JAKARTA, KOMPAS.com - Sekelompok siswa tampak asyik mengulik gadget di halaman salah satu sekolah di pelosok kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Mereka bukan sedang bermain game online atau berswafoto, tetapi tengah mencari jawaban atas pertanyaan yang diajukan gurunya.
Sebelumnya, guru mereka memberikan soal untuk dijawab dalam bentuk barcode. Usai memindai barcode tersebut, siswa-siswa SD itu menggunakan smartphone mereka untuk mencari jawaban dan kemudian mempresentasikannya kepada teman-temannya.
Pada kesempatan lain, para siswa sibuk mengamati barang-barang impor di pasar, ternyata mereka sedang belajar proses ekspor impor. Untuk belajar soal demokrasi, guru mengajak siswa untuk belajar berkampanye di depan teman-temannya.
Begitulah salah satu proses pembelajaran dengan metode kekinian dalam implementasi kurikulum 2013 yang diterapkan di sekolah. Siswa diajak untuk aktif mencari jawaban atas persoalan, dan guru berperan sebagai fasilitator.
(Baca: Pendidikan Karakter Jadi Fokus Utama Pendidikan)
Kurikulum 2013 atau yang lebih sering disebut K-13 atau Kurtilas, mulai disosialisasikan kepada para stakeholder pendidikan sejak pertengahan 2013. Sejak diluncurkan sampai dengan saat ini, banyak penyempurnaan yang sudah dilakukan. Perbaikan dan penyempurnaan yang dilakukan berdasarkan pengamatan, masukan, dan pengalaman serta selama pendampingan penerapan K-13 di lapangan.
Target utama K-13 adalah untuk mampu menghasilkan lulusan yang memiliki kompetensi sesuai dengan tuntutan di tingkat kelas siswa. Sehingga sekolah akan menghasilkan lulusan yang memiliki standar kompetensi lulusan pendidikan yang sesuai dengan tuntutan perubahan dunia usaha dan dunia industri.
Jika melihat pada road map implementasi untuk periode 2015-2020 yang disusun oleh Pusat Kurikulum dan Perbukuan (Puskurbuk), maka target implementasi akan selesai pada Juli 2020. Pada waktu yang ditentukan tersebut, semua tingkatan pendidikan sudah melaksanakan kurikulum 2013.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan, sekolah yang sudah mengimplementasikan K-13 pada tahun ajaran 2017/2018 sudah mencapai 134.811 sekolah.
(Baca juga: Strategi Jitu Kemendikbud agar Guru Mendapat Tunjangan Profesi)
Penerapan K-13 itu sendiri, sejak awal tidak dilakukan di tengah-tengah pembelajaran, artinya sejak pertama kali K-13 diimplementasikan dimulai untuk siswa kelas satu (untuk kelas awal), siswa kelas tiga (untuk kelas atas), dan siswa kelas tujuh dan dan kelas sebelas. Sehingga, diharapkan dalam waktu tiga tahun penerapan K-13 akan mencakup seluruh tingkatan pendidikan.
Dari pengajar jadi fasilitator
Peran guru pada penerapan K-13 memang tak sama dengan kurikulum lainnya. Sebelumnya, guru berfungsi sebagai pengajar namun kini mereka harus menjadi fasilitator pembelajaran bagi siswa.
Kemampuan berpikir tingkat tinggi (High Order Thinking Skill) diharapkan dapat dilakukan siswa dengan difasilitasi para guru. Sebelum K-13 diterapkan sepenuhnya oleh seluruh sekolah di Indonesia, guru-guru wajib mengikuti pelatihan.
Plt. Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan, Hamid Muhammad, mengatakan pemerintah tengah menyiapkan para instruktur yang akan melatih para guru tentang metode pembelajaran K-13. Penyiapan itu dilakukan oleh Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) serta Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan pendidikan dan Tenaga Kependidikan (P4TK) untuk para guru di tingkat kabupaten/kota.
“Mulai April ini, guru sasaran yang akan dilatih mencapai sekira 500.000 orang berasal dari 78.891 sekolah,” kata Hamid kepada Kompas.com, Kamis (5/4/2018).
Peningkatan kapasitas itu ditujukan untuk kepala sekolah dan perwakilan guru dari tiap sekolah, mulai dari tingkat Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Nantinya, peserta pelatihan meneruskan hasil pelatihannya pada seluruh guru di lingkungan kerjanya.
“Hingga pekan ketiga bulan April, saya kira bisa diselesaikan penyiapan kapasitas guru untuk menerapkan K-13,” ujarnya.
Sekretaris Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan, E. Nurzaman, menjelaskan guru harus memberi kesempatan murid untuk bertanya dalam penerapan K-13. Rangsangan berpikir lebih tinggi lebih besar terjadi bila siswa mengajukan pertanyaan, dibandingkan sekedar menjawab pertanyaan guru.
Sebelumnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, telah menetapkan bahwa seluruh sekolah mesti melaksanakan K-13 pada tahun ajaran 2018/2019. Oleh karenanya, Kemendikbud, melalui Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan, secara bertahap membekali guru-guru dengan kemampuan menjadi fasilitator agar tak gagap menerapkan K-13.
“Tahun lalu, K-13 sudah diterapkan secara bertahap. Pada tahun ajaran ini, harus melaksanakan semuanya,” kata Nurzaman.