KOMPAS.com - Yana Mulyana menggenggam lalu mencium Sang Saka Merah Putih saat memimpin sumpah setia. Ia adalah satu di antara sekian banyak guru yang ditugaskan mengajar di negara tetangga, Malaysia
Lagu Indonesia Raya terdengar gegap gempita di acara pengukuhan serta pelepasan guru ke Malaysia tahap delapan tersebut. Pelepasan itu berlangsung di Golden Boutique, Kemayoran, Jakarta pada 7 Agustus 2017 lalu.
Yana lelaki kelahiran Sukabumi, Jawa Barat, 12 Februari 1987 itu terpanggil berangkat ke Malaysia karena prihatin dengan nasib anak-anak tenaga kerja Indonesia (TKI) di sana.
“Ketika mendengar kondisi putra-putri bangsa sangat memperihatinkan karena harus tinggal bersama orangtuanya yang menjadi buruh di ladang sawit di Malaysia, Saya merasa terpanggil untuk mendarmabaktikan segenap jiwa raga Saya bagi negara, “ ungkap Yana.
Baca: Pemerintah Malaysia Akhirnya Merestui Sekolah untuk Anak TKI di Sarawak
Memilih mengajar anak Indonesia yang tinggal di Malaysia artinya Yana mesti meninggalkan orangtuanya di Jawa Barat. Padahal, ia merupakan anak tunggal pasangan Ayi Aminah dan Jaenudin.
Tekad Yana sudah bulat untuk mengajar anak-anak bangsa dan tinggal jauh dari keluarga. Ia mengaku iklas ditugaskan mendidik anak TKI di Ladang Genting, Lahad Datu, Sabah, Malaysia.
“Demi negara, demi kemanusiaan, demi keluarga” adalah kalimat yang senantiasa bergema dalam hati Yana untuk menguatkan tekadnya.
Secara mental, Yana telah menyiapkan diri sejak berangkat dari rumah, meninggalkan istri yang belum lama dinikahinya. Sebab, Yana sudah memilih profesi guru yang telah dijalani sejak 2006.
Setelah dilaksanakan pertama kali pada 2006, pengiriman guru ke Malaysia kini sudah memasuki tahap ke-8.
Tahun ini, Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengirim 83 guru yang disebar ke berbagai lokasi di Malaysia.
Jika Yana bertugas di tengah ladang sawit, guru lainnya Deviyana Irnamaya Sakir ditempatkan di Sekolah Indonesia Johor Bahru (SIJB). Sekolah itu berada di pusat kota, tepat berada di belakang kantor Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Johor Bahru.
“Para siswa adalah anak dari para imigran pekerja Indonesia di Johor Bahru. Sebagian besar orang tua mereka bekerja di sektor perladangan, kilang, manufaktur, atau sebagai pekerja rumah tangga, “ kata Devi yang lahir di Jeneponto, Sulawesi Selatan, 7 Desember 1991.
Di sekolah yang baru berdiri pada 2015 itu, Deviyana mengajar seni budaya.
“Mungkin terdengar sederhana. Akan tetapi melalui pembelajaran seni budaya, saya justru bisa mencoba menanamkan kepada anak-anak didik bagaimana bekerjasama, berdisiplin, belajar berkarya, menghargai, dan memelihara kebudayaan Indonesia, “ kata sarjana Jurusan Pendidikan Sendratasik (Seni Drama Tari dan Musik) dari Universitas Negeri Makassar, Sulawesi Selatan pada 2013 itu.
Berani menghadapi tantangan
Ketika melepas para guru ke Malaysia, Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) kala itu, Sumarna Surapranata memberi wejangan agar para guru tidak mudah menyerah menghadapi tantangan yang ada.
Ia berharap para guru mencontoh pendahulu mereka yang tetap semangat meski bertugas di wilayah terpencil dengan fasilitas minim.
“Tetaplah bersemangat dalam menjalankan tugas meski di daerah yang jauh dari keramaian dan fasilitas terbatas,” katanya.
Pranata juga mengingatkan bahwa para guru yang dikirim ke Malaysia adalah para duta bangsa. Tindak-tanduknya menggambarkan wajah Indonesia. Ia mengatakan sebuah pelanggaran sekecil apapun akan mencoreng nama baik Indonesia.
“Saya mengingatkan agar jangan sekali-kali sampai melanggar hukum. Saudara sekalian adalah duta bangsa,” kata Pranata tegas.