KOMPAS.com – Direktur Jenderal (Dirjen) Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Asing (EBTKE) Sutijastoto, mengajak seluruh pemangku kepentingan bergandengan tangan pada masa sulit ini, dengan berinovasi mengembangkan pemanfaatan energi surya.
Hal tersebut bertujuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, serta memperkuat kebijakan untuk membangun a level playing field untuk energi baru dan terbarukan ( EBT).
Para pemimpin dunia dalam berbagai forum internasional pun sepakat, program energi terbarukan dan efisiensi energi dapat menjadi penolong bagi perekonomian.
Untuk mendukung pengembangan EBT, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) sendiri telah merevisi peraturan dan perundang-undangan.
Baca juga: Kembangkan Pasar EBT, Ditjen EBTKE Godok Rancangan Perpres EBT
“Mengingat teknologinya terus berkembang sehingga menjadi semakin efisien dan terjangkau, energi surya diharapkan menjadi penopang utama pencapaian target energi terbarukan 23 persen pada 2025,” kata Sutijastoto, seperti dalam keterangan tertulisnya.
Hal tersebut dikatakan Sutijastoto, dalam Peringatan dan Refleksi Tiga Tahun Gerakan Sejuta Surya Atap, Kamis (24/9/2020).
Tiga tahun lalu, Institute for Essential Services Reform (IESR) bersama para pelaku dan aktivis energi terbarukan mempelopori Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap (GNSSA).
Indonesia yang berada di sepanjang garis khatulistiwa memang memiliki potensi energi surya yang berlimpah.
Teknologi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang berbentuk modular pun dianggap sangat menguntungkan, karena mudah dipasang dan relatif mudah ditransportasikan antarpulau.
Baca juga: Hingga Paruh Pertama Tahun Ini, Sudah 2.346 PLTS Atap Terpasang
Sutijastoto pun mengucapkan terima kasih atas segala upaya yang telah dilakukan IESR.
“KESDM mengucapkan terima kasih karena telah menggandeng berbagai pemangku kepentingan untuk menjadikan energi surya khususnya teknologi PLTS Atap, sebagai arus utama isu energi nasional,” kata Sutijastoto.
Menurut Sutijastoto, gerakan tersebut sangat penting untuk mengembangkan pasar energi matahari yang masih kecil, bahkan di bawah skala ekonomi. Akibatnya, harga PLTS di Indonesia masih mahal.
Padahal, harga PLTS yang terjangkau akan mendorong pemanfaatan di masyarakat luas, dan energi surya pun akan menjadi penggerak utama transisi menuju energi bersih.
Baca juga: Pakai PLTS di Rumah agar Hemat Listrik, Berapa Estimasi Biayanya?
“Kami harus terus mengupayakan pengembangan PLTS serta EBT lainnya, sehingga mencapai skala ekonomi dan harga yang kompetitif,” kata Sutijastoto.
Saat ini, pemanfaatan energi surya sudah berkembang pesat di berbagai belahan dunia, salah satunya India. Mereka telah memproyeksikan energi surya sebagai pengganti pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), sekaligus mengurangi ketergantungan impor atas sumber daya energi.
Republik Rakhyat Tiongkok (RRT) sebagai konsumen energi terbesar di dunia juga telah lama mengembangkan energi surya. Saat ini, mereka menjadi eksportir terbesar sekaligus pelopor panel surya di dunia.
Melalui refleksi ini, Sutijastoto pun berharap Indonesia dapat melakukan hal serupa.
“Semoga dapat terbangun kembali komitmen bersama untuk mendorong akselerasi, identifikasi tantangan, serta ide inovatif untuk mendorong perkembangan PLTS Atap secara masif,” kata Sutijastoto.