Praktisi Kesehatan Ramai-ramai Tolak RUU Kesehatan, Kemenkes: Penolakan Hambat Kebutuhan Perlindungan Hukum yang Jelas

Kompas.com - 15/05/2023, 16:43 WIB
Inang Sh ,
A P Sari

Tim Redaksi

5 organisasi profesi tenaga kesehatan Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, berunjukrasa damai dan menyatakan sikap menolak pembahasan RUU Kesehatan Omnibus Law di kantor IDI Tasikmalaya, Jalan HZ Mustofa Kota Tasikmalaya, Senin (8/5/2023).KOMPAS.COM/IRWAN NUGRAHA 5 organisasi profesi tenaga kesehatan Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, berunjukrasa damai dan menyatakan sikap menolak pembahasan RUU Kesehatan Omnibus Law di kantor IDI Tasikmalaya, Jalan HZ Mustofa Kota Tasikmalaya, Senin (8/5/2023).

KOMPAS.com – Juru Bicara (Jubir) Kementerian Kesehatan ( Kemenkes) Mohammad Syahril menanggapi penolakan terhadap Rancangan Undang-undang (RUU) Kesehatan yang saat ini sedang dibahas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) dan pemerintah.

"Penolakan tersebut berpotensi menghambat kebutuhan terhadap perlindungan hukum yang lebih jelas dan kuat untuk dokter, perawat, bidan, apoteker, dan tenaga kesehatan (nakes) lainnya dalam memberikan pelayanan," tutur Syahril.

Sebab, kata Syahril, pasal-pasal terkait hukum yang dikhawatirkan para dokter dan nakes sudah ada di undang-undang (UU) yang berlaku saat ini.

Meski begitu, tidak ada organisasi profesi dan individu yang bersuara atau berinisiatif untuk memperbaiki UU tersebut setelah berlaku hampir 20 tahun.

Syahril mengatakan, justru DPR yang memulai inisiatif untuk memperbaiki UU yang ada, sehingga pasal-pasal terkait perlindungan hukum menjadi lebih baik.

Baca juga: Ribut-ribut Dokter Bisa Digugat di RUU Kesehatan, Kemenkes: Kenapa Tak Dari Dulu Bergerak?

“Pemerintah mendukung upaya itu. Menolak RUU akan mengembalikan pasal-pasal terkait hukum yang ada seperti dulu yang sudah terbukti membuat banyak masalah hukum bagi para dokter dan nakes,” katanya dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Senin (15/5/2023).

“Jadi, kalau memang kekhawatirannya masalah perlindungan hukum, kenapa tidak dari dulu sih organisasi profesi bergerak dan berinisiatif untuk mengubah?” imbuhnya.

Syahril menjelaskan, salah satu usulan peraturan dalam RUU yang dianggap bermasalah oleh organisasi profesi adalah situasi dokter yang dapat digugat secara pidana atau perdata meskipun sudah menjalani sidang disiplin.

Dia menyebutkan, aturan yang dipermasalahkan tersebut adalah aturan lama yang sudah berlaku dalam UU Praktik Kedokteran Nomor 29 Tahun 2004 saat ini.

Pasal 66, ayat (1) UU Praktik Kedokteran Nomor 29 Tahun 2004 menyebutkan, setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.

Baca juga: Polemik RUU Kesehatan: Didemo Ribuan Tenaga Kesehatan dan Pembelaan Pemerintah

Lebih lanjut, ayat (3) menyatakan, pengaduan tersebut tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan.

Syahril mengatakan, pasal-pasal tersebut masih dalam pembahasan DPR dan pemerintah untuk dapat diperbaiki.

Usulan baru

Lebih lanjut, Syahril mengatakan, ada beberapa usulan pasal baru terkait RUU Kesehatan di luar pasal-pasal perlindungan hukum yang sudah berlaku saat ini.

Pertama, penyelesaian sengketa di luar pengadilan. RUU Kesehatan mengedepankan pendekatan keadilan restoratif atau restorative justice dalam penyelesaian perselisihan (Pasal 322 ayat 4 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Pemerintah Antiperundungan).

Baca juga: Manfaat RUU Kesehatan: Memberi Perlindungan Hukum bagi Nakes dan Mempermudah Karier Dokter Muda

Dengan pasal baru ini, tenaga medis dan nakes dapat menghentikan pelayanan kesehatan apabila memperoleh perlakuan yang tidak sesuai dengan harkat dan martabat manusia, moral, kesusilaan, serta nilai-nilai sosial budaya, termasuk tindakan kekerasan, pelecehan dan perundungan (Pasal 282 ayat 4 DIM Pemerintah).

Perlindungan bagi peserta didik yang memberikan pelayanan kesehatan dari kekerasan fisik, mental dan perundungan juga tertuang dalam Pasal 208E ayat 1 huruf d DIM pemerintah.

Kedua, perlindungan untuk peserta didik. RUU Kesehatan menjamin hak peserta didik yang memberikan pelayanan kesehatan atas bantuan hukum ketika terjadi sengketa medis selama mengikuti proses pendidikan (Pasal 208E ayat 1 huruf a DIM Pemerintah).

Proteksi tenaga kesehatan dan tenaga medis dalam keadaan darurat. Tenaga medis dan tenaga kesehatan yang melaksanakan upaya penanggulangan kejadian luar biasa (KLB) dan wabah berhak atas perlindungan hukum dan keamanan serta jaminan kesehatan dalam melaksanakan tugas (Pasal 408 ayat 1 DIM Pemerintah).

Baca juga: Dalam Pembahasan RUU Kesehatan, Komisi IX DPR Janji Kawal Aspirasi dari Seluruh Pihak

Syahril mengatakan, DPR dan pemerintah masih membahas pasal perlindungan hukum dan mengundang masukan dari publik.

“Meminta proses pembahasan RUU Kesehatan untuk dihentikan bukanlah solusi. Apabila kepentingan utama organisasi profesi adalah perlindungan hukum, justru sekarang inilah saat yang tepat untuk melakukan perbaikan,” ujarnya.

Penolakan terhadap RUU Kesehatan

Sebelumnya, sebanyak lima organisasi profesi kesehatan pun menggelar aksi demonstrasi menolak pembahasan RUU Kesehatan di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Senin (8/5/2023).

Kelima organisasi yang berdemo tersebut, yakni Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI).

Baca juga: IDI Nilai Tahap Dengar Pendapat RUU Kesehatan Belum Sesuai

Melansir Kompas.com Senin (8/5/2023), Ketua Umum PB IDI Moh Adib Khumaidi mengatakan, aksi damai yang dilakukan sejumlah anggota organisasi profesi kesehatan merupakan bentuk keprihatinan atas proses pembahasan regulasi yang terburu-buru dan tidak memperhatikan masukan dari organisasi profesi.

Dia menuturkan, terdapat sejumlah pesan yang akan disuarakan dalam aksi damai tersebut, antara lain mengingatkan pemerintah akan banyaknya masalah kesehatan yang perlu dibenahi, meningkatkan akses dan kualitas layanan kesehatan, serta meningkatkan pemanfaatan teknologi untuk layanan di masyarakat.

Pesan lainnya adalah mendorong pemerintah memperluas pelayanan di kelompok masyarakat yang masih belum terjangkau infrastruktur serta sarana prasarana kesehatan.

"Hal-hal seperti inilah yang perlu lebih diperhatikan pemerintah dan wakil rakyat di parlemen daripada terus-menerus membuat UU baru," kata Adib.

Baca juga: DIM RUU Kesehatan: Nakes yang Lalai dan Sebabkan Kematian Paisen Dipidana 6 Tahun 8 Bulan

Bagikan artikel ini melalui
Oke