KOMPAS.com - Direktorat Jenderal Perhubungan Udara tengah menyiapkan aturan dan standar terkait pengoperasian pesawat amphibi ( seaplane) di Indonesia. Tujuannya, membuka akses daerah terpencil dan pulau kecil serta menunjang pariwisata, utamanya nomadic tourism.
Aturan dan standar tersebut di antaranya akan berisi tentang aerodrome (pelabuhan udara) pesawat amphibi baik di pantai maupun di sungai serta jenis-jenis pesawat amphibi yang bisa beroperasi.
Pemerintah tengah menyiapkan regulasi dengan mengacu pada Annex Organisasi Penerbangan Sipil Internasional ( ICAO) terutama annex 14 tentang aerodromes serta UU no. 1 tahun 2009 tentang Penerbangan dan Peraturan Menteri Perhubungan no. PM 74 tahun 2013 tentang CASR 139 Aerodromes.
Peraturan baru ini akan berkaitan tentang tata cara operasional dan jenis-jenis pesawat amphibi yang bisa beroperasi. Hal ini mengingat ada keinginan dari PT Dirgantara Indonesia selaku pabrik pembuat pesawat di Indonesia untuk melengkapi pesawat yang saat ini sedang dikembangkan, yaitu N219 dengan perlengkapan-perlengkapan amphibi.
(Baca: Kemenpar Gencarkan Nomadic Tourism pada 2018, Apa Itu?)
Selama ini, Indonesia masih memakai aturan-aturan dan kriteria yang dikembangkan oleh masing-masing produsen pesawat tersebut. Dengan peraturan baru ini nantinya akan menjadi jaminan bagi operator untuk pengoperasian pesawat-pesawat amphibi di Indonesia dengan selamat, aman dan nyaman.
"Jadi nanti aturannya lengkap, terkait dengan operasional serta bisnis penerbangannya dan juga terkait dengan industri pesawatnya,” kata Dirjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, Agus Santoso, dalam siaran pers, Senin (26/3/2018).
Sebagai negara kepulauan, Indonesia mempunyai garis pantai yang sangat panjang baik itu di pulau besar maupun pulau kecil. Selain itu, Indonesia punya sungai-sungai yang besar dan panjang.
Jaman dulu, sungai dan laut menjadi sarana transportasi bagi penduduk di pulau-pulau kecil dan pedalaman untuk menuju kota. Penggunaan transportasi di perairan kerap terkendala ombak laut yang besar atau pendangkalan sungai sehingga kapal tidak bisa berlayar.
"Untuk itu, kami siapkan transportasi udara dengan pesawat amphibi ini yang lebih cepat dan sedikit hambatannya,” ujarnya.
Menurut Agus, penyiapan aerodrome di perairan lebih murah biayanya dibandingkan dengan di darat. Selain itu, pencarian lokasinya juga relatif lebih mudah dan tidak banyak hambatan (obstacle) geografis dibanding di daratan yang lebih susah, karena membutuhkan lahan datar yang luas dengan obstacle yang minim.
Selain itu, angkutan amphibi dapat menunjang pariwisata serta membuka keterisolasian daerah dan pulau-pulau kecil yang terpencil yang tidak mempunyai bandar udara. Dengan demikian, harga tiketnya menjadi lebih murah serta bisa dinikmati lebih banyak masyarakat terutama yang di pedalaman.
Direktorat Jenderal Perhubungan Udara selalu berupaya untuk memberikan pelayanan kepada kepentingan konektivitas transportasi tidak hanya udara, tetapi juga antarmoda agar instruksi Presiden Jokowi untuk memperkuat konektivitas makin cepat terealisasi.
Saat ini, pesawat-pesawat amphibi yang beroperasi semakin banyak di Indonesia. Selain itu juga sudah ada maskapai yang menguji coba pengoperasian pesawat amphibi di Indonesia, terutama berkaitan dengan pariwisata ke pulau-pulau kecil nan eksotik.
Seperti diketahui, Kementerian Pariwisata sedang menyiapkan pariwisata nomadik (nomadic tourism) di empat destinasi prioritas sebagai percontohan, yaitu Danau Toba, Labuan Bajo, Mandalika, dan Borobudur.
Salah satu sifat pariwisata jenis ini adalah sarana amenitas atau akomodasinya bisa dipindah-pindah. Aksesibilitasnya yang sangat penting adalah seaplane yang bisa membawa wisatawan dari pulau ke pulau di Indonesia dengan lebih mudah dan cepat.
Dengan kondisi yang demikian, Agus Santoso yakin bahwa angkutan amphibi akan berkembang pesat di Indonesia.