KOMPAS.com — Pemerintah memastikan Indonesia akan mencapai swasembada beras pada 2025. Capaian ini tergolong monumental setelah berhasil melewati tantangan besar, seperti badai El Nino, degradasi lahan, dan alih fungsi sawah produktif.
Namun, keberhasilan itu memicu peringatan keras dari kalangan akademisi agar pemerintah tidak cepat berpuas diri.
Guru Besar Ekonomi Pertanian Universitas Lampung ( Unila) Bustanul Arifin mengatakan, tonggak swasembada hanyalah garis awal.
Menurutnya, keberlanjutan swasembada hanya bisa dijaga melalui inovasi, riset, dan kebijakan yang konsisten.
“Indonesia sudah tidak kekurangan kemampuan untuk mencapai swasembada beras. Tantangannya sekarang adalah bagaimana kita menjaga konsistensi kebijakan dan mendorong riset serta pengembangan teknologi pertanian,” ujar Bustanul dalam siaran persnya, Selasa (21/10/2025).
Dia mengatakan hal itu dalam diskusi publik bertajuk “Satu Tahun Kabinet Merah Putih: Menguji Janji Swasembada Pangan” yang digelar INDEF di Jakarta, Jumat (17/10/2025).
Baca juga: Capai Swasembada Pangan dalam 1 Tahun, Kementan Tuai Apresiasi Presiden Prabowo
Bustanul menilai langkah Kementerian Pertanian ( Kementan) di bawah kepemimpinan Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman sudah berada di jalur yang tepat.
Salah satu langkah Kementan yang tepat, kata dia, diwujudkan melalui penataan sistem penyuluhan yang selama ini terhambat oleh tumpang tindih kewenangan.
“Mentan sedang menata kembali sistem penyuluhan. Selama ini penyuluhan pertanian kita terjebak pada masalah administrasi dan birokrasi,” ungkapnya.
Menurutnya, Undang-Undang (UU) Penyuluhan nyaris tidak dipakai dan koordinasi antarlembaga masih lemah karena penyuluh berada di dua subordinasi yang berbeda.
Kondisi tersebut, lanjut Bustanul, membuat banyak penyuluh di lapangan belum bisa menjalankan peran strategis mereka dalam mempercepat adopsi inovasi dan teknologi baru oleh petani.
Baca juga: Kementan Prediksi Produksi Ayam Ras Surplus 47.226 Ton Bulan Ini
Oleh sebab itu, dia menegaskan, revitalisasi penyuluhan menjadi langkah penting dalam memperkuat daya saing sektor pertanian di tengah tantangan global.
Lebih lanjut, Bustanul mengatakan, program food estate merupakan kebijakan yang membutuhkan tahapan matang dan tidak dapat menghasilkan dampak instan.
“ Food estate tidak bisa secepat itu hasilnya. Yang penting adalah bagaimana kita menciptakan sistem pertanian yang kompetitif dan inovatif agar kesenjangan produktivitas dapat dikurangi,” ujarnya.
Selain food estate, Bustanul menambahkan, penerapan smart farming dan peningkatan investasi di bidang research and development (RnD) menjadi kunci utama untuk menjaga produktivitas pertanian dalam jangka panjang.
Di sisi lain, Bustanul menyoroti pentingnya memperkuat produksi pangan lokal dan membangun budaya pangan nasional agar ketahanan pangan tidak hanya bergantung pada satu komoditas.
Baca juga: Rugikan Petani Hingga Rp 600 Miliar, 2.039 Kios Pupuk Bakal Dicabut Izinnya oleh Kementan
“Penguatan pangan lokal harus menjadi inisiasi nasional, termasuk memberdayakan usaha mikro kecil menengah (UMKM) pangan yang berperan penting dalam rantai pasok dan kemandirian pangan di tingkat masyarakat,” tegasnya.
Pada forum yang sama, Direktur Jenderal Tanaman Pangan (Dirjen TP) Kementan Yudi Sastro menyampaikan, capaian swasembada beras pada 2025 merupakan hasil kerja nyata di lapangan dalam menghadapi berbagai tantangan.
Salah satunya terjadi pada 2023, ketika Indonesia mengalami kekeringan ekstrem yang mengancam produksi.
Namun, Kementan segera melakukan penyesuaian program dengan mengalihkan sebagian bantuan benih jagung menjadi bantuan pompa air. Langkah ini terbukti efektif menjaga suplai air bagi lahan pertanian.
Tantangan lainnya adalah alih fungsi lahan produktif di berbagai daerah, seperti Subang dan Karawang, serta penurunan kualitas lahan yang cukup signifikan.
Baca juga: Kementan Umumkan 5 Provinsi Ini Terbanyak Kios Pupuk Subsidi Nakal, dari Jatim hingga Lampung
Data Kementan menunjukkan, kadar bahan organik tanah di sebagian besar wilayah pertanian Indonesia kini berada di bawah dua persen. Padahal, kondisi ideal seharusnya di atas angka tersebut.
“Smart farming dan precision farming mutlak diperlukan. Koordinasi penyuluh kini ditarik ke pusat agar lebih terintegrasi, dan mekanisasi akan terus didorong untuk mengatasi keterbatasan lahan kecil-kecil,” papar Yudi.
Meski menghadapi berbagai kendala, produksi beras nasional pada 2025 diperkirakan mencapai 34,3 juta ton.
Jumlah itu melampaui kebutuhan konsumsi sekitar 31 juta ton sehingga Indonesia tidak lagi mengimpor beras untuk konsumsi.
“Untuk jagung pakan, insyaallah juga tidak ada impor,” jelas Yudi.
Kementan pun terus memperkuat strategi peningkatan produksi dengan memperluas areal tanam, merehabilitasi 2 juta hektar (ha) lahan irigasi, mempercepat penyaluran pupuk bersubsidi melalui sistem digital, serta memperbanyak penggunaan benih unggul minimal di 60 persen lahan tanam.
Baca juga: Istana Minta Kementan-Bulog Perbaiki Manajemen Gudang Usai 29.990 Ton Beras Turun Mutu
Dalam jangka panjang, pemerintah menargetkan pencetakan 3 juta ha sawah baru dalam empat tahun ke depan, termasuk 2 juta ha di Merauke dan 2 juta ha di 12 provinsi lain.