KOMPAS.com - Dalam The Copenhagen Consensus 2012, para ekonom terkenal dunia telah mengidentifikasi cara paling cerdas mengalokasikan uang untuk menghadapi 10 tantangan utama dunia yaitu dengan melakukan investasi untuk perbaikan status gizi penduduk.
Mereka percaya, dengan berinvestasi 1 dollar AS pada gizi akan dapat menghasilkan uang kembali sebesar 30 dollar AS bagi upaya peningkatan kesehatan, pendidikan, dan produktivitas ekonomi.
Deputi bidang Koordinasi Peningkatan Kesehatan Kemenko PMK Sigit Priohutomo mengatakan, investasi untuk perbaikan gizi masyarakat harus dilakukan multisektoral.
Pemerintah melalui Perpres No.42/2013 tentang Percepatan Perbaikan Gizi sejauh ini telah mengatur langkah sinergis yang dapat dijalankan untuk investasi gizi itu.
Baca: Optimisme Pemerintah Atasi Stunting pada Anak
Koordinasi dan sinkronisasi percepatan perbaikan gizi terutama pada 1000 hari pertama kehidupan (HPK)," kata Sigit di kantor Kemenko PMK, Senin (2/10/2017).
Investasi gizi dalam pembangunan kesehatan amat penting, sebab gizi dapat membantu memutus lingkaran kemiskinan dan meningkatkan produk domestik bruto (PDB) negara sebesar 2 hingga 3 persen per tahun.
Saat ini, kondisi stunting (bertubuh pendek) pada balita Indonesia terjadi secara luas tetapi dengan disparitas yang tinggi. Pemerintah menetapkan 100 kabupaten prioritas untuk pengurangan angka stunting. Selanjutnya, ada 200 kabupaten lagi yang akan ditangani.
Stunting tertinggi terdapat di Sulawesi Tengah dengan jumlah mencapai 16,9 persen dan terendah ada di Sumatera Utara dengan 7,2 persen. Secara nasional, stunting rata-rata terjadi hingga 10,2 persen.
Baca: Lima Langkah Pemerintah Atasi Ketimpangan Sosial
Selain itu, ada juga kejadian wasting (bertubuh kurus) yang secara nasional mencapai angka 12,1 persen. Ssementara, saat hamil banyak ibu hamil di Indonesia yang mengalami anemia dengan angka yang mencapai 37,1 persen.
Kementerian PPN/Bappenas mencatat, Indonesia termasuk ke dalam 17 negara yang mengalami beban ganda permasalahan gizi, berdasarkan Global Nutrition Report pada 2014.
Berdasarkan data tersebut 9 juta dari 159 juta anak stunting di seluruh dunia, tinggal di Indonesia.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengatakan, stunting menyebar di seluruh wilayah dan lintas kelompok pendapatan.
“Intervensi gizi baik spesifik maupun sensitif menjadi kerangka penanganan stunting,” katanya saat diskusi Forum Merdeka Barat 9 di kantor Kementerian Kominfo, Jumat (8/9/2017) lalu.
Baca juga: Pembangunan yang Merata, Inilah yang Mempersatukan Indonesia!
Prevalensi stunting di Indonesia berdasarkan riset kesehatan dasar (Riskesdas) mencapai 37,2 persen.
Menurut dia, besarnya angka stunting merupakan masalah yang sangat serius. Sebab, angka itu jauh di atas batas ambang yang diperkenankan di setiap negara yakni sebesar 20 persen.
Tercatat 15 provinsi dengan angka stunting di atas 40 persen lima provinsi dengan angka stunting kurang dari 30 persen, dan tidak ada provinsi dengan angka stunting yang kurang dari 20 persen.
Menurut Sigit, faktor utama tingginya masalah stunting di Indonesia salah satunya adalah buruknya asupan gizi sejak janin masih dalam kandungan (masa hamil), baru lahir, sampai anak berusia dua tahun.
Ia menjelaskan, kekurangan gizi pada dua tahun pertama kehidupan dapat menyebabkan kerusakan otak yang tidak dapat lagi diperbaiki. Investasi gizi pada 1000 hari pertama kehidupan merupakan kewajiban yang tak bisa ditawar.
“Fokus pada 1000 hari pertama kehidupan, yang dimulai saat kehamilan hingga anak berusia dua tahun, merupakan periode yang sangat penting dalam pencegahan stunting,” katanya.
Selain itu, kurang gizi juga dapat menyebabkan kemiskinan. Pertumbuhan otak anak yang kurang gizi tidak akan optimal sehingga akan berpengaruh pada kecerdasannya di masa depan. Dengan demikian, peluang kerja dan mendapatkan penghasilan lebih bakal lebih kecil pada anak stunting.
“Di dalam penelitian, pendapatan anak stunting dan anak normal ketika dewasa nanti akan berbeda 20 persen,” katanya.
Target pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) adalah menurunkan prevalensi stunting dari status awal 32,9 persen turun menjadi 28 persen pada tahun 2019.
Berdasarkan data monitoring dan evaluasi Kementerian Kesehatan 2016, prevalensi stunting diperkirakan berada pada 27,5 persen. Artinya, kebijakan pemerintah dalam penanganan stunting sudah selaras dengan target RPJMN. “Sudah on the track,” kata Sigit.
Sinergi program kementerian/lembaga yang secara regular telah dilaksanakan ialah, peningkatan derajat kesehatan ibu dan anak.
Selain itu, pemerintah terus melakukan sosialisai dan edukasi untuk ASI ekslusif, 4 Sehat 5 Sempurna, dan pernikahan di atas 19 tahun untuk perempuan. Program lainnya yakni penguatan pelayanan kesehatan dasar berkualitas, pembangunan infrastruktur air minum dan sanitasi.