan hukum tegas.
Berdasarkan temuan Kementerian Pertanian dan Satgas Pangan, dari 268 sampel beras di 10 provinsi, sebanyak 85,56 persen beras premium dan 88,24 persen beras medium tidak memenuhi standar mutu SNI 6128:2020.
Selain itu, 59,78 persen beras dijual melebihi Harga Eceran Tertinggi (HET) dan 21,66 persen memiliki berat di bawah label kemasan. Secara kumulatif, hal ini diperkirakan menyebabkan kerugian konsumen hingga Rp 99,35 triliun per tahun.
“Fakta ini menunjukkan kita tidak sedang membicarakan pencampuran varietas yang sah dan transparan, melainkan kecurangan yang melanggar Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan,” kata Makky.
Ia menekankan, semua pihak, termasuk lembaga pengawas pelayanan publik, harus memperkuat pengawasan, mengungkap rantai pasok yang bermasalah, dan memastikan perlindungan terhadap petani dan konsumen.
Makky juga menyoroti praktik pengemasan ulang beras SPHP bersubsidi untuk dijual sebagai beras premium. Menurutnya, praktik ini jelas melanggar hukum dan harus dikenai sanksi tegas.
Pelaku dapat dijerat pidana penjara hingga 5 tahun dan denda Rp2 miliar sesuai Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Sebagai solusi, Makky mendorong reformasi rantai pasok melalui penguatan koperasi dan unit penggilingan padi (RMU) untuk mengurangi peran tengkulak, penerapan sertifikasi mutu yang transparan, pengawasan terpadu di pasar induk dan jalur distribusi, serta sanksi tegas bagi pelaku kecurangan.
“Kepercayaan publik terhadap pasar beras harus dipulihkan. Caranya bukan dengan menormalkan praktik yang merugikan, tetapi dengan memastikan keadilan bagi petani dan keamanan bagi konsumen,” tutur Makky.