KOMPAS.com - Badan Pusat Statistik mencatat volume ekspor pertanian sejak 2014-2018 naik sebanyak 9 sampai 10 juta ton dan neraca perdagangan pertanian surplus.
Lebih lanjut, terdapat penurunan kebutuhan impor pada beberapa sektor pangan, misalnya jagung dan beras.
Pengamat Ekonomi Politik Pertanian Universitas Trilogi Muhammad Karim menegaskan, upaya ini merupakan hasil kerja keras Kementerian Pertanian ( Kementan) era Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman.
"Dulu impor jagung 3,5 juta ton per tahun, pada 2016 impor turun drastis dan 2017 tidak ada impor jagung pakan ternak, bahkan selanjutnya 2018 sudah ekspor 340 ribu ton," ujar Karim melalui rilis tertulis, Jumat (23/8/2019).
Baca juga: Kementan Dorong Pasar Ekspor Melalui Layanan Sarita
Selain itu, lanjut Karim, Indonesia juga berhasil mewujudkan surplus beras pada 2018.
"Data Kerangka Sampling Area (KSA) Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan Indonesia surplus beras sebanyak 3,3 juta ton pada 2018. Memang Indonesia pernah impor, tapi itu keputusan Rapat Koordinasi Terbatas (Rakortas) untuk berjaga-jaga dampak El Nino terbesar pada 2015," bebernya.
Terkait bawang putih, Karim justru mengapresiasi era kabinet sekarang, karena sudah 23 tahun terakhir Indonesia bergantung pada barang impor.
Apalagi, jelas Karim, era sekarang memiliki program wajib tanam bagi importir bawang putih dan ditargetkan akan swasembada pada 2021.
Baca juga: Kementan Terus Dorong Petani Ikut Asuransi Usaha Tani Padi
"Tolong juga tengok kinerja Produk Domestik Bruto (PDB) Pertanian, harga konstan pada 2014 dengan angka hanya Rp 880,40 triliun, kemudian naik menjadi Rp 1.005,40 triliun pada 2018," terangnya.
Karim menambahkan sektor pertanian juga berhasil menurunkan inflasi kelompok pengeluaran bahan makanan pada 2014 sebesar 10,57, kemudian turun menjadi 1,69 pada 2018.
Kemudian, penduduk miskin di pedesaan juga menurun dari 14,17 persen pada tahun 2014 menjadi 13,2 persen pada tahun 2018.
Alumni Institut Pertanian Bogor (IPB) ini menekankan bahwa yang perlu digarisbawahi adalah rakyat Indonesia tidak suka impor dan mengutamakan konsumsi dari hasil petani sendiri.
"Jadi janganlah publik dibawa-bawa ke upaya untuk impor. Indonesia sudah swasembada dan bahkan ekspornya melejit," ujar Karim.
Untuk diketahui, sambung Karim, bahwa perdagangan dunia semakin terbuka sehingga tidak mungkin dengan sistem ekonomi tertutup, maka tidak tabu mengadakan ekspor dan impor.
Di Negara manapun juga begitu, jelas Karim, misalnya tengok saja China dengan penduduk besar, tapi tetap melakukan impor pangan dalam jumlah besar.
Baca juga: Bappenas: Program Kementan Terbukti Memacu Pertumbuhan Ekonomi Daerah
"Kenapa negara-negara impor karena ada kebutuhan dan mereka ekspor untuk meraup devisa. Jadi kebijakan Indonesia era sekarang sudah tepat yakni mengendalikan impor dan mendorong ekspor," terangnya.
Oleh karena itu, Karim meminta agar tidak terbatas mengupas sisi impor beras, jagung, dan bawang putih. Namun, harus juga mengangkat sisi ekspor dan neraca perdagangan total pertanian.
Nilai impor tiga komoditas tersebut pada kenyataanya sudah tertutup dengan ekspor sawit sehingga Indonesia surplus.
"Buktinya, data BPS menyebutkan Indonesia surplus neraca perdagangan pertanian 2018 sekitar 11 miliar dollar AS. Memang benar ada impor beras, jagung, dan bawang putih, tapi coba disimak dan cermati tren impor semakin mengecil," tuturnya.
Sementara itu, Pengamat Ketahanan Pangan Tjipta Lesmana mengungkapkan berdasarkan hasil riset yang dilakukan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) bisa dijadikan acuan.
"Penerapan teknologi pertanian dengan belanja alat mesin (Alsintan), perbaikan saluran irigasi tersier, penyediaan benih tanaman, bibit ternak dan pupuk oleh Kementan mempunyai dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi, khususnya ekonomi pedesaan," jelasnya.
Studi kasus yang dilakukan Bappenas terkait alokasi anggaran belanja 2016-2017 menunjukkan belanja modal mengalami peningkatan paling tinggi yaitu sebesar Rp 39,1 triliun, belanja barang sebesar Rp 31,8 triliun, sedang belanja pegawai Rp 7,5 triliun.
Belanja barang pada periode tersebut mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 0,08 persen. Sementara belanja modal hanya mendorong 0,03 persen.
Baca juga: Optimalkan Lahan Rawa, Kementan Gencar Galakan Program Serasi
Anggaran yang sudah dikeluarkan oleh Kementan memiliki peran terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi.
Setiap peningkatan satu persen belanja Alsintan, terjadi peningkatan subsektor pertanian, peternakan, dan jasa pertanian di daerah sebesar 0,13 persen.
“Indikator keberhasilan dapat dilihat pada peningkatan ekspor komoditas pertanian menurut data BPS. Tahun 2018 ekspor komoditas pertanian melonjak tajam menjadi 42,5 juta ton," beber Tjipta.
Tjipta juga membeberkan rata-rata kenaikan ekspor pertanian per tahun sebanyak 2,4 juta ton.
"Untuk 2019 besar kemungkinan angka ekspor tersebut akan meningkat lagi, karena fokus pada ekspor komoditas pertanian yang dilakukan oleh Kementan," ujar Tjipta.
Baca juga: Kementan dan Kominfo Dilibatkan dalam Penanggulangan Karhutla
Kemudian yang tidak kalah hebat, sambungnya, terjadinya penurunan inflasi bahan makanan yang sangat signifikan menjadi 1,26 persen pada 2017 dari sebelumnya 11,71 persen pada 2013.
"Peringkat ketahanan pangan Indonesia, berdasarkan Global Food Security Index juga terus membaik ke peringkat 65 dari 113 negara,” bebernya.
Bahwa Indonesia masih melakukan impor pada beberapa komoditas pertaniannya meski sukses di bidang pertanian, menurut Tjipta, hal itu wajar-wajar saja.
Ekspor dan impor pangan sesungguhnya hal yang biasa dan terjadi pada hampir semua negara.
"Hal yang penting adalah pemerintah konsisten menggenjot ekspor, di samping mengendalikan impor komoditas pertanian secara ketat," tutupnya.