KOMPAS.com - Pemerintah mengutus 83 guru untuk mendidik anak-anak tenaga kerja Indonesia (TKI) yang mengadu nasib di Malaysia pada 7 Agustus 2017 lalu.
Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan hingga Agustus 2017 telah mengirim guru ke Malaysia sebagai 8 tahap. Pengiriman guru ke Malaysia untuk mendidik anak-anak TKI dilakukan pertama kali pada 2006.
Dalam siaran pers yang diterima Kompas.com pada Senin (13/11/2017), pelaksanaan pendidikan untuk anak TKI ini tidak lepas dari peran guru dan pendiri community learning centre (CLC ) di Malaysia.
Hingga kini terdapat tiga CLC yang ada di Sabah, Malaysia yaitu CLC St Thomas di Kampung Sawah, Tuaran, Kinabalu; CLC SD Cempaka dan CLC SMPT Kundasang di wilayah Kundasang dan Ranau, Sabah Malaysia; serta CLC Bhinneka Tunggal Ika yang terletak di Jalan Balai Polis, Pekan Kundasang, Gundasang Ranau, Sabah Malaysia
Baca: Mereka yang Diutus Mengajar Hingga ke Negeri Jiran
Kondisi kelas CLC St Thomas, di Kampung Sawah, Tuaran, Kinabalu, Malaysia tampak sederhana tetapi semangat siswa dan guru tetap menggelora.
Pendiri CLC St Thomas Florence Dominus Eden mengatakan, ide membuat tempat belajar muncul karena prihatin dengan para orangtua yang begitu ingin menyekolahkan anak-anaknya, tetapi fasilitasnya tidak ada.
“Saya berpikir apa yang bisa dilakukan untuk mereka? Akhirnya Saya membuka hati untuk mereka, “ kata perempuan itu.
Bersama suami dan saudara lainnya, Florence mendirikan CLC St Thomas pada 20 Desember 2012.
Kawasan sekitar sekolah dikelilingi perkebunan getah, jagung, dan sayur-sayuran. Pekerjaan orangtua rata-rata sebagai petani, buruh dan rumah tangga.
Anak yang bersekolah di CLC St Thomas datang dari kawasan Tamparuli, Tuaran, dan Telipok. Kebanyakan jarak rumah dan sekolah kurang dari satu kilometer. Mereka datang dengan naik bus, diantar orang tua, naik sepeda, dan berjalan kaki.
Kini sekolah memiliki delapan kelas, terdiri dari kelas 3M, kelas 1 sampai dengan 6, dan kelas 7. Seluruhnya menggunakan 5 ruang. Jumlah murid sudah mencapai 114 anak.
Kelas 3M sebanyak 17 anak, kelas 1 (5 anak), kelas 2 (19 anak), kelas 3 (22 anak), kelas 3 (22 orang), kelas 4 (11 orang), kelas 5 (18 anak). Adapun, siswa kelas 7 (SMP) berjumlah 12 anak.
Sementara, CLC SD Cempaka dan CLC SMPT Kundasang yang baru berdiri tahun lalu di wilayah Kundasang dan Ranau, Sabah Malaysia.
Pengelola CLC tersebut Rafika mengatakan, pada umumnya orangtua menginginkan anak-anaknya sekolah.
Rafika merupakan guru yang dikirim pemerintah Indonesia ke Malaysia akhirnya mempelopori pembentukan CLC pada 20 April 2016. “Ketika pertama kali didirikan, jumlah siswa tidak sampai 100 anak untuk SD dan SMP,“ katanya.
Namun, ternyata minat orangtua menyekolahkan anak cukup tinggi. Tercatat per Agustus 2017, jumlah siswa sudah mencapai 300 siswa.
Siswa yang belajar di CLC SD Cempaka adalah 214 siswa yang terbagi menjadi 7 kelas yaitu, kelas I sebanyak 56 siswa, kelas II sebanyak 23 siswa, kelas III berjumlah 24 siswa, kelas IV berjumlah 27 siswa, kelas V sebanyak 33 anak , kelas VI sebanyak 25 anak, dan TK berjumlah 26 anak.
Baca: Pejuang Pendidikan di Tanah Orang
Sedangkan, siswa SMP tercatat 86 anak. Mereka terbagi menjadi 3 kelas yaitu kelas VII berjumlah 30 siswa, kelas VIII berjumlah 28 siswa, dan kelas IX berjumlah 28 siswa.
Jumlah pengajar terdiri atas guru kiriman pemerintah RI sebanyak dua orang, guru relawan yang berasal dari TKI dan warga Malaysia, guru pamong delapan orang terdiri berasal dari enam orang warga Indonesia dan dua orang warga Malaysia keturunan Indonesia.
Guru relawan ini berpendidikan setara SMA dan ada lima orang guru yang sedang melanjutkan pendidikan di Universitas Terbuka.
Selain itu, anak-anak TKI bisa belajar di CLC Bhinneka Tunggal Ika yang terletak di Jalan Balai Polis, Pekan Kundasang, Gundasang Ranau, Sabah Malaysia. Posisinya berada di kaki Gunung Kinabalu.
CLC ini berdiri atas keprihatinan Yuliana Pai Atawolo ketika melihat anak-anak Indonesia tidak dapat menikmati pendidikan.
Awalnya Yuliana mendirikan bimbingan belajar di salah satu rumah warga Indonesia yang bermukim di Kundasang.
Bimbingan belajar inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya CLC Bhineka Tunggal Ika. Hingga akhirnya, CLC ini diresmikan pada 14 Oktober 2016 oleh Konsul Jenderal Republik Indonesia dengan 30 siswa.
Waktu itu hanya ada dua guru, yakni Yuliana Pai Atawolo dan Gidel Firdus Nobo Daton. Nama Bhinneka Tunggal Ika dipilih atas dasar rasa persatuan masyarakat Indonesia di Kundasang tanpa membedakan suku, agama, dan ras.
Dana untuk membangun gedung sekolah berasal dari sumbangan masyarakat Nusa Tenggara Timur yang tinggal di Kundasang, Malaysia.