Upaya Pemerintah Cegah Candu Digital: Tunggu Anak Siap Sesuai Perkembangannya

Kompas.com - 06/12/2025, 13:00 WIB
I Jalaludin S,
Mikhael Gewati

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Di tengah euforia kemajuan teknologi digital, sebuah ancaman senyap kian menguat, yakni candu digital, kondisi yang merujuk pada kecanduan terhadap ponsel, media sosial, dan berbagai layanan daring.

Secara neurologis, fenomena problematik tersebut dipicu oleh pelepasan dopamin yang intens, terjadi ketika pengguna, terutama anak-anak dan remaja, mendapatkan reward secara cepat dan terus menerus saat menjelajah internet.

Masalahnya, anak-anak belum memiliki kemampuan untuk “mengerem” sensasi itu. Ketika dipaksa berhenti, mereka mengalami mengidam (craving) yang intens, sehingga bisa bermanifestasi sebagai sifat mudah marah (irritable), pembangkangan, agresi, atau berusaha keras untuk kembali ke layar mereka.

Buku Sekilas tentang PP TUNAS, Pelindungan Anak di Ruang Digital yang dirilis Direktorat Jenderal Komunikasi Publik dan Media (DJKPM) menyatakan, sekitar 48 persen pengguna internet di Indonesia adalah anak di bawah usia 18 tahun.

Lebih mengkhawatirkan lagi, disebutkan bahwa lebih dari 80 persen anak mengakses internet setiap hari dengan rata-rata durasi tujuh jam sehari. 

Baca juga: Stop Kekerasan di Ruang Digital, Saatnya Kolaborasi untuk Masa Depan Anak Indonesia

Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2024 menyebutkan, 39,71 persen anak usia dini di Indonesia telah menggunakan telepon seluler, sedangkan 35,57 persen lainnya sudah mengakses internet. 

Sementara itu, riset UNICEF Indonesia bertema “Online Knowledge and Practice of Children in Indonesia: Baseline Study 2023” memaparkan, anak-anak usia 8–18 tahun mengaku menggunakan internet sekitar 5,4 jam per hari.

Dari riset yang sama, sekitar 50,3 persen anak mengaku pernah melihat konten dewasa (materi seksual/pornografi) di media sosial. Kemudian, 48 persen anak pernah mengalami perundungan (bullying), yang kebanyakan dilakukan dalam dunia daring.

Data tersebut menjadi materi dasar penyusunan regulasi, ditambah dengan maraknya kasus konten negatif, eksploitasi data pribadi, dan cyberbullying

Baca juga: Berakhirnya Era “Safe Harbor”, Platform Digital Terancam Sanksi Jika Tak Ramah Anak

PP Tunas: batasi akses anak di ruang digital

Untuk menghadapi ancaman digital bagi anak yang kian marak, Pemerintah Indonesia menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 (PP Tunas) tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Pelindungan Anak. 

Regulasi tersebut dirancang untuk menciptakan ruang digital aman, menangani dampak negatif, seperti konten tidak layak, kecanduan digital, dan eksploitasi data anak.

Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid menegaskan, PP Tunas merupakan bukti keseriusan pemerintah melindungi anak-anak dari kejahatan di ruang digital.

“Tunas adalah bentuk keberpihakan negara terhadap anak-anak. Kami ingin ruang digital menjadi ruang yang aman, sehat, dan mendukung tumbuh kembang anak Indonesia. Ini bukan sekadar kebijakan, tetapi ikhtiar kolektif kita semua sebagai bangsa,” ujarnya mengutip komdigi.go.id, Jumat (28/3/2025).

Fokus utama PP Tunas adalah mewajibkan penyelenggara sistem elektronik (PSE) menyaring konten berbahaya, memberikan mekanisme pelaporan yang mudah, dan memastikan remediasi yang cepat.

Baca juga: Berapa Waktu Ideal Screen Time untuk Remaja?

PP Tunas juga mengatur verifikasi usia pengguna, penerapan pengamanan teknis, dan larangan profiling data anak untuk kepentingan komersial.

Salah satu peraturan teknis tersebut mengatur verifikasi umur untuk mengakses layanan digital, termasuk media sosial, berdasarkan tingkat risiko dan kebutuhan akan persetujuan orangtua atau wali.

Sebagai contoh, usia di bawah 13 tahun hanya diperbolehkan memiliki akun pada produk dan layanan digital berisiko rendah yang dirancang khusus untuk anak-anak serta harus seizin orangtua. 

Sehubungan dengan itu, PP Tunas mewajibkan PSE memiliki mekanisme kontrol orangtua untuk memantau, membatasi akses, melindungi data pribadi anak, hingga menyediakan fitur screen time yang bisa digunakan orangtua.

Lebih dari itu, pemerintah juga meluncurkan tunasdigital.id, yaitu panduan praktis bagi orangtua untuk menjaga anak-anak di dunia maya.

Baca juga: Strategi Atur Screen Time Anak dari Psikolog, Libatkan Mereka dalam Diskusi

Platform yang juga merupakan turunan dari PP Tunas itu hadir untuk mencegah anak-anak terpapar konten negatif, eksploitasi dan pelecehan, serta mengantisipasi penggunaan gawai secara berlebihan yang dapat mengganggu kesehatan psikologis anak serta melindungi data pribadi.

Meutya menjelaskan, platform tersebut tidak hanya berisi materi teoritis, tetapi juga akan diisi dengan beragam sharing pengalaman dari para bunda, tips menjaga anak saat berselancar di ruang digital, hingga konten edukatif dari para pakar.

“Konten dari para pakar sangat penting, misalnya terkait mana sih aplikasi yang aman untuk anak, mana aplikasi yang untuk umur dewasa, mana games yang bisa dimainkan untuk anak-anak usia sekian dan mana games yang belum boleh,” jelasnya.

Menciptakan ruang aman dan ramah anak

Beberapa pengamat dan praktisi perlindungan anak menyambut positif penerbitan PP Tunas sebagai langkah maju untuk melindungi ruang digital yang aman dan ramah bagi anak.

Salah satunya adalah Ketua Forum Anak Sukowati (Forasi) Sragen, Sasa Widya. Ia menyambut baik hadirnya PP Tunas yang dapat melindungi anak-anak dan kelompok rentan di dunia maya. 

Baca juga: Mendikdasmen: Perkembangan Teknologi Menantang Masyarakat untuk Menjaga Martabat Bahasa di Ruang Digital

“Dengan adanya PP Tunas, kami merasa pemerintah semakin memperkuat langkah perlindungan anak di ruang digital. Ini sejalan dengan apa yang sudah kami lakukan selama ini,” katanya melansir Kompas.com, Rabu (15/10/2025). 

Sasa mengaku cukup sering menemukan berbagai bentuk konten negatif di dunia maya yang bisa berpotensi membahayakan anak-anak, mulai dari chat bernada seksual, ujaran kebencian, hingga promosi judi online

“Kalau ada ketemu hal begitu, tindakan yang kami sarankan ke teman-teman adalah memblokir akun tersebut. Sejauh ini belum pernah menemukan kasus ekstrem, tapi yang ringan seperti itu cukup sering,” tuturnya.

Sementara itu, Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) mengingatkan pemerintah untuk tidak berhenti pada pembuatan regulasi, tetapi juga pada pengawasan. 

Ketua LPAI Seto Mulyadi mengatakan, sanksi tegas akan memberikan efek jera bagi penyelenggara platform digital dan mendorong mereka untuk mematuhi regulasi yang telah ditetapkan.

Baca juga: Memutus Rantai Adiksi Gawai Anak, Mengawal Ruang Digital Sehat

"Platform digital yang melanggar perlu dicabut izinnya. Kami berharap pemerintah tidak hanya memberikan peringatan, tetapi juga tindakan nyata untuk memastikan bahwa anak-anak kita terlindungi dari konten yang berbahaya," tegasnya mengutip komdigi.go.id, Minggu (30/3/2025).

Terkini Lainnya
Tekan Pemalsuan Identitas, Indonesia Perlu Terapkan Teknologi Biometrik Nasional “Face Recognition

Tekan Pemalsuan Identitas, Indonesia Perlu Terapkan Teknologi Biometrik Nasional “Face Recognition

Komdigi
Registrasi Kartu SIM Berbasis “Face Recognition” Dinilai Mampu Tutup Celah Kejahatan Digital

Registrasi Kartu SIM Berbasis “Face Recognition” Dinilai Mampu Tutup Celah Kejahatan Digital

Komdigi
Indonesia Terapkan PP Tunas, Ini Kelebihannya Dibanding Regulasi Keamanan Digital Anak di Negara Lain

Indonesia Terapkan PP Tunas, Ini Kelebihannya Dibanding Regulasi Keamanan Digital Anak di Negara Lain

Komdigi
Upaya Pemerintah Cegah Candu Digital: Tunggu Anak Siap Sesuai Perkembangannya

Upaya Pemerintah Cegah Candu Digital: Tunggu Anak Siap Sesuai Perkembangannya

Komdigi
PP Tunas: Batasi Akses Anak di Ruang Digital, Lindungi dari Cyberbullying dan Paparan Konten Negatif

PP Tunas: Batasi Akses Anak di Ruang Digital, Lindungi dari Cyberbullying dan Paparan Konten Negatif

Komdigi
Stop Kekerasan di Ruang Digital, Saatnya Kolaborasi untuk Masa Depan Anak Indonesia

Stop Kekerasan di Ruang Digital, Saatnya Kolaborasi untuk Masa Depan Anak Indonesia

Komdigi
Berakhirnya Era “Safe Harbor”, Platform Digital Terancam Sanksi Jika Tak Ramah Anak

Berakhirnya Era “Safe Harbor”, Platform Digital Terancam Sanksi Jika Tak Ramah Anak

Komdigi
Kolaborasi Humas Kunci Bangun Kepercayaan Publik, Menkomdigi: Humas adalah Navigator Kebenaran di Tengah Kebisingan Digital

Kolaborasi Humas Kunci Bangun Kepercayaan Publik, Menkomdigi: Humas adalah Navigator Kebenaran di Tengah Kebisingan Digital

Komdigi
Sukses Terapkan Digitalisasi Sistem Informasi, Komdigi Raih Peringkat III di BKN Award 2025

Sukses Terapkan Digitalisasi Sistem Informasi, Komdigi Raih Peringkat III di BKN Award 2025

Komdigi
AJK 2025 Himpun 328 Karya, Menkomdigi: Jurnalis Berperan Besar Sosialisasikan PP Tunas

AJK 2025 Himpun 328 Karya, Menkomdigi: Jurnalis Berperan Besar Sosialisasikan PP Tunas

Komdigi
Arsip Digital Jadi Fondasi Transparansi, Komdigi Raih Predikat “Sangat Memuaskan” dari ANRI

Arsip Digital Jadi Fondasi Transparansi, Komdigi Raih Predikat “Sangat Memuaskan” dari ANRI

Komdigi
Menkomdigi: Pidato Presiden Prabowo di PBB, Sikap Berani Indonesia di Panggung Dunia

Menkomdigi: Pidato Presiden Prabowo di PBB, Sikap Berani Indonesia di Panggung Dunia

Komdigi
Bukan Sekadar Gerai, Ini Dampak Nyata Koperasi Desa Merah Putih 

Bukan Sekadar Gerai, Ini Dampak Nyata Koperasi Desa Merah Putih 

Komdigi
UU PDP Lindungi Data WNI dalam Kesepakatan Dagang RI-AS

UU PDP Lindungi Data WNI dalam Kesepakatan Dagang RI-AS

Komdigi
Koperasi Desa Merah Putih Bisa Apa Saja? Ini Peluang Usahanya

Koperasi Desa Merah Putih Bisa Apa Saja? Ini Peluang Usahanya

Komdigi
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com