KOMPAS.com - “Saya ikutkah?” Pertanyaan itu dilontarkan sejumlah siswa SMP Negeri Momi Waren, Kabupaten Manokwari Selatan, Papua Barat, saat guru-guru mereka yang berasal dari Sulawesi Selatan hendak pulang ke kampung halamannya.
Saat itu, menjelang hari raya Idul Fitri. Sahril Anci pendidik asal Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan bersama satu guru lainnya asal Gowa berpamitan pada siswa-siswa. Kumpul bersama keluarga besar di Tanah Celebes pada hari lebaran merupakan kerinduan yang telah ia pendam sekian lama.
Namun, pertanyaan dari anak-anak didiknya membuatnya resah. Ada perasaan haru. Anak-anak itu ingin pergi bersama gurunya, pulang ke tanah seberang. Mereka enggan melepas guru yang setiap hari mengajar mereka di sekolah.
“Mereka ingin ikut ikut, tidak mau berpisah dari guru. Pertanyaan itu merupakan ungkapan mereka bahwa mereka senang dengan guru-guru itu. Saya dibutuhkan di situ,” tutur Sahril di sela Seminar Nasional Membangun Pendidikan Karakter melalui Keteladanan Guru Pendidikan Dasar dalam peringatan Hari Guru Nasional 2017 di Hotel Ambara, Kamis (23/11/2017) malam.
Sahril Anci merupakan satu dari sekian banyak Guru Garis Depan (GGD) angkatan pertama yang ditugaskan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ke daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal). Ia mulai mengajar sejak 2015 hingga saat ini.
Sebelum menjadi GGD, ia merupakan alumni angkatan pertama Program Sarjana Mengajar di Daerah 3T (SM3T). Saat itu, ia bertugas mengajar anak-anak di Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat.
Ia mengaku tertantang mengajar anak-anak di pedalaman Papua Barat. Oleh karena itu, sejak lulus kuliah ia mengikuti program itu. “Pendidikan bukan hanya untuk orang-orang di kota,” katanya.
Keinginan belajar anak-anak di Manokwari Selatan sangat tinggi. Sayangnya, jumlah tenaga pengajar masih kurang.
Dengan siswa berjumlah 76 orang di SMP Momi Waren, guru yang melayani hanya 9 orang. Kekurangan guru itu disiasati dengan mengajar sejumlah mata pelajaran. Seperti Sahril yang mengajar Bahasa Inggris dan prakarya.
Anak-anak Manokwari Selatan telah terbiasa membuat noken di lingkungan keluarganya. Guru-guru di sekolah mendukung mereka agar mengembangkan keterampilan itu. Salah satu tujuannya, melestarikan noken khas Manokwari Selatan dan memiliki daya jual.
Selain keterampilan berbasis budaya lokal, GGD mengajarkan keterampilan membuat kemoceng atau vas bunga.
Sahril juga mengajar di SD Persiapan Inggorias, distrik Momi Waren, Kabupaten Manokwari Selatan.
Tak cuma jumlah guru terbatas, fasilitas pendukung pendidikan juga masih kurang. Seperti, jumlah buku yang masih minim.
Gedung SMP telah tersedia di setiap kecamatan di kabupaten itu. Anak-anak biasa pergi pulang sekolah dengan berjalan kaki. Tempat tinggal siswa yang terjauh sekitar 15 kilometer dari sekolah. Sebagian siswa membawa motor, ada juga yang diantar orangtuanya dengan motor ke sekolah.
Namun, tak satu pun siswa mengendarai sepeda. “Di Manokwari Selatan tidak ada sepeda. Jadi tidak ada yang bersekolah dengan sepeda. Mereka jalan kaki,” katanya.
Budaya potensi sekaligus tantangan
Adat istiadat dan kebiasaan masyarakat Papua Barat tentu berbeda dengan masyarakat daerah lainnya. Sebagian orangtua yang berpendidikan sangat mendukung anak-anaknya untuk bersekolah. Tetapi, sebagian lainnya belum memiliki kesadaran itu.
Tak jarang anak-anak tidak hadir ke sekolah karena mereka pergi berburu. Aktivitas berburu di hutan merupakan cara untuk mengumpulkan makanan bagi masyarakat yang tinggal di pegunungan Manokwari Selatan.
“Mereka harus membantu orangtua mencari makan. Di sana masih banyak babi hutan dan tikus tanah yang diburu,” ujar Sahril.
Ia mengakui tantangan terbesar yang dihadapi adalah budaya setempat. Bila terjadi peristiwa duka seperti kematian, maka siswa yang keluarganya meninggal bisa tak masuk sekolah hingga sepekan. Alasannya, mereka harus tinggal di rumah selama beberapa hari sesuai aturan adat.
Ketidakhadiran siswa di sekolah berdampak mereka ketinggalan pelajaran. “Kami tidak bisa melawan adat mereka,” ungkapnya.
Inovasi dalam mengajar
Guna memotivasi semangat belajar anak, Sahril melakukan terobosan dalam pengajaran Bahasa Inggris. Keterbatasan kosakata siswa dalam berbahasa Indonesia dan pelafalan membuatnya harus memutar otak.
“Siswa sangat sulit melafalkan huruf “r” dan “l”. Mereka selalu terbalik-balik, seperti kata “lari” bisa diucapkan “lali,” ini yang perlu diajarkan lebih dalam,” katanya.
Ia mencoba mengajarkan Bahasa Inggris dengan menterjemahkannya ke dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Sou, bahasa yang biasa digunakan sehari-hari oleh masyarakat pegunungan di Manokwari Selatan.
Lelaki bersuku Bugis ini mengaku tak paham sepenuhnya Bahasa Sou. Tapi dia bertukar pengetahuan dengan siswa di kelas.
“Saya menerapkan sharing pengetahuan dengan siswa. Sehingga, saya bisa belajar Bahasa Sou dan mereka bisa belajar Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Ini jadi menarik. Guru bisa belajar dari mereka. Kami biasa bertukar pikiran,” tuturnya.
Menanamkan kebiasaan baik
Sahril bercita-cita besar terhadap perkembangan siswa-siswanya. Ia tak sekedar berharap mereka menguasai pelajaran yang diberikan di sekolah. Lebih dari itu, ia ingin siswa-siswanya juga memiliki semangat yang tinggi untuk mengembangkan diri.
Hal sederhana yang diajarkan di sekolah adalah tepat waktu. Saat ini, masih banyak anak-anak yang mengerjakan tugas tidak tepat waktu. Kebiasaan untuk berdisiplin ia terapkan agar siswanya memiliki karakter yang baik.
”Saya ingin anak-anak bisa on time. Ini mulai dibiasakan di sekolah,” katanya.