KOMPAS.com - Fenomena Harmful Algal Blooms (HABs) atau pasang merah merupakan peristiwa meledaknya populasi fitoplankton di perairan secara cepat dan masif.
Fenomena tersebut dapat menimbulkan berbagai masalah, seperti kematian massal organisme akuatik, penurunan kualitas perairan, dan keracunan pada manusia akibat mengonsumsi organisme akuatik yang terpapar HABs.
Untuk diketahui, frekuensi kejadian HABs di Indonesia semakin meningkat. Hal ini mengakibatkan berbagai dampak, mulai dari kerugian lingkungan, ekonomi, wisata, hingga permasalahan kesehatan masyarakat yang tidak sedikit.
Salah satu subsektor perikanan yang terdampak langsung HABs yaitu budidaya ikan. Subsektor ini mengalami kerugian akibat kematian massal ikan budidaya dalam skala besar.
Adapun kerugiannya lainnya adalah peristiwa keracunan setelah mengonsumsi seafood yang terkontaminasi racun dari plankton penyebab HABs.
Walau dampak HABs telah merugikan berbagai sektor, saat ini belum banyak upaya pencegahan dan mitigasi yang dilakukan, khususnya dalam aspek sistem peringatan dini kejadian HABs untuk meminimalisir atau mengurangi efek kerusakannya.
Mempertimbangkan hal tersebut, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM) melalui kerja sama riset antara Pusat Riset Perikanan (Pusriskan), Pusat Riset Informatika (PRI), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Future University Hakodate, Jepang, telah berhasil membuat suatu terobosan baru dalam upaya antisipasi dampak negatif dari kejadian HABs di Indonesia.
Terobosan tersebut adalah pengembangan aplikasi peringatan dini Algae Bloom Monitoring System atau “Alboom”.
Kerja sama riset yang dikenal dengan nama Science and Technology Research Partnership for Sustainable Development (SATREPS) Mariculture itu telah berlangsung sejak 2017 dan akan berakhir pada 2022.
SATREPS Mariculture tersebut berfokus pada penggunaan big data untuk mengembangkan sistem pengambilan keputusan atau decision support system (DSS) untuk optimasi budidaya laut dan perikanan tangkap.
Untuk diketahui, Alboom merupakan aplikasi yang melibatkan masyarakat pesisir secara aktif sebagai science citizen untuk saling berbagi informasi mengenai kejadian HABs di daerahnya masing-masing.
Partisipasi masyarakat menjadi komponen utama dalam pengembangan model dan menjamin keakuratan suatu sistem DSS, termasuk DSS untuk perikanan budidaya dan perikanan tangkap.
Selanjutnya, informasi dan dokumentasi yang dikumpulkan oleh masyarakat tersebut akan membantu dalam memetakan kejadian, distribusi, penyebab kejadian, dan precursor HABs.
Adapun manfaat spesifik dari aplikasi Alboom adalah sebagai sistem peringatan dini bagi masyarakat dan pembudidaya ikan, khususnya di lokasi kejadian HABs.
Sementara, manfaat Alboom secara nasional adalah dapat menyediakan basis data riwayat dan secara real time kejadian HABs di seluruh Indonesia yang saat ini belum tersedia.
Keberadaan Alboom dapat menjadi momentum bagi masyarakat untuk saling berbagi informasi di tengah pesatnya perkembangan teknologi digital saat ini.
Upaya tersebut bermanfaat untuk mendukung program pengembangan perikanan budidaya di Indonesia serta perbaikan pengelolaan lingkungan perairan yang berkelanjutan.
Pengembangan Alboom
Untuk diketahui, kerja sama SATREPS Mariculture tersebut didukung oleh delapan lembaga dari Jepang, termasuk Future University Hakodate dan sembilan institusi dari Indonesia.
Kerja sama tersebut mendapat dukungan dana hibah dari Japan International Cooperation Agency (JICA), Japan Science and Technology Agency (JST), serta pendanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Indonesia (APBN) dari Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Saat ini, program SATREPS Mariculture telah memasuki tahap akhir pengembangan sistem sensor real time.
Sistem sensor tersebut dapat berfungsi sebagai akuisisi data kualitas air dan cuaca untuk budidaya perikanan, prediksi stok ikan dan daerah penangkapan untuk perikanan tangkap, DSS Mariculture terintegrasi dengan sub DSS perikanan tangkap, serta aplikasi sistem peringatan dini HABs.
Sensor tersebut juga dapat berfungsi sebagai prediksi kematian ikan serta optimasi manajemen on farm dengan memanfaatkan teknologi internet of things (IoT), smart dashboard, aplikasi e-learning, dan training berbasis operasi open source OpenEdx.
Untuk mendukung pengembangan aplikasi Alboom tersebut, Pusriskan bekerja sama dengan PRI dan BRIN telah melaksanakan acara general lecture dan training workshop aplikasi teknologi informasi dan komunikasi (ICT) di sektor perikanan tentang Sistem Peringatan Dini untuk HABs pada Oktober 2021.
Kegiatan tersebut dilaksanakan untuk mendiseminasikan pemanfaatan ICT, khususnya untuk sistem peringatan dini HABs. Tak hanya itu, kegiatan ini juga melibatkan partisipasi masyarakat sebagai science citizen dalam upaya mitigasi HABs di Indonesia.
Pelaksana tugas (Plt) Kepala BRSDM Kusdiantoro menyampaikan, agar aplikasi Alboom dapat bermanfaat bagi masyarakat kelautan dan perikanan untuk tujuan pengelolaan berkelanjutan.
Pasalnya, pemahaman masyarakat mengenai bahaya HABs yang dapat berdampak pada kematian ikan masih rendah. Untuk itu, perlu adanya sosialisasi untuk menyebarluaskan informasi kepada masyarakat.
Kusdiantoro menambahkan bahwa dengan teknologi, optimalisasi sumber daya ikan dapat terlaksana dengan baik. Hal ini sejalan dengan program prioritas Kementerian Kelautan dan Perikanan ( KKP) yang digaungkan Menteri Sakti Wahyu Trenggono.
Salah satu program tersebut adalah penerapan kebijakan penangkapan ikan terukur di setiap Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI).
"Tujuannya, untuk keberlanjutan ekologi, peningkatan kesejahteraan nelayan, dan peningkatan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi nasional,” kata Kusdiantoro dalam siaran tertulis yang diterima Kompas.com, Sabtu (6/11/2021).
KKP, lanjut Kusdiantoro, juga memiliki program pengembangan budidaya perikanan untuk peningkatan ekspor yang didukung hasil riset kelautan dan perikanan.
Dari program tersebut, terdapat empat komoditas unggulan di pasar global, yakni udang, lobster, kepiting dan rumput laut.
Program prioritas KKP selanjutnya adalah pembangunan kampung perikanan budidaya berbasis kearifan lokal di perairan tawar, payau, dan laut. Program ini bertujuan sebagai pengentasan kemiskinan dan menjaga keberlanjutan ikan-ikan lokal, khususnya yang bernilai ekonomi tinggi.
“Hal tersebut juga sejalan dengan pengelolaan kelautan dan perikanan berbasis ekonomi biru yang mengedepankan keberlanjutan dan menjaga laut tetap sehat. Dengan demikian, kegiatan kelautan dan perikanan dapat melalukan secara berkelanjutan,” tuturnya.
Kusdiantoro berharap, seluruh lapisan masyarakat kelautan dan perikanan dapat berperan aktif dalam memperkuat upaya mitigasi kejadian HABs di pesisir, khususnya di subsektor perikanan budidaya dan perikanan tangkap.
“Caranya, dengan berpartisipasi dalam pengembangan dan pembangunan basis data kejadian HABs di Indonesia melalui aplikasi Alboom,” katanya.
Untuk informasi lebih lanjut terkait Alboom, Anda bisa mengunjungi laman http://alboom.mict.id/gltw-2021.