KOMPAS.com – Visi Indonesia Emas 2045 bertumpu pada kualitas sumber daya manusia (SDM) yang unggul dan berdaya saing.
Namun, di era hiperkoneksi saat ini, muncul pertanyaan besar yang menentukan arah bangsa: apakah teknologi digital sedang membentuk “ generasi emas” yang cerdas dan berdaya, atau justru menciptakan “generasi cemas” yang rentan terhadap adiksi, eksploitasi, dan kerusakan moral?
Pemerintah merespons tantangan dilematis itu dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak ( PP Tunas).
Regulasi yang mulai berlaku pada 1 April 2025 ini bukan sekadar aturan teknis, melainkan peta jalan kritis untuk menyelamatkan demografi digital Indonesia.
PP Tunas lahir dari keprihatinan pemerintah terhadap lonjakan ancaman di dunia maya, khususnya bagi anak di bawah 18 tahun.
Baca juga: Lindungi Anak di Internet, Pemerintah Gandeng Platform Digital selain Sahkan PP Tunas
Salah satu ancaman serius di dunia maya adalah konten pornografi. Laporan dari National Center For Missing and Exploited Children (NCMEC) Tahun 2024 menyebutkan, terdapat 5.566.015 konten kasus pornografi anak di Indonesia pada periode 2021-2024.
Selain itu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat 89 persen anak Indonesia mengakses internet rata-rata 5,4 jam per hari, yang membuat mereka semakin rentan terhadap konten negatif.
Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid menegaskan, PP Tunas adalah bukti keseriusan pemerintah melindungi anak-anak dari kejahatan di ruang digital, sehingga tetap diterbitkan meski mendapat penolakan dari sejumlah platform digital.
"Bagi platform digital, kita adalah pasar. Karena itu, tentu ada reaksi ketika pasarnya dipotong. Namun, alhamdulillah karena kepemimpinan Bapak Presiden (Prabowo Subianto) yang teguh, beliau menyampaikan bahwa ini memang sudah harus jalan seperti itu. Kita harus melindungi anak-anak kita," ujarnya melansir komdigi.go.id, Minggu (9/11/2025).
Baca juga: Menkomdigi Ajak Orangtua Lindungi Anak dari Ancaman Dunia Digital Lewat Microsite PP Tunas
PP Tunas juga diharapkan dapat melindungi anak dari paparan konten yang mendorong kekerasan fisik, psikologis, atau perundungan siber (cyberbullying).
Meutya mengatakan, konten negatif di media sosial dapat membawa dampak buruk bagi perkembangan emosional dan sosial anak.
"Rata-rata anak-anak yang terpapar hal-hal yang negatif itu menjadi cenderung mudah marah, emosional, dan sebagainya," tuturnya melansir Kompas.com, Kamis (20/11/2025).
Selain itu, PP Tunas ditujukan untuk melindungi kesehatan mental dan psikologis anak serta menjaga keamanan data pribadi dan privasi mereka dari potensi penyalahgunaan, seperti penipuan atau identitas palsu.
Oleh karena itu, PP Tunas mewajibkan Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) melakukan klasifikasi risiko berdasarkan potensi paparan konten tidak layak, keamanan data pribadi, risiko kecanduan, hingga dampak kesehatan mental.
Baca juga: Implementasi PP Tunas, Menkomdigi: Kami Beri Waktu Platform Perbaiki Fitur agar Ramah Anak
Platform juga harus mengatur pembuatan akun anak dengan klasifikasi usia yang jelas dan melibatkan persetujuan serta pengawasan orangtua.
Meskipun menjadi langkah maju dalam perlindungan anak dari ancaman buruk dunia maya, PP Tunas turut memunculkan sejumlah catatan kritis dari akademisi hingga kelompok masyarakat sipil.
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Surabaya Listyo Yuwanto menilai pemerintah kerap menghadapi tantangan dalam implementasi aturan, termasuk PP Tunas.
Dia menekankan, maraknya konten kekerasan yang viral di media sosial menunjukkan lemahnya supervisi dan pengawasan.
Di sisi lain, menurut Listyo, meskipun pemerintah melakukan pemblokiran, anak-anak tetap dapat mengakses konten tersebut melalui celah-celah aturan dan teknologi, seperti VPN.
Baca juga: Platform Media Sosial Diberi Waktu 2 Tahun Implementasikan PP Tunas
“Generasi Z sangat ingin tahu dan cepat dalam mencari cara untuk mendapatkan apa yang mereka cari,” ujarnya melansir govinsider.asia, Selasa (6/5/2025).
Listyo menegaskan, pemerintah perlu menggelar evaluasi rutin terhadap peraturan yang telah ada, bukan hanya bertindak ketika kasus sudah terjadi.
ECPAT Indonesia, organisasi global yang bekerja menentang eksploitasi seksual anak, juga menyoroti pentingnya implementasi di lapangan.
Koordinator Nasional ECPAT Indonesia Andy Ardian menekankan pentingnya kolaborasi efektif antarpemangku kepentingan.
Dia menyebutkan, meskipun PP Tunas menitikberatkan peran PSE dalam perlindungan anak, dukungan pemangku kepentingan lainnya tetap diperlukan.
Baca juga: Komdigi Belum Sanksi Platform yang Tak Patuhi PP Tunas, Masih Sosialisasi
”PSE saja yang bergerak tanpa dukungan dan kolaborasi dari stakeholder lainnya tentu akan sia-sia,” ujar Andy melansir Kompas.id, Jumat (8/7/2025).
Sementara itu, organisasi masyarakat sipil SAFEnet yang memperjuangkan ruang internet aman menilai PP Tunas penting, tetapi pembatasan akses yang ketat dan berlebihan bisa menghambat hak anak untuk belajar, berekspresi, atau bereksplorasi secara sehat di dunia digital.
Direktur Eksekutif SAFEnet Nenden Sekar Arum mengatakan, jika platform diminta memantau pengguna muda secara ketat, ada risiko mereka menerapkan sistem pelacakan yang invasif.
"Ini bisa mengarah ke praktik pengumpulan data berlebihan, yang sebenarnya bertentangan dengan semangat perlindungan privasi dalam peraturan ini sendiri," katanya melansir Kompas.com, Sabtu (29/3/2025).
Nenden juga menyoroti sanksi tegas yang melanggar aturan PP Tunas. Di sisi lain, dia mempertanyakan mekanisme pengawasan yang dilakukan pemerintah.
Baca juga: PP Tunas Terbit, Ruang Gerak Anak di Medsos Kini Diatur
“Apakah pemerintah punya mekanisme yang efektif untuk memastikan platform benar-benar patuh, atau justru aturan ini hanya akan membebani platform tanpa ada penerapan yang jelas?" jelas Nenden.
Dia pun mendorong pemerintah memberikan kejelasan terkait mekanisme pengawasan sehingga sanksi yang diberikan proporsional.
PP Tunas merupakan langkah awal perlindungan anak di ruang digital, tetapi implementasinya memerlukan kolaborasi dan sinergi dari semua pihak, mulai dari platform digital, lembaga pendidikan, komunitas, hingga keluarga.
Dalam hal ini, pemerintah sebagai pelaksana kebijakan dapat melakukan mitigasi dengan meminta platform menyaring konten tidak layak untuk anak dan melibatkan lembaga pendidikan untuk memberikan literasi digital, termasuk kepada keluarga.
Baca juga: Menteri PPPA Minta Developer Roblox Ikuti Aturan PP Tunas
Penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antarkementerian terkait pelaksanaan PP Tunas menjadi langkah awal yang penting.
Namun, pemerintah perlu berkomitmen menegakkan aturan teknis hingga ke daerah, memberikan pelatihan kepada aparatur negara, dan menggelar kampanye edukasi publik.
Pendekatan berlapis itu kemudian dilengkapi dengan upaya edukasi yang promotif; tindakan preventif, seperti pembatasan waktu layar (screen time), pelaporan, dan konseling; serta kuratif atau terapi untuk korban.
Analis Kebijakan dan Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Sharfina Indrayadi mengatakan, setelah ada PP Tunas, langkah berikutnya adalah mendorong kesadaran kolektif masyarakat untuk bersama-sama menjaga keamanan anak di ruang digital.
“Bersamaan dengan itu, Surat Keputusan Bersama (SKB) dan peta jalan (roadmap) perlindungan anak perlu mendapat dukungan penuh dari kementerian yang menaungi institusi pendidikan agar perlindungan bisa dilakukan secara menyeluruh,” jelasnya melansir cips-indonesia.org, Kamis (12/6/2025).
Baca juga: Implementasi PP Tunas, Menkomdigi: Kami Beri Waktu Platform Perbaiki Fitur agar Ramah Anak