KOMPAS.com – Kepala SD Negeri 9 Masohi, Maluku Tengah, Mariance Wila Dida mengatakan ada banyak tantangan untuk mewujudkan sekolah ramah anak. Pasalnya tidak semua guru ikhlas melakukannya.
“Dari sekian guru yang ada cuma ada tiga guru yang mau bergerak, tapi saya tetap berjuang dan berkoordinasi dengan para guru lainnya,” katanya, dalam zoom webinar peluncuran "Merdeka Belajar Episode 5 : Guru Penggerak, Jumat (03/07/2020).
Ia mengatakan guru yang tidak mau mewujudkan program tersebut akan diberikan surat tugas untuk mengikuti sosialisasi mengenai sekolah ramah anak.
“Saya juga selalu membangun hubungan guru – guru agar bisa mengedukasikan tentang sekolah ramah anak,” katanya.
Baca juga: Kemendikbud: Pelatihan PembaTIK Level 1 bagi Guru Kembali Dibuka
Selain itu, Mariance juga melakukan upaya lain untuk mewujudkan sekolah ramah anak dengan selalu berkoordinasi ke dinas Pendidikan dan mendatangkan fasilitator.
Menurut dia, adanya sekolah layak atau ramah anak dapat bermanfaat besar bagi kepala sekolah, guru, siswa dan orangtua.
Ia mengungkapkan, manfaat bagi kepala sekolah adalah dapat lebih meningkatkan kesabaran dalam menghadapi siswa, guru dan orangtua yang memiliki berbagai karakter.
“Bagi guru juga tidak terlalu lelah dalam mengajar karena sudah bergeser konsep berpikirnya. Dari yang dulu harus memukul meja, sekarang sudah bisa menyampaikan informasi dengan berpusat kepada siswa,” kata Mariance.
Baca juga: Orangtua, Ini Buku Saku Panduan Tahun Ajaran Baru dari Kemendikbud
Sementara itu, bagi siswa sendiri, menurut dia, menjadi lebih nyaman dan dapat berkomunikasi lebih baik dengan guru.
Oleh karenanya, Mariance pun optimis dapat mewujudkan sekolah layak anak di SDN 9 Masohi dengan niat yang tulus.
Pada kesempatan yang sama, Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Bali Mandara, Nyoman Darta mengungkapkan, tidak mudah membina dan mendidik anak yang berasal dari keluarga berfinansial kurang mampu .
Baca juga: Sambut Tahun Ajaran Baru saat Pandemi, Kemendikbud Luncurkan Seri Webinar
Sebagai informasi, siswa yang bersekolah di SMAN 1 Bali Mandara 100 persen berasal dari keluarga yang kurang mampu secara finansial.
“Mereka sebagaian besar broken home, pemalu, dan bahkan belum pernah punya fasilitas untuk belajar,” katanya.
Terkait hal itu, ia mengungkapkan, langkah pertama yang dilakukan yakni dengan mengajak siswa untuk bermimpi dan memiliki cita-cita.
“Seluruh siswa kami kumpulkan didampingi guru - guru pembina lalu diminta untuk menuliskan cita-citanya dalam secarik kertas,” kata Nyoman.
Baca juga: Usai Audiensi, Massa Aksi Protes PPDB DKI di Kemendikbud Membubarkan Diri
Nyoman mengaku, banyak siswa yang menangis lantaran sebelumnya mereka tidak pernah dan tidak berani untuk bermimpi dan bercita-cita.
Ia mengatakan, kertas itu kemudian dimasukkan ke dalam botol kecil bernama time capsul yang disimpan ke dalam kotak.
“Itulah yang kemudian akan dijadikan motivasi dan pengingat bagi siswa dalam dua hingga empat tahun ke depan, karna kami menggunakan sistem kredit semester,” jelasnya.
Selain itu, Nyoman mengungkapkan, pihaknya harus dapat meyakinkan para siswa agar dapat melewati semua hambatan dan kekurangan yang dimilikinya.
“Saya beri semua siswa selembar tripleks, lalu saya minta menuliskan hambatannya di situ,” katanya.
Hambatan yang dituliskan siswa pun, kata Nyoman, sangat beragam, mulai dari tidak memiliki uang, hingga orangtua yang tidak lengkap.
“Lalu diakhir acara siswa kami antar ke depan api unggun, lalu semua tripleks berisi berbagai hambatan tadi dibakar,”
Menurut dia, hal itu filosofis yang mengandung arti bahwa semua hambatan siswa sudah dibakar dan dimusnahkan bersama-sama.
Baca juga: Guru, Ikuti Webinar Kemendikbud Ini untuk Persiapan Tahun Ajaran Baru
Tak ketinggalan, ia juga mengajak para siswa untuk mambaca dan mendengarkan ikrar api.
“Ikrar pertama, api di dada mereka tidak boleh padam,” katanya
Adapun arti ikrar tersebut yakni, semangat dalam diri siswa harus tetap hidup meskipun berasal dari keluarga yang kurang mampu. Mereka harus yakin kekurangan itu bukanlah hambatan meraih sukses.
Sementara itu, ikrar kedua yakni api dalam diri teman-temannya harus dijaga, Artinya, apabila ada rekannya yang api semangatnya meredup, maka harus didekati untuk dihidupkan kembali.
Baca juga: DPR Minta Kemendikbud Evaluasi PPDB Jakarta dan Perpanjang Pendaftaran Jalur Zonasi
“Disinilah saya butuh guru yang didasari ketulusan, keiklasan cinta dan kasih sayang yang bisa menyentuh hati setiap murid,” katanya.
Ia menilai, dengan menyentuh hati setiap murid, maka pembelajaran baik di dalam maupun di luar kelas dapat terlaksana dengan baik.
Tak hanya itu, ia mengatakan, pihaknya menerapkan pula pendidikan berbasis kesadaran dengan duduk hening sebelum dan sesudah pembelajaran.
“Sekolah juga memantau perkembangan siswa hingga mendapatkan perguruan tinggi terbaik di luar negeri maupun dalam negeri,” kata Nyoman.
Baca juga: Protes PPDB Jakarta, Para Orangtua Demo Pakai Seragam Sekolah di Gedung Kemendikbud
Dengan demikian, Nyoman mengaku optimis, pihaknya dapat memfasilitasi dan mengembangkan seluruh potensi siswa yang unik itu.
Mendengar cerita inspiratif dari para kepala sekolah tersebut, Nadiem Makrim yang hadir dalam webinar tersebut turut menyampaikan beberapa pesan.
Pertama, ia mengatakan, tidak ada perubahan tanpa resistensi atau usaha yang gigih untuk mencapai tujuannya, termasuk dalam mewujudkan sekolah ramah anak.
Baca juga: Protes PPDB Jakarta, Para Orangtua Demo Pakai Seragam Sekolah di Gedung Kemendikbud
“Jadi semua pihak harus ikut berjuang untuk mewujudkan sekolah ramah itu,” katanya.
Kedua, menurut dia, banyak orang yang tidak menyadari adanya koneksi antara sekolah yang menyenangkan bagi murid dan pembelajaran.
“Banyak orang mengira sekolah yang menyenangkan adalah tidak ada pelajaran atau hanya bersenang-senang seolah olah itu dua hal yang berbeda.
Padahal Nadiem menilai, pskologi anak yang merasa nyaman di sekolah, maka hasilnya akan eksponensial. Sementara itu, yang tidak nyaman, hasil pemabelajarannya akan kurang maksimal.
Baca juga: KPAI Akan Laporkan Pengaduan Orangtua soal PPDB 2020 ke Kemendikbud Hari Ini
Ketiga, perubahan tidak dapat terjadi jika guru maupun unit pimpinan tidak percaya pada potensi yang dimiliki anak didiknya. Hal ini sudah dibuktikan dengan cara belajar yang diterapkan di SMAN1 Mandara Bali.
“Tidak ada yang namanya anak bodoh, hanya cara kita harus tepat untuk mengembangkan potensi tersebut,” katanya.
Keempat, tenaga pendidik perlu mengikuti kemampuan masing-masing anak sesuai dengan kemampuannya.
Kelima, perlu adanya pengertian dasar pskologis anak, karena hal itu merupakan prakondisi sebelum pembelajaran dimulai.
Baca juga: Guru, Ikuti Webinar Kemendikbud Ini untuk Persiapan Tahun Ajaran Baru
Dengan menerapkan hal tersebut, menurut Nadiem, proses belajar dapat diimplementasi dan diikuti dengan baik oleh guru dan siswa.