KOMPAS.com – Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) FX Sutijastoto mengatakan, pihaknya tengah menggodok atau membahas rancangan Peraturan Presiden ( Perpres) terkait energi baru terbarukan ( EBT).
Pria yang akrab disapa Toto ini mengatakan, urgensi dari Perpres ini salah satunya guna mengembangkan pasar EBT di Indonesia yang terbilang masih kecil, sehingga belum masuk ke skala keekonomiannya.
Dia mengatakan itu dalam jumpa pers “Update Kinerja Subsektor EBTKE” yang dilakukan secara secara virtual, Selasa (28/7/2020).
Toto mencontohkan, Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Indonesia baru sebatas pabrikan solar panel. Itu pun masih dalam kapasitasi kecil antara 40 Megawatt ( MW) hingga 100 (MW).
Baca juga: Pada 2025, Ditjen EBTKE Target PLTBG Capai Kapasitas 5,5 GW
“Kemudian, pabrikan-pabrikan solar panel ini bahan bakunya masih impor. Sudah impornya ketengan, pengolahannya kecil-kecil, akibatnya ya harganya masih cukup tinggi,” jelasnya.
Toto juga membandingkan, pabrikan-pabrikan di China, misalnya, sudah memiliki kapasitas antara 500 MW, bahkan hingga 1.000 MW.
“Inilah yang membuat kita mengembangkan market ini sehingga dengan Perpres ini market bisa lebih berkembang,” tuturnya.
Selain itu, Toto menjelaskan, pengembangan EBT pun dapat menciptakan nilai-nilai ekonomi baru, seperti energi bersih, menciptakan investasi nasional dan daerah-daerah.
Baca juga: Kementerian ESDM: Hingga Mei 2020, Bauran EBT Capai 14,2 Persen
“Pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di daerah-daerah ini kan bagian dari menimbulkan investasi juga,” ujarnya.
Dia menilai, Perpres ini dapat pula mengembangkan dan memunculkan pengusaha EBT dan industri-industri EBT baru di dalam negeri.
Tak cuma itu, nilai ekonomi baru ini dapat meningkatkan ketahanan energi dan ekonomi nasional atau bahkan keluar dari jebakan defisit neraca perdagangan.
“Terutama apa, banyak sumber-sumber dari EBT itu ada di dalam negeri,” ungkapnya.
Dia turut menjelaskan, potensi EBT di Indonesia cukup besar, yaitu 442 Gigawatt (GW). Namun, saat ini yang baru terimplementasi hanya sebesar 10,4 GW (2,4 persen).
Baca juga: Akselerasi EBT di Era New Normal, Bisa Hasilkan 9.000 MW Pembangkit EBT pada 2024
Selain itu, realisasi capaian bauran EBT baru 9,15 persen dari target Kebijakan Energi Nasional 23 persen pada 2025.
“Jadi, pekerjaan rumah kami itu bagaimana mencapai 23 persen untuk tahun 2025. Inilah terjadi gap yang cukup tinggi,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Toto menjelaskan, rancangan Perpres ini dapat memengaruhi harga EBT sehingga memiliki keuntungan yang positif.
Keuntungan tersebut, seperti energi bersih, listrik terjangkau, tumbuhnya industri dan ekonomi karena listrik yang terjangkau, hingga keamanan energi karena harga EBT perekonomian yang wajar.
Baca juga: Kembangkan EBT Lebih Masif, Dirjen EBTKE Lakukan Restrukturisasi dan Refocusing
“Nah cost-nya bagi pemerintah adalah menyiapkan insentif fiskal dan perpajakan,” terangnya.
Walau begitu, Toto menyebut, harga tersebut dapat terhambat dengan perizinan, masalah lahan, dan lainnya sehingga harga EBT meninggi meski secara teknologi sudah kompetitif.
Oleh karena itu, dukungan kementerian dan lembaga sangat penting sehingga ada langkah-langkah mendukung EBT dapat disinkronkan, salah satunya melalui Perpres ini.
Untuk itu, Toto pun berharap agar akhir tahun ini rancangan Perpres ini dapat terbit.