KOMPAS.com - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Republik Indonesia (RI) Arifin Tasrif menyelesaikan berbagai kebijakan strategis untuk meningkatkan kinerja sektor ESDM di tengah pandemi Covid-19.
"Kebijakan strategis tersebut diantaranya penerbitan perubahan undang-undang (UU) Pertambangan Mineral dan Batubara, Konversi pembangkit listrik diesel ke gas," ungkap Arifin, di Jakarta, Rabu (15/7/2020).
Diantara beberapa kebijakan itu, menurut dia, yang paling signifikan yaitu implementasi penyesuaian harga gas bumi untuk industri tertentu agar dapat meningkatkan daya saing dan meningkatkan perekonomian nasional.
Hal itu, kata Arifin, sesuai dengan amanah Peraturan Presiden (Perpres) nomor 40 Tahun 2016 tentang penetapan harga gas bumi, baik untuk industri maupun untuk Perusahaan Listrik Negara (PLN) telah dilaksanakan.
Baca juga: Pagu Inisiatif Kementerian ESDM Rp 6,84 Triliun, Menteri Arifin: Untuk Kepentingan Rakyat
"Penyesuaian harga gas bumi ini akan memberikan dampak positif bagi perekonomian nasional," ungkap Arifin seperti dalam keterangan tertulisnya.
Arifin menambahkan, saat ini terdapat terdapat 197 pengguna gas bumi yang menikmati penyesuaian harga gas bumi menjadi 6 dollar AS per Millions British Thermal Units (MMBTU).
"Pengguna gas bumi tersebut dari perusahaan yang bergerak di industri pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca, dan industri sarung tangan karet," sambung Arifin.
Tak hanya itu, ia mengatakan, penurunan harga gas tersebut juga diterapkan untuk sektor kelistrikan.
Baca juga: Tanggulangi Covid-19, Kementerian ESDM Realokasi Anggaran Rp 3,46 Triliun
"Kebijakan ini dilakukan karena menyediakan listrik yang terjangkau bagi masyarakat juga mendukung pertumbuhan industri," imbuhnya.
Meski demikian, ia menilai, kebijakan tersebut tidak akan mengurangi besaran penerimaan kontraktor migas dan tidak menambah beban keuangan negara.
Sebagai informasi, hingga akhir Juni lalu, total volume gas bumi yang telah mengalami penyesuaian harga, baik untuk industri tertentu maupun untuk kelistrikan mencapai 1.223,03 billion british thermal unit per day (BBTUD).
Sementara itu, Arifin mengungkapkan, pengelolaan mineral dan batubara (minerba) juga memasuki era baru usai terbitnya UU Nomor 3 Tahun 2020 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Minerba.
"Selain kepastian divestasi 51 persen, hilirisasi mineral guna meningkatkan nilai tambah dan prioritas penawaran area tambang bagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN), UU ini digadang-gadang menjawab tantangan kelestarian lingkungan," jelas Arifin.
Kemudian, ia mengatakan, sanksi akan diberikan jika pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan IUP Khusus (IUPK) yang izin usahanya dicabut atau berakhir tidak melaksanakan reklamasi atau pascatambang.
Tak hanya itu, ia mengatakan, sanksi juga berlaku bagi IUP dan IUPK yang tidak menempatkan dana jaminan reklamasi atau pascatambang.
Baca juga: Kebijakan Kementerian ESDM soal Perubahan KK Jadi IUPK Dinilai Salahi Aturan
"Hukumannya dapat dipidana paling lama lima tahun penjara dan denda paling banyak Rp 100 miliar," ujar Arifin.
Bukan hanya sanksi pidana, Arifin mengatakan, pemegang IUP dan IUPK dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pembayaran dana dalam rangka pelaksanaan kewajiban reklamasi atau pascatambang yang menjadi kewajibannya.
"Dengan adanya sanksi ini, harapannya, tidak ada lagi lubang-lubang bekas tambang yang terbengkalai, pencemaran lingkungan bisa dihindarkan," tuturnya.
Menurut dia, saat ini, aturan pendukung UU Minerba berupa Peraturan Pemerintah (PP) tengah dibahas dengan melibatkan Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan pemerintah daerah.
Baca juga: Tak Terima Dihadiri Staf Ahli, Banggar DPR Tunda Rapat dengan Kementerian ESDM
Berdasarkan informasi, Arifin mengaku, rancangan PP tersebut juga akan dibahas di berbagai forum dengan melibatkan akademisi, praktisi hingga asosiasi.
"UU Minerba ini telah mengakomodir berbagai pihak dan masukan untuk memberikan kepastian usaha, investasi dan peningkatan manfaat yang sebesar-besarnya bagi negara," tegas Arifin kembali.
Di sisi lain, Arifin menilai, pemanfaatan energi bersih, khususnya untuk pembangkit listrik akan terus ditingkatkan.
"Ditargetkan pembangkit listrik berbahan bakar diesel yang dikonversi menjadi gas bumi totalnya mencapai kapasitas sekitar 1,7 Gigawatt di 52 lokasi," ujarnya.
Arifin juga tengah menugaskan PLN untuk melaksanakan kegiatan gasifikasi pembangkit tenaga listrik dan pembelian Liquefied Natural Gas (LNG) dari Pertamina dalam rangka konversi penggunaan diesel dengan LNG .
"Pemerintah menargetkan pula untuk mengganti semua pembangkit listrik tenaga diesel dalam tiga tahun ke depan," tuturnya.
Selain itu, ia pun menugaskan Pertamina untuk melaksanakan penyediaan pasokan dan pembangunan infrastruktur LNG dalam penyediaan tenaga listrik oleh PLN pada setiap pembangkit listrik.
Baca juga: Penuhi Kebutuhan Gas Pembangkit Listrik, PGN Bangun 8 Klaster LNG
"Pertamina wajib menyediakan harga gas hasil regasifikasi LNG di plant gate yang akan menghasilkan Biaya Pokok Penyediaan Tenaga Listrik lebih rendah dibandingkan menggunakan diesel,"
Menurut Arifin, diperkirakan, total penghematan dari konversi tersebut sekitar Rp 3 triliun per tahun.
Ia mengatakan, hal ini dilakukan mengingat gas bumi menjadi salah satu tulang punggung energi Indonesia.
"Kebutuhan gas di dalam negeri akan bertambah dan pemanfaatannya harus dialokasikan semaksimal mungkin," tegasnya.
Pada kesempatan yang sama, Arifin mengungkapkan, saat ini pemerintah sedang mempersiapkan peraturan terkait Feed in Tarif atau pembayaran energi terbarukan.
Menurut dia, peraturan tersebut diterapkan guna mencapai target dan mendorong investasi energi terbarukan.
"Ini komitmen pemerintah dalam menerapkan penggunaan energi baru terbarukan (EBT), harus memperluas pemanfaatan dan mendorong investasi,"imbuhnya.
Ia menilai, peraturan terkait harga energi terbarukan yang lebih menarik agar segera diterbitkan supaya ada akselerasi untuk energi terbarukan.
Baca juga: Pengusaha Dukung Pemerintah Perbaiki Harga Energi Terbarukan
Untuk hal tersebut, Arifin memaparkan, sebelumnya pada akhir Februari 2020, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 4 tahun 2020 tentang perubahan kebijakan pemanfaatan EBT untuk penyediaan tenaga listrik.
"Permen tersebut mengatur proses pembelian listrik EBT dengan penunjukan langsung bersyarat, skema kerjasama dapat disesuaikan menjadi build, own, operate (BOO)," sambungnya.
Selain itu, ia mengatakan, Permen tersebut mengatur pula tentang pengaturan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) waduk atau irigasi yang dibangun Kementerain Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
"Termasuk juga mengatur tentang penugasan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah Kota, dan penugasan pembelian listrik kepada PLN untuk pembangkit listrik EBT yang pendanaannya dari hibah," imbuhnya.
Baca juga: Akselerasi EBT di Era New Normal, Bisa Hasilkan 9.000 MW Pembangkit EBT pada 2024
Arifin menuturkan, langkah itu diambil mengingat Indonesia telah menetapkan target 23 persen pemanfaatan energi terbarukan dalam bauran energi pembangkit pada tahun 2025.
"Kebijakan ini dikombinasikan juga dengan komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi hingga 29 pada tahun 2030," ujarnya.