KOMPAS.com - Infrastruktur menjadi fokus Pemerintahan Jokowi-JK saat ini. Hal itu tecermin melalui jumlah anggaran pembangunan infrastruktur pada anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
Dari tahun ke tahun, anggaran infrastruktur terus meningkat, mulai Rp 154,7 triliun pada 2014 menjadi Rp 269,1 triliun pada 2016 dan mencapai Rp 401,1 triliun pada APBN-P 2017.
Tahun depan, anggaran infrastruktur kembali meningkat menjadi sedikitnya Rp 410 triliun, dan digunakan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke.
Sebanyak 865 kilometer jalan baru, 25 kilometer jalan tol, 8.695 meter jembatan, 620 kilometer jalur kereta, 8 bandar udara, dan lain sebagainya bakal dibangun untuk kemakmuran Tanah Air.
Proyek infrastruktur yang mangkrak pun dikebut agar manfaatnya dapat dirasakan masyarakat. Sebut misalnya, Tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu atau Becakayu. Setelah pembangunannya terhenti selama dua dekade, tol tersebut akhirnya beroperasi pada November ini.
Tiang-tiang yang sebelumnya terbengkalai tak lagi terlihat sejak PT Waskita Toll Road mengakuisisi PT Kresna Kusuma Dyandra Marga dan memulai pengerjaan jalan tol pada awal 2015. Sejak itulah pembangunan jalan tol yang terbengkalai itu kembali dilakukan.
Hadirnya Tol Becakayu bukan saja dapat menjadi alternatif masyarakat menuju Jakarta atau Bekasi, melainkan juga turut menambah jaringan jalan tol di Jabodetabek. Tol juga segera tersambung dengan Jalan Tol Wiyoto Wiyono dan Jakarta-Cikampek.
Bahkan, pada awal 2019 nanti diperkirakan MRT sudah dapat dinikmati warga Jakarta. Sebuah kebanggaan bersama bahwa MRT pertama di Indonesia itu segera terwujud.
Lebih dari itu, geliat pembangunan infrastruktur juga membuat citra Indonesia makin bersinar di kancah internasional.
Menurut laporan Global Competitiveness Index 2017-2018 yang dirilis World Economic Forum pada September lalu, daya saing Indonesia meningkat dari peringkat ke-41 pada 2016 menjadi ke-36 pada tahun ini. Infrastruktur menjadi salah satu tolok ukur peningkatan daya saing tersebut.
Namun, meski terjadi peningkatan, sektor infrastruktur di Tanah Air masih perlu dipacu. Masih menurut laporan tersebut, kualitas infrastruktur Indonesia ada di peringkat ke-52 dari 137 negara, atau masih tertinggal dibandingkan negara tetangga. Sebut misalnya Singapura yang berada di peringkat ke-2 atau Malaysia di urutan ke-22.
Kian inovatif
Dalam rangka menggenjot pembangunan infrastruktur menjadi lebih masif, pemerintah terus melakukan inovasi untuk merancang skema pembiayaan yang lebih luwes. Inovasi itu adalah dengan tidak hanya mengandalkan kantong APBN untuk membangun infrastruktur.
Maka, selain badan usaha milik negara (BUMN), pihak swasta pun diajak terlibat aktif mendanai infrastruktur. Bahu-membahu itu diharapkan mempercepat pembangunan sehingga dampak kehadiran infrastruktur bisa segera dirasakan publik.
Hasil studi Dana Moneter Internasional (2014) menunjukkan, kenaikan investasi infrastruktur publik akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, baik jangka pendek maupun menengah.
Menurut Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Robert Pakpahan, pembiayaan inovatif diperlukan untuk menggenjot infrastruktur.
Bekerja sama dengan swasta atau public private partnership dapat menjadi alternatif selain pembiayaan APBN dan penugasan terhadap BUMN. Dengan begitu, pemerintah bisa lebih fokus pada pengembangan proyek infrastruktur yang kurang diminati investor, misalnya proyek air minum dan irigasi.
"Saat ini pun sudah ada sejumlah proyek pemerintah yang bekerja sama dengan swasta, seperti Palapa Ring dan pembangkit listrik di Batam," ujar Pakpahan pada diskusi Forum Merdeka Barat 9 bertajuk "Amankah Pembiayaan Infrastruktur Negara?" Jumat (17/11/2017) di Jakarta.
Terkait beragamnya skema pembiayaan, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan, hal tersebut baik untuk mempercepat konektivitas transportasi Tanah Air.
Budi menuturkan, kebutuhan anggaran sektor transportasi setiap tahunnya dapat mencapai Rp 1.500 triliun. Dari jumlah tersebut, pembiayaan dari APBN per tahun sekitar Rp 250 triliun.
"Ada gap antara kebutuhan dan anggaran yang ada sehingga diperlukan kerja sama dengan swasta," ujarnya.
Budi melanjutkan, Kementerian Perhubungan senantiasa mendorong kerja sama BUMN dan swasta dalam mengelola aset negara di wilayah kerja Kementerian Perhubungan, seperti bandara dan pelabuhan. Kerja sama itu untuk meningkatkan pelayanan, daya saing ekonomi, dan partisipasi modal untuk mengembangkan aset.
Meski begitu, pemerintah memiliki tiga klasifikasi proyek infrastruktur sebelum melakukan kerja sama dengan swasta. Pertama, jika suatu proyek kurang layak secara ekonomi (feasible), maka akan dibangun menggunakan APBN murni.
Klasifikasi kedua adalah jika proyek di antara layak dan tidak. Untuk kategori ini proyek pembangunan akan didanai dengan cara kerja sama operasi (KSO) antara pemerintah daerah atau BUMN dengan swasta.
Adapun yang terakhir adalah jika proyek itu berpotensi menguntungkan secara ekonomi, yang mana proyek tersebut bisa dikerjakan oleh swasta. Tentunya, untuk pengelolaan aset tersebut ada jaminan bagi swasta dari pemerintah.
Sejauh ini, lanjut Budi, ada 10 bandara dan 20 pelabuhan yang pengelolaannya bakal ditawarkan pada swasta. Tentunya, bandara dan pelabuhan yang ditawarkan pengelolaannya itu berpotensi menguntungkan secara ekonomi.
Bandara itu antara lain Labuan Bajo, Sentani, Radin Inten, Tarakan, Palu, Sabang, Sibolga, dan Bengkulu. Sementara itu, pelabuhan tersebut antara lain Bitung, Ternate, Manokwari, Kendari, dan Biak.
Kerja sama itu bakal menggunakan skema pengelolaan aset milik negara. Adapun jangka waktu kerja sama operasional terbatas maksimal 30 tahun. Selain itu, semua aset juga tetap dikuasai negara.
Dari kerja sama dengan swasta itu, imbuh Budi, anggaran negara bahkan dapat dihemat hingga Rp 1 triliun. Anggaran itu tentunya dapat dialihkan untuk hal-hal produktif lain, yakni membangun infrastruktur di daerah terluar, tertinggal, terdepan (3T).
Pada forum yang sama, Direktur Utama PT Jasa Marga (Persero) Tbk Desi Arryani menuturkan, pembiayaan swasta baik untuk mempercepat pengoperasian jalan tol.
"Jasa Marga memiliki konsesi 1.260 kilometer jalan tol, dan yang telah beroperasi tahun lalu sekitar 593 kilometer. Masih banyak kilometer mesti dikejar dan diselesaikan," katanya.
Dalam kurun waktu 3 tahun, yaitu 2017-2019, Jasa Marga juga harus mengoperasikan 667 kilometer jalan baru dengan target 200 kilometer per tahunnya. Sebagai korporasi Jasa Marga memiliki keterbatasan modal dan utang. Mau tak mau, Jasa Marga membutuhkan sumber pundi-pundi baru untuk mengakselerasi pembangunan tol itu.
Dengan ekuitas Rp 16,3 triliun, Jasa Marga juga mesti berhati-hati menentukan jumlah pinjamannya. Pasalnya, Jasa Marga adalah perusahaan terbuka, yang sewaktu-waktu pemegang sahamnya dapat khawatir saat menilai pinjaman terlalu tinggi.
"Jadi kami putuskan melakukan sekuritisasi. Kami cari mana nih skema yang tidak berbenturan dengan regulasi," kata Desi.
Artinya, sekuritisasi aset negara berupa jalan tol bukanlah penjualan aset, namun lebih kepada kerjasama pembiayaan proyek.
Menurut Desi, selama ini Jasa Marga memiliki historis laporan keuangan yang stabil sehingga kebijakan sekuritasi pendapatan masa depan menjadi hal logis. Calon investor pun yakin terhadap reputasinya.
Pada tahap pertama sekuritisasi, Jasa Marga telah melepas ruas Tol Jakarta-Bogor-Ciawi (Jagorawi) dengan jangka waktu 5 tahun.
"Hasilnya kami bisa dapat sampai Rp 2 triliun. Ke depannya mungkin akan sekuritisasi lagi, karena ini kan baru awal, istilahnya tes pasar," ujar Desi.
Desi menambahkan, selain kerja sama dengan swasta, Jasa Marga juga membuat anak usaha lebih mandiri mencari pendanaan. Misalnya, dengan menjual obligasi berbasis proyek. Hal itu sebagaimana telah dilakukan pada ruas Tol JORR W2 (Meruya-Ulujami).
"Sekuritisasi aset itu hanya menjual future income, bukan menjual aset. Aset-aset yang disekuritisasi Jasa Marga adalah jalan-jalan tol yang income-nya sudah stabil selama bertahun-tahun sehingga bisa mendapat kepercayaan investor," tambah Desi.
Melihat fakta itu, pembangunan infrastruktur tentunya tak dapat dilakukan sendiri oleh pemerintah, tetapi butuh kerja sama dengan pihak lain, seperti swasta.
Muara dari semua itu adalah semua lapisan masyarakat bisa merasakan hasil dari infrastruktur yang terbangun. Keadilan sosial pun niscaya terwujud merata bagi segenap rakyat, dari ujung barat hingga timur di Indonesia.