KOMPAS.com – Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar menyatakan Kemendes PDTT punya standardisasi sendiri mengenai regulasi yang akan diterbitkan.
“Intinya, regulasi apapun yang diterbitkan harus memiliki village summary atau ringkasan desa seperti saat pejabat eselon satu melapor kepada saya, itu ada executive summary atau ringkasan eksekutif,” ujar Adul.
Pernyataan itu ia sampaikan saat memberi kuliah umum sekolah Badan Usaha Milik Desa ( BUMDes) di Gedung Serbaguna Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Dewantara, Jombang, Sabtu (5/12/2020).
Abdul atau yang kerap disapa Gus Menteri menjelaskan, manfaat dari standardisasi penerbitan adalah agar aturan mudah dipahami oleh staf dan warga desa yang akan menjalankannya.
Baca juga: Kemendes PDTT Raih Predikat Kementerian yang Informatif, Begini Respon Gus Menteri
Sebab, berkaca dari pengalamannya saat menjabat Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jombang, dirinya menerima regulasi atau beleid dari Pemerintah Pusat yang begitu panjang dan terkadang justru menyulitkan.
"Kami saja di DPRD susah membaca aturan yang tebal-tebal dan banyak, apalagi masyarakat desa,” kata Gus Menteri, seperti dalam keterangan tertulisnya yang Kompas.com terima, Sabtu.
Oleh karena itu, ia meminta segala sesuatu di Kemendes harus dilengkapi dengan village summary agar mudah dipahami dan bisa dijelaskan lebih jauh pada masyarakat.
Baca juga: Wujudkan Kepedulian Kepada Penyandang Disabilitas, Kemendes PDTT Kembangkan Desa Inklusif
Dalam kesempatan tersebut, Gus Menteri turut memaparkan soal kewajiban Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) mengambil core business atau inti bisnis yang belum dipilih warga di desa tersebut atau BUMDes lain.
“Pengambilan unit usaha itu (tujuannya) agar BUMDes tidak mengganggu perputaran ekonomi warga desa. Sebaliknya, justru harus menjadi ujung tombak rebound atau peningkatan ekonomi di desa,” ujar Gus Menteri.
Hal ini, kata Gus Menteri, termasuk dalam Undang-Undang (UU) Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 pasal 117.
Adapun isinya menegaskan, jika BUMDes sebagai Badan Hukum dibentuk untuk kesejahteraan warga masyarakat.
Baca juga: Kemendes PDTT Targetkan 5.000 Desa Berkembang Jadi Mandiri
BUMDes sendiri telah dipayungi UU Cipta Kerja yang menjadi faktor utama kemajuan Badan Usaha Desa.
Sebelumnya, BUMDes terkesan dihalangi karena statusnya bukan Badan Hukum sehingga sulit untuk mengakses permodalan.
"Akhirnya, BUMDes menjadi Badan Hukum setelah lahirnya UU Cipta Kerja dan memang ini telah ditunggu,” imbuh Gus Menteri.
Selain itu, tambah dia, pihaknya ikut bergerak cepat untuk menyusun Rencana Peraturan Pemerintah (RPP) dengan mengundang Kementerian Hukum dan HAM.
Baca juga: Untuk Penanganan Covid-19, Kemendes PDTT Buat Beberapa Kebijakan
“Hal tersebut guna mendapatkan masukan, saran, dan pemikiran soal posisi BUMDes sebagai Badan Hukum," kata Gus Menteri.
Setelah itu, dilanjutkan diskusi lintas kementerian yang menyepakati posisi BUMDes setelah UU Cipta Kerja sebagai Badan Hukum Entitas Baru.
“Artinya kedudukan BUMDes setara dengan Perseroan Terbatas (PT), Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pada level Nasional dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) pada level daerah.
Baca juga: Atasi Masalah Gender, Kemendes PDTT Bersama KemenPPPA Deklarasikan Desa Ramah Perempuan
Posisi BUMDes sebagai Badan Hukum
Dalam paparan itu, Gus Menteri juga menjabarkan posisi BUMDes sebagai Badan Hukum. Ia menyatakan, hal itu tak ada hubungannya dengan Kepala Desa atau terlepas dari proses politik yang terjadi di desa.
Maka dari itu, dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) nantinya, masa kepemimpinan BUMDes tidak sama dengan Kepala Desa.
Rancangan Peraturan Pemerintah sendiri telah rampung 100 persen. Isinya adalah penegasan soal posisi BUMDes.
Salah satunya, BUMDes memiliki kesempatan membuat Unit Usaha berbadan hukum seperti PT.
Baca juga: Ketidaksetaraan Gender Jadi Alasan Kemendes Bangun Desa Ramah Perempuan
"Dalam RPP tersebut, keabsahan berdirinya BUMDes itu cukup dipayungi Peraturan Desa hasil Musyawarah Desa," kata Gus Menteri, yang juga menjabat Doktor Honoris Causa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).
Namun, kata dia, karena BUMDes perlu aturan main berskala nasional, maka dalam RPP yang disusun badan usaha ini harus mendapat registrasi dari Kemendes PDTT.
“Tujuannya, untuk menghindari sejumlah hal seperti kesamaan nama. Oleh karenanya, pencantuman nama desa menjadi sebuah keharusan,” jelas Gus Menteri.
Setelah proses registrasi di Kemendes, maka dilanjutkan kepada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) untuk didokumentasikan.
Baca juga: Tutupi Kekurangan Anggaran BLT Dana Desa, Kemendes PDTT Berkolaborasi dengan Kemensos
“Ini dilakukan karena sebagai badan hukum, BUMDes bisa membuat badan hukum baru seperti Perseroan Terbatas (PT),” tambahnya.
Hanya boleh mendirikan satu BUMDes
Gus Menteri turut menegaskan, satu desa hanya boleh mendirikan satu BUMDes. Dengan begitu, jumlahnya tidak akan melebihi jumlah desa sebanyak 74.953.
Namun, unit usaha bisa dibuat sebanyak mungkin dengan mengikuti Peraturan Undang-Undang yang berlaku.
"Makanya di RPP, kami tidak bicarakan soal pembubaran BUMDes, tetapi hanya pembekuan bagi yang bermasalah. Apabila telah diperbaiki semuanya, maka pembekuan dicabut," kata Gus Menteri.
Baca juga: Terus Berinovasi, Kemendes PDTT Raih Penghargaan dari IPB
Akan tetapi, satu desa bisa mendirikan lebih dari satu BUMDes Bersama (BUMDesma) yang didasarkan dari keputusan bersama para kepala desa.
“Bahkan, pendirian BUMDesma juga tak dibatasi zonasi dan wilayah,” tuturnya.
Turut hadir dalam kegiatan tersebut Wakil Bupati (Wabup) Jombang Sumrambah, Ketua DPRD Jombang Mas'ud Zuremi dan para peserta kuliah lainnya.
Baca juga: Tingkatkan Kesejahteraan Warga Desa, Kemendes Luncurkan Program JPS
Peserta ini terdiri dari pengelola BUMDes, Mahasiswa, dan Pendamping Desa yang mengikuti kegiatan secara online dan offline.