KOMPAS.com - Uji coba perdana produk Biodiesel B100 resmi dilaksanakan di Kantor Pusat Kementerian Pertanian ( Kementan), Senin (15/4/2019).
Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman yang hadir pada saat itu optimis bahwa B100 akan menjadi produk lokal unggulan yang mampu memperkuat ketahanan energi nasional.
“B100 adalah energi masa depan kita. Ini adalah peluang besar karena produksi Crude Palm Oil (CPO) kita sebanyak 41,6 juta ton,” kata Amran.
Terlebih produksi CPO Indonesia mengalami peningkatan tiap tahunnya. Dalam keterangan tertulis yang Kompas.com terima dijelaskan, bahwa dalam kurun waktu 2014 hingga 2018, produksi CPO Indonesia meningkat 29,5 persen setiap tahunnya.
Sebagai informasi, biodiesel merupakan bahan bakar alternatif yang dihasilkan dari bahan alami terbarukan seperti minyak nabati dan hewani.
Karena memiliki sifat fisik yang sama dengan minyak solar, biodiesel dapat digunakan sebagai bahan bakar pengganti untuk kendaraan bermesin diesel.
Selama ini, biodiesel masih dicampur bahan bakar minyak bumi dengan perbandingan tertentu. Namun dengan teknologi pengembangan B100, biodiesel mengandung 100 persen bahan alami, tanpa dicampur dengan Bahan Bakar Minyak (BBM).
“Bisa dibayangkan berapa triliun yang bisa dihemat. Ke depannya kita sudah tidak akan tergantung lagi dengan BBM impor,” ucap Mentan Amran.
Perlu diketahui, produk B100 sendiri merupakan salah satu inovasi terobosan Kementan melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan).
Para peneliti Balitbangtan mengembangkan reaktor biodiesel multifungsi yang sudah mencapai generasi ketujuh. Mesin ini dapat mengolah 1.600 liter bahan baku setiap harinya.
“Impian Indonesia menciptakan biodiesel B100 dari CPO berhasil terwujud. Bahan bakar yang berasal dari 100 persen CPO dengan rendemen 87 persen ini masih terus dikembangkan. Semua tidak ada campuran," ungkap Amran.
Sebelum berhasil mengembangkan B100, Indonesia telah berhasil mengembangkan B20 menuju B30.
Selama kurun waktu 2014 hingga 2018, perkembangan B20 di Indonesia pun cukup pesat.
Pada 2018 produksi biodiesel B20 mencapai 6,01 juta kiloliter meningkat 82,12 persen dibanding 2014 sebesar 3,30 juta kiloliter.
Kendati demikian, ditambahkan oleh Amran, Indonesia masih mengimpor solar 10,89 juta kilo liter.
“Mencermati hal tersebut, pengembangan B100 menjadi sebuah keniscayaan,” tandasnya.
Lantaran telah teruji lebih efisien, Amran pun berharap pengembangan biodiesel B100 tersebut memiliki banyak dampak positif lantaran telah teruji lebih efisien.
“Perbandingannya saja untuk satu liter B100 bisa menempuh perjalanan hingga 13,4 kilometer, sementara satu liter solar hanya mampu sembilan kilometer. Ini sudah terbukti efisien,” terang Amran.
Selain itu, ditambahkan Amran, masih ada dampak positif lainnya yakni B100 merupakan energi ramah lingkungan. Contohnya, karbon monoksida (CO) biodiesel B100 lebih rendah 48 persen jika dibandingkan dengan solar.
Tak hanya itu, pengembangan B100 ini juga diharapkan berpengaruh positif terhadap kesejahteraan petani sawit Indonesia lantaran hingga kini masih menjadi salah satu penyumbang devisa terbesar.
Ekspor CPO diperkirakan mencapai 34 juta ton. Tapi jika hanya mengekspor dalam bentuk mentah, harga jualnya lebih rendah bila dibandingkan bentuk produk turunan.
"Dalam situasi ini, Diharapkan dengan langkah hilirisasi melalui peningkatan daya serap biodiesel ini dapat menjadi fondasi kita untuk menciptakan hilirisasi sawit dengan produk akhir yang lain,” pungkasnya.