KOMPAS.com - Kecelakaan lalu lintas yang melibatkan angkutan publik memang masih kerap terjadi di tanah air.
Buktinya baru-baru ini, tepatnya Senin, (16/9/2019), sebuah bus bertabrakan dengan truk tangki di Jalan Lintas Tengah Sumatera, Lampung.
Kecelakaan yang menyebabkan 8 orang tewas tersebut dipicu oleh pengemudi yang melaju dengan kecepatan melewati batas aman.
Bukan kali ini saja kecelakaan lalu lintas bus merenggut banyak nyawa. Contohnya, pada Agustus 2018, saat itu lagi-lagi sebuh bus pariwisata masuk ke jurang di Cikidang, Sukabumi, Jawa Barat. Total 21 orang tewas dalam peristiwa naas tersebut.
Selain dua insiden di atas, masih banyak kecelakaan bus atau angkutan umum lainnya yang terjadi Indonesia.
Baca juga: 8 Orang Tewas dalam Kecelakaan Bus dan Truk Tangki di Lampung
Korlantas Polri mencatat, pada 2016 sebanyak 105.374 kecelakaan yang melibatkan angkutan umum terjadi di Indonesia, sedangkan pada 2017 menurun menjadi 98.419 kecelakaan.
Meski menurun, jumlah tersebut masih terhitung tinggi. Fatalitas korban kecelakaan yang melibatkan angkutan umum pun masih tinggi.
Pertanyaannya kini, kenapa kecelakaan kendaraan angkutan umum sering terjadi?
Berdasarkan analisis Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) pada peristiwa kecelakaan angkutan publik yang terjadi dalam kurun 2014-2018, setiap kecelakaan disebabkan oleh beberapa faktor.
Faktor yang paling dominan adalah perilaku pengemudi yang memacu kecepatan melebihi batas atau melanggar aturan lalu lintas, kendaraan yang tidak laik jalan, hingga pengaruh cuaca dan kondisi geometri jalan.
Untuk mengatasi masalah itu, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) terus mendorong perusahaan- perusahaan angkutan umum untuk memiliki Sistem Manajemen Keselamatan ( SMK).
Perlu diketahui, SMK merupakan bagian dari pilar pertama Rencana Umum Nasional Keselamatan (RUNK) yang dalam pelaksanaannya berpedoman pada Peraturan Menteri No. 85 tahun 2018.
Kasubdit Manajemen Keselamatan Direktorat Jenderal (Ditjen) Perhubungan Darat, Avi Mukti Amin, mengatakan, dalam SMK ada beberapa komponen di sistem perusahaan yang dinilai terkait dengan keselamatan.
“Artinya kami melihat sistem perusahaan secara utuh,” ujar Kasubdit kepada Kompas.com, Senin (23/9/2019).
“Kalau tidak ada satu naungan legal rasanya kami akan susah melakukan penanganan untuk menanggulangi angka kecelakaan, terutama yang melibatkan angkutan umum,” ujarnya.
Sebagai informasi, sesuai Peraturan Menteri No. 85 tahun 2018 pasal 5, ada 10 komponen SMK yang harus dimiliki oleh perusahaan angkutan umum dalam menjamin keselamatan.
Sepuluh komponen itu antara lain adalah komitmen dan kebijakan terkait keselamatan di jalan, pengorganisasian, manajemen bahaya dan risiko, fasilitas pemeliharaan dan perbaikan kendaraan bermotor.
Sedangkan 5 komponen lain yakni, dokumentasi dan data, peningkatan kompetensi dan pelatihan bagi sumber daya manusianya, tanggap darurat, pelaporan kecelakaan internal, monitoring dan evaluasi, serta pengukuran kinerja.
Baca juga: Truk dan Bus Dilarang Melintas di Jalan Perjuangan dan Jalan Pejuang pada Jam Tertentu
Tak cuma itu, perusahaan angkutan umum pun harus menunjukkan komitmen, kebijakan, visi, dan misi untuk menjamin keselamatan di jalan.
Komitmen harus pula ditunjukkan dengan adanya divisi khusus yang menangani kecelakaan dan prosedur penanganan kecelakaan yang jelas, fasilitas perbaikan kendaraan yang mengalami kecelakaan, dan dokumentasi masa berlaku SIM dan STNK awak angkutan.
Selain itu, perusahaan angkutan umum juga harus memiliki upaya meningkatkan kompetensi sumber daya manusianya. Misalnya membekali pengemudi dengan kemampuan yang diperlukan dalam mengoperasikan kendaraan.
Sistem tanggap darurat saat terjadi kecelakaan yang melibatkan kendaraan angkutannya juga harus dimiliki.
Kemudian, perusahaan harus memiliki sistem pelaporan dan pencatatan secara internal mengenai kecelakaan yang melibatkan kendaraan angkutannya, audit dan evaluasi internal terhadap penerapan SMK, hingga pengukuran kinerja SMK.
Sanksi ringan hingga pencabutan izin operasional dapat diberlakukan bagi perusahaan angkutan umum yang tidak menerapkan SMK. Ini karena ke depannya SMK akan menjadi syarat beroperasinya sebuah perusahaan angkutan umum.
“Nanti ke depannya SMK ini akan disinergikan dengan perizinan angkutan umum. Jadi, manakala teman-teman perusahaan angkutan umum mengajukan perizinan, sertifikasi keselamatan dari Kementerian Perhubungan akan jadi syarat,” ujar Avi.
Jika penerapan SMK sudah lengkap dan memenuhi ambang nilai yang menjadi syarat, perusahaan-perusahaan tersebut akan diberikan sertifikat keselamatan oleh Kemenhub.
Adapun untuk penilaian, Avi menjelaskan akan dilakukan oleh tim yang terdiri atas penilai dari Kemenhub, penyusun SMK yang berasal dari perusahaan angkutan, dan auditor SMK dari Kemenhub.
Audit dilakukan secara berkala pada tahun pertama. Kemudian, dilakukan juga pemantauan pelaksanaan SMK di perusahaan-perusahaan yang sudah menerima sertifikat keselamatan. Pemantauan bersifat inspeksi mendadak (sidak).
Menurut pantauan Direktorat Manajemen Keselamatan Ditjen Perhubungan Darat, saat ini SMK sebenarnya sudah diterapkan oleh beberapa perusahaan angkutan umum.
Baca juga: Langkah Kemenhub Cegah Kecelakaan di Jalan Tol
Namun sayang, kebanyakan perusahaan belum menerapkan ke-10 komponen secara lengkap dan belum secara resmi memasukkannya ke dalam standar operasional perusahaan.
Demi mempercepat penerapan SMK di perusahaan-perusahaan angkutan umum, Avi Mukti mengatakan, sosialisasi terus dilakukan melalui kegiatan-kegiatan focus group discussion (FGD).
Selain itu, Direktorat Manajemen Keselamatan juga memilih 26 perusahaan angkutan umum sebagai pilot project penerapan SMK secara utuh. Kini, sebanyak empat perusahaan sudah berhasil mendapatkan sertifikat keselamatan.
“Kami dari awal ingin selektif, jangan sampai ketika sertifikat SMK diterbitkan ternyata perusahaan tersebut masih dipertanyakan standard keselamatannya,” ujar Avi.
Avi Mukti menjelaskan, perusahaan angkutan umum tidak mengabaikan aspek keselamatan, malah harus dijadikan sebagai investasi.
Pasalnya, kecelakaan dapat menimbulkan korban jiwa dam merugikan perusahaan. Ini karena perusahaan menanggung kerugian akibat rusaknya kendaraan.
Belum lagi mengurus tuntutan hukum yang menyebabkan citra serta operasional usaha terganggu, hingga kewajiban sosial yang harus dibayarkan kepada korban kecelakaan.
“Kalau perusahaan sering mengalami kecelakaan tentu cashflow-nya tidak sehat. Oleh sebab itu kami mencoba menanamkan bahwa SMK ini kalau dari segi bisnis angkutan umum juga sebagai bentuk investasi,” kata Avi Mukti.
Dengan adanya penerapan SMK yang baik perusahaan dapat memangkas biaya yang tidak efisien untuk penanganan kecelakaan. Selain itu, konsumen kendaraan angkutan umum pun akan lebih terlindungi.
Persaingan bisnis pun menjadi lebih sehat karena masyarakat punya pilihan armada angkutan umum mana yang sebaiknya dipilih berdasarkan standar keselamatan yang dimiliki.