KOMPAS.com – Direktur Panas Bumi Ida Nuryatin Finahari mengatakan, pemanfaatan panas bumi bersifat ramah lingkungan dan tidak bergantung pada bahan bakar.
“Menurut International Energy Agency (IEA), emisi CO2 panas bumi hanya sekitar 75 gram/kWh. Sementara itu, emisi CO2 BBM sekitar 772 gram/kWh, dan PLT Batubara sebesar 995 gram/kWh,” kata Ida, seperti dalam keterangan tertulisnya.
Hal tersebut dikatakan Ida, saat menjadi panelis dalam webinar Pengembangan Energi Panas Bumi - Tantangan dan Terobosan ke Depan, yang diselenggarakan Institute for Natural Resource, Energy and Environmental Management, Kamis (11/6/2020),
Ida melanjutkan, panas bumi juga berperan penting dalam pengembangan infrastruktur daerah dan perekonomian wilayah sekitar.
Baca juga: Ini Potensi Panas Bumi di Papandayan dan Kamojang yang Jadi Alasan Perubahan Status Cagar Alam
“ Panas bumi adanya di daerah-daerah dan di gunung-gunung. Sehingga apabila ada proyek pengembangan panas bumi, maka di daerah tersebut juga ada pengembangan infrastruktur. Dengan demikian, ekonominya ikut berkembang,” kata Ida.
Atas kelebihan dari panas bumi tersebut, pemerintah menargetkan pengembangan panas bumi mencapai 8.007,7 Megawatt (MW) hingga satu dasawarsa ke depan (2020-2030).
Indonesia sendiri memiliki potensi panas bumi sebesar 23,9 Gigawatt (GW), yang pada 2025 diharapkan mampu mendongkrak realisasi bauran Energi Baru dan Terbarukan (EBT) sebesar 23 persen.
Meski potensi panas bumi Indonesia sangat besar, Ida mengatakan, secara nasional pemanfaatan panas bumi baru sebesar 8 persen atau sekitar 2.130,7 MW.
Baca juga: PLTP Kamojang, Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Pertama di Indonesia
Angka tersebut setara dengan pemakaian BBM domestik sebesar 32.000 Barrel Oil Equivalent (BOE) per hari, 92.000 BOE per hari minyak mentah, atau sekitar 81.200 BOE per hari BBM domestik pada 2025 jika target Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) sebesar 6.310 MW tercapai.
Artinya, dengan kapasitas 2.130,7 MW yang terpasang saat ini, masih diperlukan sekitar 177 proyek pengembangan panas bumi dengan kapasitas total sekitar 5.877 MW hingga tahun 2030.
Namun, pengembangan panas bumi memiliki tantangan-tantangan tersendiri. Salah satunya, pengembangan panas bumi masih memerlukan insentif tambahan untuk mencapai kelayakan proyek di tengah tingginya risiko eksplorasi dan keterbatasan akses infrastruktur ke lokasi pengembangan.
Lokasi potensi panas bumi yang berada di gunung-gunung, hutan lindung, dan hutan konservasi dengan persyaratan ketat juga menjadi tantangan.
Baca juga: Panas Bumi di Rantau Dedap Akan Sumbang Penerimaan Negara 106,87 Juta Dollar AS
Terkait hal tersebut, Ida menegaskan, Badan Usaha Pengembang Panas Bumi berkomitmen menjaga konservasi hutan-hutan di sekitar potensi panas bumi agar keberlangsungan sumber air dan makhluk hidup di dalamnya tetap terjaga.
“Tentunya, terdapat beberapa tantangan pengembangan panas bumi yang harus kita upayakan bersama solusinya,” kata Ida.
Pemerintah sendiri telah menyiapkan beberapa strategi untuk menghadapi tantangan-tantangan yang ada, dan mempercepat pengembangan panas bumi, antara lain:
1. Menyiapkan skema insentif atau pengaturan tarif yang mempertimbangkan keekonomian proyek PLTP.
2. Melakukan eksplorasi panas bumi hingga pengeboran dalam rangka peningkatan kualitas data wilayah panas bumi yang akan ditawarkan kepada badan usaha.
3. Sinergi BUMN dalam pengembangan panas bumi.
4. Optimalisasi sumber daya panas bumi pada Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) yang telah berproduksi dengan pengembangan atau ekspansi, dan pengembangan pembangkit skala kecil.
5. Mengembangkan sumber daya panas bumi di wilayah Indonesia bagian Timur.
6. Penciptaan demand pada daerah yang memiliki sumber daya panas bumi tinggi namun demand-nya rendah.
7. Sinergi dengan masyarakat dan pemerintah daerah untuk mengelola isu sosial atau resistensi dalam pengembangan panas bumi.
8. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan proyek panas bumi secara nasional, dengan melibatkan Badan Geologi, DJ EBTKE, DJ Ketenagalistrikan (KESDM), KLHK, Kemenkeu, Bappenas, Kemen Perindustrian, BKPM, Pemda, dan pihak terkait lainnya.
9. Join study dan knowledge sharing antar-stakeholders dalam pengembangan panas bumi.
“Pemerintah mengusulkan strategi tersebut dituangkan dalam Perpres Tarif PLT EBT,” kata Ida.