KOMPAS.com - Linang air mata tak kuasa membendung rasa haru saat Juniar Sinaga mencium bendera merah putih. Momen sakral yang diiringi pembacaan janji itu terjadi pada tanggal 12 September 2017 di Aula Gedung D lantai 2, Kompleks Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Senayan, Jakarta.
Saat itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy melepas secara simbolis Guru Garis Depan (GGD).
Juniar, wanita kelahiran 7 Januari 1990 yang berasal dari Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara, itu ditugaskan di Kabupaten Kepulauan Anambas, Provinsi Kepulauan Riau.
Tekadnya sudah bulat untuk mengabdikan diri bagi Ibu Pertiwi, mencerdaskan anak bangsa dengan menjadi GGD di pelosok Nusantara.
Baca: Mendikbud Melepas Secara Simbolis CPNS Guru Garis Depan 2016
Sebelum mengikuti program GGD, Juniar mengajar selama 1,5 tahun di Kabupaten Lanny Jaya, Provinsi Papua. Ia bertugas sebagai guru Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM-3T).
Sejatinya, Juniar adalah hasil rekrutmen GGD angkatan kedua pada 2016 silam. Angkatan pertama dilaksanakan pada 2015.
Dari 7.000 formasi yang tersedia pada angkatan kedua, saat itu yang lulus seleksi 6.296 GGD. Barulah pada 15 Agustus 2017 surat keputusan (SK) GGD diterbitkan dan pada bulan September GGD dilepas ke tempat tugas.
Sebanyak 300 GGD dilepas secara simbolis oleh Mendikbud di Jakarta. Sisanya yang sebanyak 5.996 GGD berangkat secara mandiri dari tempat tinggalnya masing-masing menuju daerah penempatan.
Muhadjir saat itu menyematkan rompi dan topi kepada lima orang GGD. Selain Juniar Sinaga, ada juga Sain Widianto (penempatan di Kabupaten Situbondo, Jawa Timur), Rika Purwanti (penempatan di Kabupaten Belu, NTB), Fransiscos Perry Ariska (penempatan di Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah), Retno Widianingrum (penempatan di Kabupaten Aceh Selatan, NAD), serta Hironimus Kantur (penempatan di Kabupaten Manggarai Barat, NTT).
Pelopor, pembaharu, dan pencerah
Muhadjir Effendy berharap agar para guru dapat menjadi pelopor, pembaharu, dan pencerah di tempat tugas. Para guru juga diminta memiliki kemampuan beradaptasi dan bertahan di daerah.
“Jangan pulang sebelum menjadi pemenang, jangan pulang sebelum memberikan sesuatu yang bermakna di daerah tersebut,” ujarnya.
Kemendikbud, ia melanjutkan, masih terus mencari model pendidikan di daerah 3T (Terdepan, Tertinggal, dan Terluar) untuk mengimbangi kesenjangan kualitas pendidikan.
Menurut dia, salah satu kebijakan Presiden Joko Widodo untuk mengatasi kesenjangan pendidikan di daerah 3T adalah menyelenggarakan pendidikan satu atap dan berasrama, khususnya untuk Indonesia bagian timur.
Keberlangsungan pendidikan sangat dipengaruhi kondisi geografis. Selain itu, kelangsungan pendidikan juga dipengaruhi kondisi cuaca.
Sejumlah sekolah di daerah bisa libur selama dua bulan karena tingginya gelombang air laut. Anak-anak mesti menempuh gelombang untuk mencapai sekolah.
Oleh karena itu, perlu kebijakan khusus untuk mengatasi kondisi seperti itu. Mendikbud mengakui tidak mudah merumuskan kebijakan pendidikan di daerah 3T.
Mengabdi 10 tahun
Para GGD angkatan kedua tersebut akan mengabdi di daerah penempatan minimal 10 tahun. Meski demikian, Muhadjir optimistis para guru tak akan pindah dari daerah penempatan.
“Dugaan Saya, malah guru-guru tidak akan pindah kok, biasanya betah,” katanya.
Sehari sebelumnya, 300 GGD mendapat pengarahan dari Plt Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan, Hamid Muhammad dan Direktur Pembinaan Guru Pendidikan Dasar Ditjen GTK, Anas M Adam.
Hamid berharap para guru dapat mempelajari budaya setempat, utamanya budaya birokrasi dan budaya masyarakat. Para GGD juga mesti bisa membawa diri dan menjalin hubungan yang baik dengan tokoh-tokoh masyarakat di daerah tugas.
Para GGD yang diterjunkan memang tidak semua putra daerah. Namun, para peserta guru SM3T yang telah teruji di lapangan. Khususnya, ia melanjutkan, mengajar di tempat yang sulit dan terbatas fasilitasnya.
“Kita lihat di Amerika Serikat. Perusahaan Microsoft misalnya, banyak pekerjanya bukan orang Amerika asli, akan tetapi dari India, dan negara lainnya. Karena anak-anak di India itu rajin dan mahasiswanya belajar sangat bagus,” katanya.
CPNS GGD terpilih dari latar belakang dan pengalaman yang berbeda dari berbagai pelosok tanah air. Seperti, Pendidikan Profesi Guru (PPG) SM-3T, yaitu program yang pesertanya telah mengikuti pengabdian sebagai Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM-3T); PPG S1 PGSD berasrama; PPG Basic Science dan PPGT yaitu program PPG yang terintegrasi dengan program S1 akademik.
Para pendidik dari luar daerah yang diterjunkan ke daerah penempatan diharapkan mampu memotret permasalahan pendidikan yang mendasar di daerah 3T. “Bukan hanya sebagi guru, tapi juga agen perubahan, motivator,” ujarnya.
Penugasan yang tertunda
Direktur Pembinaan Guru Pendidikan Dasar Ditjen GTK, Anas M. Adam menjelaskan adanya persoalan administrasi sehingga penerbitan SK dan pemberangkatan GGD angkatan kedua tertunda.
“Program ini berkaitan dengan instansi-inatansi lain, termasuk pemerintah daerah,” katanya.
Permasalahan lain selama proses perekrutan CPNS GGD tahap dua ini di antaranya pemerintah daerah yang kurang aspiratif. Bahkan, sampai saat terakhir batas penentuan ada dua kabupaten tidak mengirimkan nama CPNS untuk formasi GGD.