KOMPAS.com - Tantangan ketimpangan ekonomi dalam industri musik digital semakin nyata di era ketika distribusi dan konsumsi karya tidak lagi mengenal batas negara.
Fragmentasi data, aliran royalti lintas yurisdiksi, serta pertumbuhan ekonomi streaming yang tidak merata menunjukkan perlunya perubahan mendasar dalam tata kelola global.
Menyikapi kondisi tersebut, Indonesia memperkenalkan inisiatif pembentukan instrumen hukum internasional yang bersifat mengikat dalam tata kelola royalti digital pada Sidang Standing Committee on Copyright and Related Rights (SCCR) ke-47 di Jenewa, yang berlangsung pada Senin (1/12/2025) hingga Jumat (5/12/2025).
Sebagai tindak lanjut, Pemerintah Indonesia menggelar pertemuan dengan para duta besar dan perwakilan negara untuk memperdalam dialog serta menyampaikan perkembangan dukungan internasional terhadap inisiatif tersebut. Pertemuan itu berlangsung di The Ritz-Carlton Jakarta, Mega Kuningan, Selasa (16/12/2025).
Forum tersebut menjadi momentum penting bagi Indonesia untuk memperluas pemahaman bersama mengenai urgensi instrumen global yang mampu menjawab tantangan industri kreatif di era digital.
Baca juga: Kemenkum Raih Predikat Badan Publik Informatif Selama 4 Tahun Berturut-turut
Wakil Menteri Hukum (Wamenkum) Edward Omar Sharif Hiariej menegaskan bahwa Indonesia mendorong inisiatif ini dengan semangat kolaboratif.
Menurutnya, persoalan royalti digital bukan semata isu teknis, melainkan persoalan ekonomi global yang menuntut kerja sama antarnegara.
“Kami ingin bekerja konstruktif dengan semua mitra, baik yang telah menyampaikan dukungan, yang memberikan panduan, maupun yang masih memerlukan pemahaman terhadap elemen-elemen proposal,” ujar Edward, yang akrab disapa Eddy, dalam rilis pers yang diterima Kompas.com, Rabu (17/12/2025).
Ia menyatakan bahwa tantangan ekonomi dalam industri musik digital harus dihadapi dengan dialog dan kemitraan yang terbuka.
Direktur Jenderal (Dirjen) Kekayaan Intelektual (KI) Hermansyah Siregar menyebut kerangka proposal Indonesia lahir dari kesadaran bahwa sistem yang ada saat ini belum mampu mengimbangi dinamika sektor kreatif.
Baca juga: Menkum Supratman Apresiasi Kinerja Jajaran Kemenkum Sepanjang 2025
Meskipun industri musik global terus bertumbuh, kesenjangan nilai dan distribusi royalti yang tidak adil masih terjadi dalam skala besar.
“ Proposal ini diajukan sebagai respons proaktif Indonesia untuk mengisi kekosongan regulasi global, memastikan mekanisme pembayaran yang akuntabel, adil, dan transparan bagi para kreator, sekaligus memaksimalkan potensi ekonomi dari royalti digital,” ujar Hermansyah.
Mempertegas gambaran tersebut, Kepala Badan Strategi Kebijakan Hukum Andry Indrady menyoroti ketimpangan yang semakin tajam akibat perkembangan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI).
Menurut dia, AI telah mengubah cara karya diciptakan, didistribusikan, dan dikonsumsi, sehingga risiko pencipta tersingkir oleh sistem otomatis semakin besar.
“Kesenjangan dalam ekonomi kreatif digital semakin melebar, terutama karena kecerdasan artifisial tengah membentuk ulang lanskapnya. Karena itu instrumen hukum yang mengikat bukan hanya relevan, tetapi mendesak untuk diwujudkan,” tegas Andry.
Baca juga: 4 Prodi Baru Sekolah Kedinasan Kemenkum Bakal Dibuka, Gratis dan Otomatis Jadi CPNS
Dalam kesempatan tersebut, Andry menjelaskan bahwa proposal Indonesia dirancang untuk memainkan beberapa peran strategis.
Pertama, sebagai kerangka penyelaras berbagai inisiatif global mengenai hak cipta yang sebelumnya telah diajukan di Organisasi Kekayaan Intelektual Dunia (WIPO).
Ia menjelaskan bahwa selama ini terdapat beragam upaya dari kelompok negara, seperti Group of Latin American and Caribbean Countries (GRULAC) dan African Group. Namun, belum ada fondasi tata kelola yang mampu menyatukan pendekatan tersebut.
Ia menekankan bahwa proposal Indonesia tidak bertujuan mengatur isi kontrak atau lisensi, melainkan membangun struktur informasi dan tata kelola yang lebih adil bagi semua pemangku kepentingan.
“Indonesia menawarkan kerangka transparansi dan akuntabilitas yang dapat menjadi dasar bersama, sehingga negara-negara dapat bergerak searah tanpa menghilangkan kebebasan kontraktual atau model bisnis masing-masing,” ucap Andry.
Kedua, proposal ini juga menekankan dan memperkuat peran WIPO dalam menghadapi perubahan ekosistem digital yang semakin kompleks.
Menurut Andry, instrumen dan mekanisme sukarela yang selama ini diterapkan sudah tidak memadai untuk menjawab tantangan pasar multi-teritorial, terlebih dengan pesatnya perkembangan AI.
Ia menilai, proposal Indonesia memberikan arah yang jelas mengenai bagaimana negara-negara dapat bekerja sama dalam memperkuat tata kelola serta memastikan setiap pencipta memperoleh haknya secara adil.
“WIPO membutuhkan peran koordinatif yang lebih kuat untuk memastikan interoperabilitas sistem dan konsolidasi data global. Tanpa fondasi bersama, kita tidak akan mampu melindungi pencipta secara proporsional dan transparan,” ujarnya.
Andry juga menekankan bahwa Indonesia tidak berdiri sendiri dalam perjuangan ini. Selama pembahasan di SCCR, banyak negara menyampaikan pengalaman serupa.
Baca juga: Usai Tunjuk Pj Ketum, PBNU Segera Daftarkan Kepengurusan Baru ke Kemenkum
Menurutnya, dukungan dan pengakuan dari berbagai kelompok negara menjadi bukti bahwa proposal Indonesia menjawab kebutuhan nyata komunitas internasional untuk membangun standar tata kelola royalti global yang lebih adil.
Pada kesempatan itu, pemerintah turut memperkenalkan situs resmi proposal Indonesia, yakni justandfairroyalty.dgip.go.id, sebagai sarana publikasi terbuka mengenai posisi para pemangku kepentingan dan komponen proposal yang tengah dibahas.
Peluncuran situs tersebut melengkapi proses konsultasi diplomatik yang telah berjalan, sekaligus menjadi kanal informasi bagi publik, pelaku industri kreatif, dan kalangan akademisi untuk memahami arah kebijakan Indonesia.
Sebagai informasi, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) merupakan unit eselon I di bawah Kementerian Hukum ( Kemenkum) Republik Indonesia (RI) yang bertugas merumuskan dan melaksanakan kebijakan di bidang kekayaan intelektual.
DJKI menyelenggarakan layanan pendaftaran dan perlindungan hak cipta, paten, merek, desain industri, indikasi geografis, desain tata letak sirkuit terpadu, serta rahasia dagang.
Baca juga: Komdigi: Perpres AI Sedang Diproses Kemenkum, Jadi Prioritas 2026
Melalui transformasi digital dan penguatan layanan publik, DJKI berkomitmen memberikan perlindungan hukum yang cepat, transparan, dan akuntabel bagi para pencipta, inventor, serta pelaku usaha di Indonesia.